Berani Bermedia, Berani Berdialog[1][2]
Edi Santoso
(Hal-40)Media baru (new
media) yang hadir seiring kemunculan internet sering mendapat respon
yang berlebihan.Diantaranya, media ini dianggap sebagai antithesis media lama
yang dianggap membawa cacat bawaan. Media lama yaitu media massa pada umumnya,
sering diasosiasikan dengan suasana distribusi informasi yang tidak demokratis.
Media massa, misalnya, dianggap memonopoli sumber informasi dan tidak tidak
dialogis terhadap khalayak. Media baru dianggap berkarakter sebaliknya.
Media
baru memang menghadirkan iklim informasi yang berbeda.Pertama, interaktifitas.Komunikasi
berbasis internet memungkinkan interaktifitas lebih jika dibandingkan dengan
media lama, khususnya dengan media cetak dan penyiaran. Salah satu wujudnya
adalah tren ‘user generated content’ dalam aplikasi web 2.0, misalnya dalam youtube, dimana orang bebas mengunggah
videonya sendiri. Slogan youtube pun terasa provokatif, yakni ‘broadcast
your self’. Di sini, khalayak memiliki peran lebih dalam mempengaruhi
isi media.
Kedua, keragaman
konten dan sudut pandang. Kemelimpahan konten dalam internet tak akan
tertandingi oleh media manapun. Internet bisa disebut sebagai chanel komunikasi
yang ‘multimodal’ , memungkinkan informasi berbasis teks, video, ataupun audio
dalam jumlah yang nyaris tidak terbatas, yang tersebar dan terdistribusikan ke
individu, kelompok, atau organisasi. Pengamat media William mengatakan, jumlah
informasi dalam web diperkirakan memcapai 281 exabyte yang jumlahnya akan
meningkat 10 kali lipat lima tahun berikutnya. Kemelimpahan ini pada akhirnya
juga menyediakan beragam sudut pandang bagi khalayak.
Ketiga, selektifitasdan
control khalayak.Kombinasi dari interaktifitas yang meningkat dan keragaman
konten berarti khalayak dapat lebih selektif sekaligus bisa mengontrol isi
media yang menerpanya. Khalayak media baru memainkan peranan sebagai gatekeeper,
karena mereka memiliki banyak pilihan sebagai penerima dan juga mampu
memfilter, memproduksi, dan mendistribusikan informasi bagi mereka sendiri atau
pihak lain secara mudah.
Dengan
karakteristik tersebut, khalayak semestinya menjadi lebih berdaya.Namun,
faktanya tak selalu demikian, karena peluang memang tak selalu dimanfaatkan.
Se- (Hal-41)
perti dikatakan Takeshita, meskipun sumber-sumber informasi melimpah
di internet, tak banyak bukti yang menunjukkan bahwa khalayak kemudian
memanfaatkan kemelimpahan pilihan itu. Khalayak masih banyak yang menggunakan
versi online dari media lama. Jadi, yang lebih banyak dimanfaatkan baru cara
akses, belum fitur ‘selektivitas’ atau ‘kustomisasi’ yang tersedia.
Bahkan
yang terjadi seringkali berupa paradoks.Kemelimpahan tidak menghasilkan
keragaman dan kekayaan pengetahuan tetapi justru penyempitan pandangan.Fitur
‘selektivitas’ tidak digunakan untuk memperkaya beragam pandangan, sebaliknya
dipakai untuk memperkuat pandangan pribadi atau kelompok.Dalam jejaring sosial
misalnya, pilihan pertemanan atau pilihan untuk mengikuti pendapat orang (following)
akhirnya menjadi sangat terbatas, yakni hanya pada orang-orang dalam
satu kelompok saja.
Mungkin
kita berargumen, itu semua untuk melindungi keyakinan dan pemikiran
kita.Terutama bagi kita pada umumnya yang masih awam. Pandangan ini mungkin ada
benarnya, tetapi jelas menggambarkan pesimisme, khawatir kita akan ditelan
belantara dunia maya yang tak jelas orientasinya. Ini cara pandang kita sebagai
objek, bukan subjek. Kenapa kita tidak berpikir sebaliknya, bahwa inilah
kesempatan untuk membangun dialog global.Inilah kesempatan bagi kita untuk
membagi pandangan dan keyakinan pada komunitas yang tak terbatas (borderless).
Melihat
kecenderungannya, kita semakin tak bisa menghindar dari terpaan media baru.Kita
juga tidak bisa mengingkari karakternya yang menuntut kesiapan menjadi warga
global (netizen).Pilihannya, kita akan terus menghindar dengan
‘bersembunyi’ dalam kelompok kita atau segera mempersiapkan diri untuk
berdialog dengan siapapun di komunitas global. Perasaan tidak aman saat
berinteraksi dengan pihak lain, kata Syamsi Ali – Imam Islamic Center New York,
adalah cermin lemahnya keyakinan. Jika kita yakin dengan nilai-nilai kita
selama ini maka tak ada alasan untuk menghindar. Apalagi jika kita yakin dengan
prinsip ‘nahnu du’at’, kita semua adalah dai, maka harus terus berupaya untuk
menyampaikan apa yang kita anggap benar pada siapapun.
Media
baru menyediakan berbagai fitur untuk berdialaog dengan siapapun. Saatnya kita
berpikir, apa yang bisa kita bagi untuk dialog global itu. Tak perlu lari
menghindar, tapi justru lari mendekat dengan rasa percaya diri. Tentu, semuanya
harus kita persiapkan, terutama kekuatan konten yang akan kita dialogkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar