Jumat, 04 September 2020

Berani Bermedia, Berani Berdialog

Berani Bermedia, Berani Berdialog[1][2]

Edi Santoso

(Hal-40)Media baru (new media) yang hadir seiring kemunculan internet sering mendapat respon yang berlebihan.Diantaranya, media ini dianggap sebagai antithesis media lama yang dianggap membawa cacat bawaan. Media lama yaitu media massa pada umumnya, sering diasosiasikan dengan suasana distribusi informasi yang tidak demokratis. Media massa, misalnya, dianggap memonopoli sumber informasi dan tidak tidak dialogis terhadap khalayak. Media baru dianggap berkarakter sebaliknya.



Media baru memang menghadirkan iklim informasi yang berbeda.Pertama, interaktifitas.Komunikasi berbasis internet memungkinkan interaktifitas lebih jika dibandingkan dengan media lama, khususnya dengan media cetak dan penyiaran. Salah satu wujudnya adalah tren ‘user generated content’ dalam aplikasi web 2.0, misalnya  dalam youtube, dimana orang bebas mengunggah videonya sendiri. Slogan youtube pun terasa provokatif, yakni ‘broadcast your self’. Di sini, khalayak memiliki peran lebih dalam mempengaruhi isi media.

Kedua, keragaman konten dan sudut pandang. Kemelimpahan konten dalam internet tak akan tertandingi oleh media manapun. Internet bisa disebut sebagai chanel komunikasi yang ‘multimodal’ , memungkinkan informasi berbasis teks, video, ataupun audio dalam jumlah yang nyaris tidak terbatas, yang tersebar dan terdistribusikan ke individu, kelompok, atau organisasi. Pengamat media William mengatakan, jumlah informasi dalam web diperkirakan memcapai 281 exabyte yang jumlahnya akan meningkat 10 kali lipat lima tahun berikutnya. Kemelimpahan ini pada akhirnya juga menyediakan beragam sudut pandang bagi khalayak.

Ketiga, selektifitasdan control khalayak.Kombinasi dari interaktifitas yang meningkat dan keragaman konten berarti khalayak dapat lebih selektif sekaligus bisa mengontrol isi media yang menerpanya. Khalayak media baru memainkan peranan sebagai gatekeeper, karena mereka memiliki banyak pilihan sebagai penerima dan juga mampu memfilter, memproduksi, dan mendistribusikan informasi bagi mereka sendiri atau pihak lain secara mudah.

Dengan karakteristik tersebut, khalayak semestinya menjadi lebih berdaya.Namun, faktanya tak selalu demikian, karena peluang memang tak selalu dimanfaatkan. Se- (Hal-41) perti dikatakan Takeshita, meskipun sumber-sumber informasi melimpah di internet, tak banyak bukti yang menunjukkan bahwa khalayak kemudian memanfaatkan kemelimpahan pilihan itu. Khalayak masih banyak yang menggunakan versi online dari media lama. Jadi, yang lebih banyak dimanfaatkan baru cara akses, belum fitur ‘selektivitas’ atau ‘kustomisasi’ yang tersedia.

Bahkan yang terjadi seringkali berupa paradoks.Kemelimpahan tidak menghasilkan keragaman dan kekayaan pengetahuan tetapi justru penyempitan pandangan.Fitur ‘selektivitas’ tidak digunakan untuk memperkaya beragam pandangan, sebaliknya dipakai untuk memperkuat pandangan pribadi atau kelompok.Dalam jejaring sosial misalnya, pilihan pertemanan atau pilihan untuk mengikuti pendapat orang (following) akhirnya menjadi sangat terbatas, yakni hanya pada orang-orang dalam satu kelompok saja.

Mungkin kita berargumen, itu semua untuk melindungi keyakinan dan pemikiran kita.Terutama bagi kita pada umumnya yang masih awam. Pandangan ini mungkin ada benarnya, tetapi jelas menggambarkan pesimisme, khawatir kita akan ditelan belantara dunia maya yang tak jelas orientasinya. Ini cara pandang kita sebagai objek, bukan subjek. Kenapa kita tidak berpikir sebaliknya, bahwa inilah kesempatan untuk membangun dialog global.Inilah kesempatan bagi kita untuk membagi pandangan dan keyakinan pada komunitas yang tak terbatas (borderless).

Melihat kecenderungannya, kita semakin tak bisa menghindar dari terpaan media baru.Kita juga tidak bisa mengingkari karakternya yang menuntut kesiapan menjadi warga global (netizen).Pilihannya, kita akan terus menghindar dengan ‘bersembunyi’ dalam kelompok kita atau segera mempersiapkan diri untuk berdialog dengan siapapun di komunitas global. Perasaan tidak aman saat berinteraksi dengan pihak lain, kata Syamsi Ali – Imam Islamic Center New York, adalah cermin lemahnya keyakinan. Jika kita yakin dengan nilai-nilai kita selama ini maka tak ada alasan untuk menghindar. Apalagi jika kita yakin dengan prinsip ‘nahnu du’at’, kita semua adalah dai, maka harus terus berupaya untuk menyampaikan apa yang kita anggap benar pada siapapun.

Media baru menyediakan berbagai fitur untuk berdialaog dengan siapapun. Saatnya kita berpikir, apa yang bisa kita bagi untuk dialog global itu. Tak perlu lari menghindar, tapi justru lari mendekat dengan rasa percaya diri. Tentu, semuanya harus kita persiapkan, terutama kekuatan konten yang akan kita dialogkan.

 



[1]Majalah Tarbawi, Edisi 265 Th. 13, Shafar 1433 H, 29 Desember 2012 M.

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar