Jumat, 04 September 2020

Cerita yang Mempersatukan

Cerita yang Mempersatukan[1][2]

Edi Santoso 

(Hal-44) Jangan remehkan cerita. Meski Nampak sepele, cerita ternyata bisa mempersatukan atau menambah erat hubungan antar orang dalam kelompok. Begitulah kesimpulan sekelompok ilmuwan di Universitas Minnesota pada tahun 1960 dan 1970, dipimpin oleh Ernest Borman yang berminat pada proses pengembangan diskusi kelompok dan keputusan yang dibuat di dalam kelompok. Sebelumnya, Robert Bales, lewat penelitiannya terhadap dinamika kelompok kecil, menemukan bahwa pada situasi yang tegang, suatu kelompok seringkali menjadi sangat dramatis dan berbagi cerita atau tema-tema fantasi.



Fakta itu menjelaskan betapa komunikasi memang unik.efektifitasnya tak bisa dicapai dengan pertimbangan rasional-mekanis semata, misalnya dengan menakar bobot atau isi pesan dalam satuan waktu tertentu. Serius tak berarti menegasikan canda atau cerita remeh-temeh yang dengannya orang bisa saling memberikan tanggapan atau sekadar tertawaan. Dengan cerita, susasana menjadi cair, ketegangan mereda, dan ide-ide brilian pun kadang justru muncul setelahnya.

Gagasan Borman cs itu kemudian dikenal sebagai teori konvergensi simbolik. Ada percakapan ‘simbolik’, yakni berbagai cerita dalam kelompok yang senantiasa mempersatukan mereka. Konsep sentral teori ini ialah tema fantasi (Fantasy theme), yaitu pesan yang mendramatisasi. Pesan yang diuraikan dengan cara yang mengesankan, baik berupa kisah, analogi, atau figure percakapan di mana kelompok berinteraksi. Bukan pesan mengenai sesuatu yang hadir ‘di sini’ dan berlangsung pada saat ‘sekarang’, tapi pesan yang merujuk pada sesuatu di luar ‘saat ini’ dan di luar ruang pengalaman kelompok. Fantasi tersebut merupakan interpretasi kreatif dan imajinatif dari peristiwa-peristiwa yang memenuhi kebutuhan psikologis atau retorikal.

Fantasi tersebut biasanya dieskpresikan dalam bentuk cerita, lelucon, metafora dan bahan imajinatif lainnya yang menafsirkan peristiwa-peristiwa familiar. Dalam perspektif konvergensi simbolik, yang lebih diperhatikan, adalah respon kelompok, mengenai apakah benar-benar ada atau tidaknya peristiwa-peristiwa tersebut terjadi, bukanlah isu yang dipentingkan. Respon yang lepas, penuh humor dan mengalir akan membuat suasana komunikasi yang kondusif.

Sebagian kita mungkin teringat rutinitas (Hal-45) saban sore atau malam di kampung dahulu kala, ketika sebagian orang berkumpul dan bercengkerama. Ada yang melakukannya di bawah rindangnya pohon Waru, ada pula yang lesehan sambil minum teh. Perbincangannya ngalor ngidul, sebagian besar mungkin tidak penting. Ada yang membincangkan tetangga yang kehilangan kambing, anak gadis yang kepergok berduaan sama pacarnya, cerita juragan petai yang untung besar, atau cerita-cerita konyol lainnya. Tapi disitulah, mereka membangun kebersamaan dan kehangatan.

Hal serupa mungkin masih kita temukan sekarang, tentu dalam bentuk yang berbeda. Di kantor misalnya, dalam berbagai rapat, ada jeda yang muncul spontan ketika salah seorang peserta melemparkan joke berupa cerita-cerita lucu. Responnya bisa ke mana-mana, sahut-menyahut diantara peserta, tapi apapun itu, bisa meredakan ketegangan, kuncinya tinggal di pemimpin rapat untuk kembali mengarahkan pembicaraaan.

Cerita-cerita semacam itu pada akhirnya akan menjadi visi retoris (rhetorical vision), yakni pandangan dari bagaimana suatu itu ada atau aka nada. Visi retoris merupakan struktur realitas dalam area yang kita tidak bisa alami langsung, tetapi hanya dapat mengetahuinya dengan reprosuksi simbolik. Oleh karenanya, visi-visi seperti itu memberikan kita sebuah image tentang sesuatu di masa lalu, masa depan,  atau di tempat-tempat yang jauh. Visi tersebut berbentuk seperangkat asumsi yang didasari pengetahuan kita. Apa yang kita tampilkan dalam cerita-cerita itu adalah representasi dari peristiwa yang kita alami.

Dalam lingkup yang lebih luas, sebagai bangsa kita juga dipersatukan melalui cerita,baik yang dinarasikan secara formal di sekolah-sekolah atau perbincangan di warung-warung kopi. Dulu, kita bangga dengan cerita seputar nusantara, di mana nenek moyang kita adalah orang-orang tangguh yang menaklukkan samudera. Kita juga dipersatukan oleh heroisme para pahlawan dalam mengusir penjajah.

Pertanyaannya, kini, cerita apa yang mempersatukan kita? Kita khawatir cerita-cerita yang berkembang adalah olok-olok dan sindiran bagi para pemimpin di negeri ini. Beraneka cerita yang kita dapat dari pemberitaan media itu mungkin meredakan suasana atau meningkatkan keeratan kita dalam kelompok, tetapi juga menyisakan kekhawatiran yang dalam. Karena ini adalah cermin visi retoris kita, sungguh merisaukan jika gambaran bangsa dan Negara ini sedemikian terpuruk. Semoga saja, ada pergantian tema cerita nantinya.

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar