Cerita yang
Mempersatukan[1][2]
Edi Santoso
(Hal-44) Jangan
remehkan cerita. Meski Nampak sepele, cerita ternyata bisa mempersatukan atau
menambah erat hubungan antar orang dalam kelompok. Begitulah kesimpulan
sekelompok ilmuwan di Universitas Minnesota pada tahun 1960 dan 1970, dipimpin
oleh Ernest Borman yang berminat pada proses pengembangan diskusi kelompok dan
keputusan yang dibuat di dalam kelompok. Sebelumnya, Robert Bales, lewat
penelitiannya terhadap dinamika kelompok kecil, menemukan bahwa pada situasi
yang tegang, suatu kelompok seringkali menjadi sangat dramatis dan berbagi
cerita atau tema-tema fantasi.
Fakta itu menjelaskan betapa komunikasi
memang unik.efektifitasnya tak bisa dicapai dengan pertimbangan
rasional-mekanis semata, misalnya dengan menakar bobot atau isi pesan dalam
satuan waktu tertentu. Serius tak berarti menegasikan canda atau cerita
remeh-temeh yang dengannya orang bisa saling memberikan tanggapan atau sekadar
tertawaan. Dengan cerita, susasana menjadi cair, ketegangan mereda, dan ide-ide
brilian pun kadang justru muncul setelahnya.
Gagasan Borman cs itu kemudian dikenal
sebagai teori konvergensi simbolik. Ada percakapan ‘simbolik’, yakni berbagai
cerita dalam kelompok yang senantiasa mempersatukan mereka. Konsep sentral
teori ini ialah tema fantasi (Fantasy theme), yaitu pesan yang
mendramatisasi. Pesan yang diuraikan dengan cara yang mengesankan, baik berupa
kisah, analogi, atau figure percakapan di mana kelompok berinteraksi. Bukan
pesan mengenai sesuatu yang hadir ‘di sini’ dan berlangsung pada saat
‘sekarang’, tapi pesan yang merujuk pada sesuatu di luar ‘saat ini’ dan di luar
ruang pengalaman kelompok. Fantasi tersebut merupakan interpretasi kreatif dan
imajinatif dari peristiwa-peristiwa yang memenuhi kebutuhan psikologis atau
retorikal.
Fantasi tersebut biasanya dieskpresikan dalam
bentuk cerita, lelucon, metafora dan bahan imajinatif lainnya yang menafsirkan
peristiwa-peristiwa familiar. Dalam perspektif konvergensi simbolik, yang lebih
diperhatikan, adalah respon kelompok, mengenai apakah benar-benar ada atau
tidaknya peristiwa-peristiwa tersebut terjadi, bukanlah isu yang dipentingkan.
Respon yang lepas, penuh humor dan mengalir akan membuat suasana komunikasi
yang kondusif.
Sebagian kita mungkin teringat rutinitas (Hal-45) saban
sore atau malam di kampung dahulu kala, ketika sebagian orang berkumpul dan
bercengkerama. Ada yang melakukannya di bawah rindangnya pohon Waru, ada pula
yang lesehan sambil minum teh. Perbincangannya ngalor ngidul, sebagian
besar mungkin tidak penting. Ada yang membincangkan tetangga yang kehilangan
kambing, anak gadis yang kepergok berduaan sama pacarnya, cerita juragan petai
yang untung besar, atau cerita-cerita konyol lainnya. Tapi disitulah, mereka
membangun kebersamaan dan kehangatan.
Hal serupa mungkin masih kita temukan
sekarang, tentu dalam bentuk yang berbeda. Di kantor misalnya, dalam berbagai
rapat, ada jeda yang muncul spontan ketika salah seorang peserta melemparkan
joke berupa cerita-cerita lucu. Responnya bisa ke mana-mana, sahut-menyahut
diantara peserta, tapi apapun itu, bisa meredakan ketegangan, kuncinya tinggal
di pemimpin rapat untuk kembali mengarahkan pembicaraaan.
Cerita-cerita semacam itu pada akhirnya akan
menjadi visi retoris (rhetorical vision), yakni pandangan
dari bagaimana suatu itu ada atau aka nada. Visi retoris merupakan struktur
realitas dalam area yang kita tidak bisa alami langsung, tetapi hanya dapat
mengetahuinya dengan reprosuksi simbolik. Oleh karenanya, visi-visi seperti itu
memberikan kita sebuah image tentang sesuatu di masa lalu,
masa depan, atau di tempat-tempat yang
jauh. Visi tersebut berbentuk seperangkat asumsi yang didasari pengetahuan
kita. Apa yang kita tampilkan dalam cerita-cerita itu adalah representasi dari
peristiwa yang kita alami.
Dalam lingkup yang lebih luas, sebagai bangsa
kita juga dipersatukan melalui cerita,baik yang dinarasikan secara formal di
sekolah-sekolah atau perbincangan di warung-warung kopi. Dulu, kita bangga
dengan cerita seputar nusantara, di mana nenek moyang kita adalah orang-orang
tangguh yang menaklukkan samudera. Kita juga dipersatukan oleh heroisme para
pahlawan dalam mengusir penjajah.
Pertanyaannya, kini, cerita apa yang
mempersatukan kita? Kita khawatir cerita-cerita yang berkembang adalah
olok-olok dan sindiran bagi para pemimpin di negeri ini. Beraneka cerita yang
kita dapat dari pemberitaan media itu mungkin meredakan suasana atau meningkatkan
keeratan kita dalam kelompok, tetapi juga menyisakan kekhawatiran yang dalam.
Karena ini adalah cermin visi retoris kita, sungguh merisaukan jika gambaran
bangsa dan Negara ini sedemikian terpuruk. Semoga saja, ada pergantian tema
cerita nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar