(Bukan)
Akhir Media Cetak[1][2]
Edi Santoso
(Hal-50) Newsweek
tentu bukan media cetak besar pertama yang gulung tikar. Tetapi
pernyataan Pemimpin Redaksi Newsweek Tina Brown bahwa saingan
majalah Time ini tidak akan terbit lagi sangat mengejutkan, sampai-sampai
ada yang beranggapan inilah penanda bahwa kematian media cetak sudah di depan
mata. Banyak yang mulai yakin dengan tesis Marshal Mcluhan (1967) bahwa era
tanpa kertas (paperless) akan menandai perjalanan sejarah manusia.
Bahwa orang terkejut, sangatlah wajar,
mengingat reputasi Newsweek selama delapan dekade terakhir. Didirikan pada 1933
oleh Thomas JC Martyn, mantan editor Time, majalah Newsweek pernah menjadi
majalah yang ditunggu-tunggu bersama. Warga rela menunggu selama seminggu hanya
untuk menunggu apa gerangan yang akan disajikan Newsweek. Pelanggan
majalah ini sempat sampai 3,15 juta orang pada puncaknya tahun 2000. Bisa
dibilang, Time dan Newsweek
adalah dua ikon majalah berskala internasional.
Pertanyaan mudahnya, jika Newsweek
saja tak tahan dengan tantangan pasar, bagaimana dengan majalah-majalah
lain? Tentu saja tidak sesederhana itu untuk menjelaskan realitas media cetak
yang sesungguhnya. Brown sendiri menjelaskan transformasi Newsweek yang sampai
terakhir terbit masih memiliki 1,5 juta pelanggan, dari cetak menjadi digital,
lebih merupakan strategi bisnis. Pembaca Newsweek tidak hengkang sama sekali,
tetapi berkurang.
Presiden The Association of Magazine Media, Marry
Berner, mengatakan keputusan Newsweek berubah menjadi digital tak
merefleksikan kesehatan media cetak. “Industri ini belum masuk toilet. Ini
tidak benar. Keinginan membaca majalah versi cetak belum enyah,” ujar Marry.
Editor majalah Time, Rick Stengel, mengatakan belum akan mengikuti langkah Newsweek.
“Edisi cetak tetap andalan bagi grup Time. Sejak lama kami
tidak melihat Newsweek sebagai (Hal-51) pesaing utama dan tunggal, kami
melihat banyak penerbitan lain sebagai pesaing sehingga kami terus berjuang
memperbaiki diri dan tampil mengesankan,” ujar dia.
Pendapat mereka yang optimis didukung oleh
beberapa fakta yang menunjukkan bahwa industry media cetak sebetulnya relatif
stabil. Menurut MediaFinder.com, sejak Januari hingga Agustus 2012, ada 181
majalah edisi cetak di Amerika yang terbit da hanya 61 diantaranya yang gulung
tikar. Majalah yang bertema bisnis termasuk stabil. The Economist misalnya,
oplahnya justru meningkat, dari 884.000 eksemplar pertahun menjadi 1,6 juta
eksemplar tahun ini.
Di Indonesia sendiri, menurut penelitian
Merlyna Lim (2011), Media cetak memang mengalami penurunan, tapi tak selayak
penurunan khalayak Radio. Sementara televise, masih mendominasi, dan tentu saja
media online meningkat signifikan. Menarikanya dalam penelitian itu, media
cetak (Koran) masih dianggap masyarakat sumber berita paling penting. Media
cetak, kata Lim, tetaplah berada di jantung landskap isi media, khususnya dalam
produksi berita. David T Hill menambahkan, meski jangkauannya kalah oleh media
elektronik, media cetak tetap mendominasi dalam mendefinisikan apa itu berita.
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Serikat
Perusahaan Pers (SPS) pun menyimpulkan, media cetak di Indonesia akan tetap
eksis, setidaknya sampai 30 tahun ke depan. Ada yang tidak tergantikan dari
media cetak, terutama bagi generasi yang mengenal media cetak terlebih dulu
sebelum media online (immigrant digital). Sensasi
memegang kertas, membuka lembar-lembarnya, aroma kertas, atau kebiasaan
menenteng dan mendokumentasikannya telah menjadi bagian dari budaya kita
berinteraksi dengan media.
Sejarah juga membuktikan, kehadiran media
baru tidak serta merta menggantikan media lama. Televisi misalnya,
kemunculannya dengan daya impresinya yang mengakomodir sisi audio dan visual
sekaligus kemudian menggusur radio (yang hanya mengandalkan aspek audio) sama
sekali. Radio tetap bertahan, karena ada karakternya yang tak tergantikan,
sebagaimana juga dalam media cetak.
Namun, ‘gugurnya’ beberapa perusahaan surat
kabar atau majalah harus menjadi pelajaran penting, bahwa pasar media telah
berubah. Suka atau tidak, kemunculan media baru membawa dampak signifikan.
Kepercayaan khalayak yang tinggi pada media cetak adalah modal penting untuk
bertahan. Media cetak akan tetap menjadi pilihan di tengah euphoria dunia maya,
terutama jika bisa mengisi celah-celah yang belum terjawab tuntas oleh media online,
misalnya kedalaman dan keterpercayaan. Tak kalah pentingnya, bagaimana
media cetak mampu mengelola sensasi berinteraksi dengan kertas, sehingga
menjadi pengalaman yang tak tergantikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar