Jumat, 04 September 2020

(Bukan) Akhir Media Cetak

(Bukan) Akhir Media Cetak[1][2]

Edi Santoso 

(Hal-50) Newsweek tentu bukan media cetak besar pertama yang gulung tikar. Tetapi pernyataan Pemimpin Redaksi Newsweek Tina Brown bahwa saingan majalah Time ini tidak akan terbit lagi sangat mengejutkan, sampai-sampai ada yang beranggapan inilah penanda bahwa kematian media cetak sudah di depan mata. Banyak yang mulai yakin dengan tesis Marshal Mcluhan (1967) bahwa era tanpa kertas (paperless) akan menandai perjalanan sejarah manusia.



Bahwa orang terkejut, sangatlah wajar, mengingat reputasi Newsweek selama delapan dekade terakhir. Didirikan pada 1933 oleh Thomas JC Martyn, mantan editor Time, majalah Newsweek pernah menjadi majalah yang ditunggu-tunggu bersama. Warga rela menunggu selama seminggu hanya untuk menunggu apa gerangan yang akan disajikan Newsweek. Pelanggan majalah ini sempat sampai 3,15 juta orang pada puncaknya tahun 2000. Bisa dibilang, Time  dan Newsweek adalah dua ikon majalah berskala internasional.

Pertanyaan mudahnya, jika Newsweek saja tak tahan dengan tantangan pasar, bagaimana dengan majalah-majalah lain? Tentu saja tidak sesederhana itu untuk menjelaskan realitas media cetak yang sesungguhnya. Brown sendiri menjelaskan transformasi Newsweek yang sampai terakhir terbit masih memiliki 1,5 juta pelanggan, dari cetak menjadi digital, lebih merupakan strategi bisnis. Pembaca Newsweek tidak hengkang sama sekali, tetapi berkurang.

Presiden The Association of Magazine Media, Marry Berner, mengatakan keputusan Newsweek berubah menjadi digital tak merefleksikan kesehatan media cetak. “Industri ini belum masuk toilet. Ini tidak benar. Keinginan membaca majalah versi cetak belum enyah,” ujar Marry. Editor majalah Time, Rick Stengel, mengatakan belum akan mengikuti langkah Newsweek. “Edisi cetak tetap andalan bagi grup Time. Sejak lama kami tidak melihat Newsweek sebagai (Hal-51) pesaing utama dan tunggal, kami melihat banyak penerbitan lain sebagai pesaing sehingga kami terus berjuang memperbaiki diri dan tampil mengesankan,” ujar dia.

Pendapat mereka yang optimis didukung oleh beberapa fakta yang menunjukkan bahwa industry media cetak sebetulnya relatif stabil. Menurut MediaFinder.com, sejak Januari hingga Agustus 2012, ada 181 majalah edisi cetak di Amerika yang terbit da hanya 61 diantaranya yang gulung tikar. Majalah yang bertema bisnis termasuk stabil. The Economist misalnya, oplahnya justru meningkat, dari 884.000 eksemplar pertahun menjadi 1,6 juta eksemplar tahun ini.

Di Indonesia sendiri, menurut penelitian Merlyna Lim (2011), Media cetak memang mengalami penurunan, tapi tak selayak penurunan khalayak Radio. Sementara televise, masih mendominasi, dan tentu saja media online meningkat signifikan. Menarikanya dalam penelitian itu, media cetak (Koran) masih dianggap masyarakat sumber berita paling penting. Media cetak, kata Lim, tetaplah berada di jantung landskap isi media, khususnya dalam produksi berita. David T Hill menambahkan, meski jangkauannya kalah oleh media elektronik, media cetak tetap mendominasi dalam mendefinisikan apa itu berita.

Sebuah kajian yang dilakukan oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS) pun menyimpulkan, media cetak di Indonesia akan tetap eksis, setidaknya sampai 30 tahun ke depan. Ada yang tidak tergantikan dari media cetak, terutama bagi generasi yang mengenal media cetak terlebih dulu sebelum media online (immigrant digital). Sensasi memegang kertas, membuka lembar-lembarnya, aroma kertas, atau kebiasaan menenteng dan mendokumentasikannya telah menjadi bagian dari budaya kita berinteraksi dengan media.

Sejarah juga membuktikan, kehadiran media baru tidak serta merta menggantikan media lama. Televisi misalnya, kemunculannya dengan daya impresinya yang mengakomodir sisi audio dan visual sekaligus kemudian menggusur radio (yang hanya mengandalkan aspek audio) sama sekali. Radio tetap bertahan, karena ada karakternya yang tak tergantikan, sebagaimana juga dalam media cetak.

Namun, ‘gugurnya’ beberapa perusahaan surat kabar atau majalah harus menjadi pelajaran penting, bahwa pasar media telah berubah. Suka atau tidak, kemunculan media baru membawa dampak signifikan. Kepercayaan khalayak yang tinggi pada media cetak adalah modal penting untuk bertahan. Media cetak akan tetap menjadi pilihan di tengah euphoria dunia maya, terutama jika bisa mengisi celah-celah yang belum terjawab tuntas oleh media online, misalnya kedalaman dan keterpercayaan. Tak kalah pentingnya, bagaimana media cetak mampu mengelola sensasi berinteraksi dengan kertas, sehingga menjadi pengalaman yang tak tergantikan.  

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar