Jumat, 04 September 2020

Opini dan Fakta di Media

Opini dan Fakta di Media[1][2]

Edi Santoso

(Hal-42) Sungguhkah hidup kita diatur oleh media massa? Bisa jadi benar, tapi mungkin juga tidak. Bagi kita yang larut di era informasi dengan peran dominan media sebagai penyedia informasi, anggapan itu barangkali benar. Yakni mereka yang bahkan sejak bangun tidur langsung menyalakan televise, radio, membaca Koran, atau membuka internet untuk menyimak kabar terkini. Mereka yang merasa tersambung dengan peradaban hanya jika terkoneksi dengan limpahan informasi dari berbagai sumber.



Tetapi pengaruh media memang tidak serta merta, karena ini terkait dengan keberdayaan kita sebagai khalayak. Banyak riset yang menunjukkan respon yang beragam orang atas berita atau informasi yang sama. Sebuah berita bisa direspon biasa saja oleh satu orang, tetapi oleh yang lain mungkin menimbulkan histeria. Khalayak yang responsive seringkali ditandai oleh ketidakpahaman mereka atas logika media. Mereka sulit membedakan antara peristiwa di luar sana dan realitas bentukan media.

Jika ini menyangkut peristiwa sosiologis, yakni kejadian-kejadian seperti bencana, upacara, cuaca, atau yang lainnya, persoalannya mungkin akan lebih sederhana, karena mudah diverivikasi. Jumlah korban, waktu kejadian, atau deskripsi peristiwa misalnya, lebih mudah dicek kebenarannya, baik dengan turun langsung ke lapangan atau membandingkan dengan sumber lainnya. Namun pada berita yang berdimensi psikologis, yakni opini atas peristiwa atau fenomena, media punya otoritas yang sulit digugat. Mereka punya hak untuk menentukan ssiapa yang layak didengar suaranya. Prinsip keseimbangan (cover both side) terlalu absurd dalam praktiknya.

Persoalannya, media massa justru cenderung memberikan ruang lebih pada opini ketimbang fakta lingkungan. Bukalah Koran (Hal-51) hari ini dan lihatlah halaman utamanya, betapa opini sedemikian dominan. Hal yang sama juga ada pada berbagai televise berita, isinya tak lebih dari kata si fulan dan fulanah. Ada isu yang terus bergulir karena opini yang berkelindan. Dan ironisnya, seringkali arah opini sudah diarahkan sedemikian rupa. Dimulai dari pemilihan topic yang hendak ‘dihangatkan’, sampai pemilihan narasumber untuk mendukung gagasan.

Fakta di luar sana tak akan sepenuhnya sampai ke media untuk disebarluaskan kepada kita. Media melihat melihat peristiwa atau fenomena, kemudian membangun persepsi atasnya. Realitas pertama ada pada peristiwa itu sendiri, sedangkan yang sampai kepada kita adalah realitas kedua atau kesekian, hasil bentukan media (constructed reality). Singkatnya, yang disuguhkan media kepada kita sejatinya adalah tafsir atas peristiwa. Medialah yang mendefinisikan sebuah isu atau tema untuk dibincangkan.

Jebakan berikutnya adalah pengarusutamaan (mainstreaming) seringkali berangkat dari pola pikir sederhana, misalnya logika moral benar-salah, baik-buruk. Batas antara subtansi dan asesori terkaburkan oleh simplifikasi persoalan. Duduk perkara menjadi tak jelas juntrungnya karena gagal untuk ditempatkan pada sudut pandang yang cerdas. Gagasan-gagasan alternative pun buru-buru layu karena dihantam bertubi-tubi oleh opini yang seragam.

Khalayak yang cerdas akan melihat secara proporsional keberadaan media massa dengan segala isu yang dihembuskannya. Media tak lebih dari entitas yang menawarkan sebuah opini tertentu. Opini yang dirangkai dan dibangun dari pendapat banyak orang dengan bingkai (frame) tertentu. Sebagai opini, maka kedudukannya sama dengan pendapat lainnya, sehingga kebenaran dan keabsahannya layak  didiskusikan lebih lanjut. Menjadi khalayak yang skeptik atau kritis ada benarnya.

Khalayak yang cerdas tak akan buru-buru menarik kesimpulan berdasarkan berita yang beredar. Mereka bukan orang yang responsive, yang mudah tergopoh-gopoh ketika menerima kabar sensitif. Tetapi mereka juga bukan orang yang bebal, yang anti media atau selalu kontra pada pandangan orang lain.

Ruang publik, termasuk yang diciptakan oleh media, tetaplah penting untuk pengayaan gagasan. Tetapi, kita juga harus mengakui keterbatasannya. Terlalu banyak pendapat di luar sana, tetapi terlalu sedikit ruang yang dimiliki media untuk menampungnya.  Pilihan untuk memilih mana yang layak tamping dan berapa ruang yang perlu disediakan untuknya sepenuhnya subyektif.

Selain ruang, juga ada keterbatasan kapasitas pemilik opini. Sayangnya, bursa opini banyak yang kemudian terjebak dalam dunia populer media. Kepatutan tayang atau muat seringkali ditentukan bukan oleh otentisitas gagasan. Maka, jika media adalah opini, kita harus bisa menakar kualitasnya. Kita hidup dalam luapan pendapat, tetapi anehnya miskin solusi. Mungkin kita kelebihan pengamat dan komentator tetapi miskin pemikir dan pengambil keputusan.

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar