Opini dan
Fakta di Media[1][2]
Edi Santoso
(Hal-42) Sungguhkah
hidup kita diatur oleh media massa? Bisa jadi benar, tapi mungkin juga tidak.
Bagi kita yang larut di era informasi dengan peran dominan media sebagai
penyedia informasi, anggapan itu barangkali benar. Yakni mereka yang bahkan
sejak bangun tidur langsung menyalakan televise, radio, membaca Koran, atau
membuka internet untuk menyimak kabar terkini. Mereka yang merasa tersambung
dengan peradaban hanya jika terkoneksi dengan limpahan informasi dari berbagai
sumber.
Tetapi pengaruh media memang tidak serta
merta, karena ini terkait dengan keberdayaan kita sebagai khalayak. Banyak
riset yang menunjukkan respon yang beragam orang atas berita atau informasi
yang sama. Sebuah berita bisa direspon biasa saja oleh satu orang, tetapi oleh
yang lain mungkin menimbulkan histeria. Khalayak yang responsive seringkali
ditandai oleh ketidakpahaman mereka atas logika media. Mereka sulit membedakan
antara peristiwa di luar sana dan realitas bentukan media.
Jika ini menyangkut peristiwa sosiologis,
yakni kejadian-kejadian seperti bencana, upacara, cuaca, atau yang lainnya,
persoalannya mungkin akan lebih sederhana, karena mudah diverivikasi. Jumlah
korban, waktu kejadian, atau deskripsi peristiwa misalnya, lebih mudah dicek
kebenarannya, baik dengan turun langsung ke lapangan atau membandingkan dengan
sumber lainnya. Namun pada berita yang berdimensi psikologis, yakni opini atas
peristiwa atau fenomena, media punya otoritas yang sulit digugat. Mereka punya
hak untuk menentukan ssiapa yang layak didengar suaranya. Prinsip keseimbangan (cover
both side) terlalu absurd dalam praktiknya.
Persoalannya, media massa justru cenderung
memberikan ruang lebih pada opini ketimbang fakta lingkungan. Bukalah Koran (Hal-51) hari
ini dan lihatlah halaman utamanya, betapa opini sedemikian dominan. Hal yang
sama juga ada pada berbagai televise berita, isinya tak lebih dari kata si
fulan dan fulanah. Ada isu yang terus bergulir karena opini yang berkelindan.
Dan ironisnya, seringkali arah opini sudah diarahkan sedemikian rupa. Dimulai
dari pemilihan topic yang hendak ‘dihangatkan’, sampai pemilihan narasumber
untuk mendukung gagasan.
Fakta di luar sana tak akan sepenuhnya sampai
ke media untuk disebarluaskan kepada kita. Media melihat melihat peristiwa atau
fenomena, kemudian membangun persepsi atasnya. Realitas pertama ada pada
peristiwa itu sendiri, sedangkan yang sampai kepada kita adalah realitas kedua
atau kesekian, hasil bentukan media (constructed reality). Singkatnya,
yang disuguhkan media kepada kita sejatinya adalah tafsir atas peristiwa.
Medialah yang mendefinisikan sebuah isu atau tema untuk dibincangkan.
Jebakan berikutnya adalah pengarusutamaan (mainstreaming)
seringkali berangkat dari pola pikir sederhana, misalnya logika moral
benar-salah, baik-buruk. Batas antara subtansi dan asesori terkaburkan oleh
simplifikasi persoalan. Duduk perkara menjadi tak jelas juntrungnya karena
gagal untuk ditempatkan pada sudut pandang yang cerdas. Gagasan-gagasan
alternative pun buru-buru layu karena dihantam bertubi-tubi oleh opini yang
seragam.
Khalayak yang cerdas akan melihat secara
proporsional keberadaan media massa dengan segala isu yang dihembuskannya. Media
tak lebih dari entitas yang menawarkan sebuah opini tertentu. Opini yang dirangkai
dan dibangun dari pendapat banyak orang dengan bingkai (frame) tertentu. Sebagai
opini, maka kedudukannya sama dengan pendapat lainnya, sehingga kebenaran dan
keabsahannya layak didiskusikan lebih
lanjut. Menjadi khalayak yang skeptik atau kritis ada benarnya.
Khalayak yang cerdas tak akan buru-buru
menarik kesimpulan berdasarkan berita yang beredar. Mereka bukan orang yang
responsive, yang mudah tergopoh-gopoh ketika menerima kabar sensitif. Tetapi
mereka juga bukan orang yang bebal, yang anti media atau selalu kontra pada
pandangan orang lain.
Ruang publik, termasuk yang diciptakan oleh
media, tetaplah penting untuk pengayaan gagasan. Tetapi, kita juga harus
mengakui keterbatasannya. Terlalu banyak pendapat di luar sana, tetapi terlalu
sedikit ruang yang dimiliki media untuk menampungnya. Pilihan untuk memilih mana yang layak tamping
dan berapa ruang yang perlu disediakan untuknya sepenuhnya subyektif.
Selain ruang, juga ada keterbatasan kapasitas
pemilik opini. Sayangnya, bursa opini banyak yang kemudian terjebak dalam dunia
populer media. Kepatutan tayang atau muat seringkali ditentukan bukan oleh
otentisitas gagasan. Maka, jika media adalah opini, kita harus bisa menakar
kualitasnya. Kita hidup dalam luapan pendapat, tetapi anehnya miskin solusi.
Mungkin kita kelebihan pengamat dan komentator tetapi miskin pemikir dan pengambil
keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar