Jumat, 04 September 2020

Komunikasi Keluarga

Komunikasi Keluarga[1][2]

Edi Santoso

 (Hal-44) Keluarga lebih dari sekadar kumpulan orang. Keluarga, kata Sosiolog Ernest W. Burges, adalah sebuah kehidupan, perubahan pertumbuhan, dan kesatuan orang yang berinteraksi (Unity of interacting person). Di keluarga lah, dalam kondisi normal, interaksi sosial pertama kali terjadi, semenjak kita lahir atau kanak-kanak. Bahkan sejak dalam kandungan, bayi berinteraksi dengan anggota keluarganya, meski dalam bentuk komunikasi nonverbal. Inilah komunikasi dini, komunikasi pertama yang dilakukan seorang manusia dengan sesamanya.



Komunikasi dini memegang peran krusial dalam perkembangan kejiwaan anak. Pasca Perang Dunia II, banyak anak korban perang yang menjadi pengungsi atau kehilangan orangtuanya, mengalami masalah kejiwaan yang serius. PBB kemudian menugaskan seorang psikiatris dan Psikoanalis John Bowlby untuk mengurai akar permasalahannya. Melalui serangkaian penelitian, Bowbly menyimpulkan, momen krusial terjadi dalam interaksi bayi dan orang lain dalam usia sejak lahir hingga dua tahun. Bayi akan lekat dengan orang-orang yang berinteraksi (berkomunikasi) dengannya secara sensitive dan responsive.

Secara naluriah, bayi akan mencari rasa aman pada orang di sekelilingnya. Komunikasi dalam bentuk apapun, baik verbal berupa sapaan atau candaan ataupun noverbal seperti sentuhan atak ekspresi muka adalah sebentuk jaminan akan rasa aman, karena menggambarkan kedekatan. Kualitas interaksi ini akan mempengaruhi emosi, persepsi, pikiran, dan harapan-harapan mereka dalam relasi selanjutnya. Naluri ini akan diikuti oleh ketakutan dan kesedihan (Hal-45) akan terpisahnya dengan orang-orang terdekat. Maka, memori, terpisah akan terus membekas dan menyulitkan mereka untuk membangun relasi dengan orang lain di kemudian hari.

Dalam fase selanjutnya, komunikasi dalam keluarga akan membentuk jati diri. Steinmetz mengatakan, kita tidak dilahirkan dengan pemahaman siapa kita, tetapi kita mendefinisikan siapa kita melalui simbolisasi dengan orang lain. Interaksi (komunikasi) lah yang membangun identitas kita. Karena keluarga merupakan ruang komunikasi utama, sejak belia hingga dewasa, maka perannya sangat signifikan. Komunikasi dengan orang tua, saudara, kakek-nenek, dan anggota keluarga besar lainnya adalah praktik simbolik yang akan memandu siapa kita.

Kata-kata yang membesarkan jiwa sangat signifikan pengaruhnya, begitu pula sebaliknya. Ungkapan-ungkapan positif akan menjadikan anggota keluarga berpikir dan bertindak konstruktif. Sebaliknya, hinaan, cercaan, ungkapan ketidakpercayaan atau ekspresi perendahan (underestimate) hanya akan mendorong dan melahirkan sikap rendah diri atau destruktif lainya. Maka, berhati-hatilah dengan praktik labelling (penjulukan). Itulah pentingnya memberi nama yang baik bagi seorang anak. Ketika bayi belum bisa bicara, kita sudah menyapanya dengan namanya. Bayangkan jika namanya berkonotasi buruk, betapa sering ungkapan negative mengendap di kepalanya.

Ketika ikatan keluarga kuat, bahkan cara dan gaya komunikasi kita pun terbawa. Sebuah contoh ekstrim di gambarkan dalam film Nell. Seorang gadis, Nell (Jodie Foster), yang tinggal di tengah hutan berperilaku aneh, dengan bahasa yang berbeda dengan orang pada umumnya. Beberapa psikiater bahkan menyebutnya gila, karena tidak bisa berkomunikasi dengan masyarakat umum. Setelah ditelusuri ternyata dia sepenuhnya normal. Perilaku anehnya adalah akibat komunikasi dalam keluarga yang unik. Di tengah hutan, dia tumbuh dan berinteraksi hanya dengan ibu dan saudara perempuannya. Kepada anak-anaknya, sang ibu hanya berkomunikasi dengan bahasa kuno (Ibrani) yang tak lagi memiliki penutur di zaman modern.

Jika lingkungan luar tak bisa dikendalikan, maka mengkondisikan keluarga jauh lebih memungkinkan. Sebelum anak-anak menemukan dunia liar bernama lingkungan pergaulan, pastilah mereka terlebih dahulu tumbuh dalam keluarga. Maka, ikhtiar membangun komunikasi dalam keluarga yang hangat, dekat dan konstruktif, adalah langkah penting membangun pribadi yang tangguh.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 279 Th.14, Ramadhan 1433, 26 Juli 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar