Edi Santoso
(Hal-44) Keluarga lebih dari sekadar kumpulan orang. Keluarga, kata Sosiolog Ernest W. Burges, adalah sebuah kehidupan, perubahan pertumbuhan, dan kesatuan orang yang berinteraksi (Unity of interacting person). Di keluarga lah, dalam kondisi normal, interaksi sosial pertama kali terjadi, semenjak kita lahir atau kanak-kanak. Bahkan sejak dalam kandungan, bayi berinteraksi dengan anggota keluarganya, meski dalam bentuk komunikasi nonverbal. Inilah komunikasi dini, komunikasi pertama yang dilakukan seorang manusia dengan sesamanya.
Komunikasi dini memegang peran krusial dalam
perkembangan kejiwaan anak. Pasca Perang Dunia II, banyak anak korban perang
yang menjadi pengungsi atau kehilangan orangtuanya, mengalami masalah kejiwaan
yang serius. PBB kemudian menugaskan seorang psikiatris dan Psikoanalis John
Bowlby untuk mengurai akar permasalahannya. Melalui serangkaian penelitian,
Bowbly menyimpulkan, momen krusial terjadi dalam interaksi bayi dan orang lain
dalam usia sejak lahir hingga dua tahun. Bayi akan lekat dengan orang-orang
yang berinteraksi (berkomunikasi) dengannya secara sensitive dan responsive.
Secara naluriah, bayi akan mencari rasa aman
pada orang di sekelilingnya. Komunikasi dalam bentuk apapun, baik verbal berupa
sapaan atau candaan ataupun noverbal seperti sentuhan atak ekspresi muka adalah
sebentuk jaminan akan rasa aman, karena menggambarkan kedekatan. Kualitas
interaksi ini akan mempengaruhi emosi, persepsi, pikiran, dan harapan-harapan
mereka dalam relasi selanjutnya. Naluri ini akan diikuti oleh ketakutan dan
kesedihan (Hal-45) akan terpisahnya
dengan orang-orang terdekat. Maka, memori, terpisah akan terus membekas dan
menyulitkan mereka untuk membangun relasi dengan orang lain di kemudian hari.
Dalam fase selanjutnya, komunikasi dalam
keluarga akan membentuk jati diri. Steinmetz mengatakan, kita tidak dilahirkan
dengan pemahaman siapa kita, tetapi kita mendefinisikan siapa kita melalui
simbolisasi dengan orang lain. Interaksi (komunikasi) lah yang membangun
identitas kita. Karena keluarga merupakan ruang komunikasi utama, sejak belia
hingga dewasa, maka perannya sangat signifikan. Komunikasi dengan orang tua,
saudara, kakek-nenek, dan anggota keluarga besar lainnya adalah praktik
simbolik yang akan memandu siapa kita.
Kata-kata yang membesarkan jiwa sangat
signifikan pengaruhnya, begitu pula sebaliknya. Ungkapan-ungkapan positif akan
menjadikan anggota keluarga berpikir dan bertindak konstruktif. Sebaliknya,
hinaan, cercaan, ungkapan ketidakpercayaan atau ekspresi perendahan (underestimate)
hanya akan mendorong dan melahirkan sikap rendah diri atau destruktif
lainya. Maka, berhati-hatilah dengan praktik labelling (penjulukan).
Itulah pentingnya memberi nama yang baik bagi seorang anak. Ketika bayi belum
bisa bicara, kita sudah menyapanya dengan namanya. Bayangkan jika namanya
berkonotasi buruk, betapa sering ungkapan negative mengendap di kepalanya.
Ketika ikatan keluarga kuat, bahkan cara dan
gaya komunikasi kita pun terbawa. Sebuah contoh ekstrim di gambarkan dalam film
Nell. Seorang gadis, Nell (Jodie Foster), yang tinggal di tengah hutan
berperilaku aneh, dengan bahasa yang berbeda dengan orang pada umumnya.
Beberapa psikiater bahkan menyebutnya gila, karena tidak bisa berkomunikasi
dengan masyarakat umum. Setelah ditelusuri ternyata dia sepenuhnya normal.
Perilaku anehnya adalah akibat komunikasi dalam keluarga yang unik. Di tengah
hutan, dia tumbuh dan berinteraksi hanya dengan ibu dan saudara perempuannya.
Kepada anak-anaknya, sang ibu hanya berkomunikasi dengan bahasa kuno (Ibrani)
yang tak lagi memiliki penutur di zaman modern.
Jika lingkungan luar tak bisa dikendalikan,
maka mengkondisikan keluarga jauh lebih memungkinkan. Sebelum anak-anak
menemukan dunia liar bernama lingkungan pergaulan, pastilah mereka terlebih dahulu
tumbuh dalam keluarga. Maka, ikhtiar membangun komunikasi dalam keluarga yang
hangat, dekat dan konstruktif, adalah langkah penting membangun pribadi yang
tangguh.*
[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar