Ketika Media
Menjadi Hakim[1][2]
Edi Santoso
(Hal-41) Dengan
jangkauannya, media massa punya kuasa. Di era informasi, arah opini hamper
sepenuhnya ditentukan oleh media. Tidak berlebihan jika media dianggap sebagai
pihak yang mendefinisikan dunia hari ini (defining
agency). Bahkan media sejak abad ke-18 sering disebut sebagai pilar keempat
(fourth estate), yakni lembaga yang
mempunyai kekuatan besar dalam masyarakat. Merah Hijaunya dunia sangat
ditentukan oleh media.
Tapi nampaknya adigium Lord Acton bahwa
‘kekuasaan cenderung korup’ (power tend
to corrupt) berlaku bagi siapapun, termasuk media massa. Kekuasaan media,
harus kita akui, memang berjasa dalam mewujudkan demokratisasi, terutama karena
perannya sebagai alat control sosial karena perannya sebagai alat control
sosial. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa tak sedikit praktik
penyalahgunaan kekuasaan oleh media terjadi. Salah satu catatan hitam itu
adalah penghakiman oleh media (trial by
the press).
Penghakiman itu terjadi dalam berbagai kasus
hokum. Ketika hakim belum memutus sebuah perkara, media sudah mengetuk palunya.
Ketika seseorang masih berstatus tersangka, media sudah mencitrakannya sebagai
terdakwa atau terpidana. Kita bisa bayangkan betapa banyak orang yang namanya
keburu hancur bahkan sebelum dia terbukti bersalah. Jika yang bersangkutan
ternyata tak terbukti bersalah, sungguh layak media merasa berdosa.
Sayangnya memang, tak semua media menghormati prosedur hokum yang semestinya.
Tahapan tersangka, terdakwa, dan terpidana dalam proses hukum seringkali
terkacaukan oleh semangat sensasional media. Begitu seseorang ditetapkan
menjadi tersangka, melalui pemberitaan sensasional, yang bersangkutan seolah
telah sunguh-sungguh bersalah. Ini diperparah oleh kecenderungan media saat ini
yang lebih banyak mengangkat fakta-fakta
psikologis, yakni fakta yang berasal dari pendapat orang. Jadilah jurnalisme
menjadi praktik mengumpulkan perkataan orang. Tulisan berita didominasi oleh
istilah ‘konon katanya’.
Dari mana datangnya jebakan penghakiman oleh
media? Pertama, penyakit sensasionalisme akut. Sensasionalisme
seringkali (Hal-41)
dikaitkan dentan praktik ‘yellow journalism’ yang menandai
pemberitaan bombastis demi menaikkan oplah. Dan adagium ‘bad news is good news’ pun
menemukan pembenarannya. Begitu juga ada kasus-kasus besar yang melibatkan
seseorang, apalagi yang bersangkutan masuk dalam kategori tokoh public, media
selalu bersemangat untuk meng-cover habis. Semakin banyak masalah,
semakin laku media.
Sayangnya, sensasionalisme seringkali
menumpulkan daya objektif media. Yang dipentingkan kemudian adalah dampak heboh
bagi khalayak. Soal benar atau tidak faktanya, itu dipikir belakangan. Kalaupun
salah dan ada yang protes, toh media bisa meralatnya. Nyaris
tidak ada kepekaan bagaimana orang yang harus hancur namanya, diikuti rusaknya
karir bahkan keluarganya, gara-gara pemberitaan yang hanya mementingkan
sensasi.
Kedua, kepentingan ekstramedia. Media
sulit menjadi independen, terutama di era industri. Mekanisme bisnis, melalui
berbagai cara, telah banyak menundukkan media untuk kepentingan tertentu,
termasuk kepentingan politik. Kitapun tidak heran jika kemudian pemberitaan
bisa dikendalikan sedemikian rupa untuk membangun citra tertentu. Dan jika
kemudian media melakukan ‘penghakiman’ maka ini bagian dari sebuah ‘proyek’
tertentu.
Ini semua, tentu saja, bukan untuk membela
mereka yang sedang berperkara. Ini sekedar mengingatkan kembali, betapa di luar
sisi konstruktif media yang harus selalu kita apresiasi, ada kemungkinan malpraktik
pemberitaan yang harus kita waspadai. Media tak akan pernah bisa, dan memang
tak boleh, menjadi hakim. Keputusan hakim selalu tegas dan jelas; benar atau
salah. Hakim harus membuat kepastian hokum, sementara media tak akan pernah
bisa member kepastian. Media hanya memberitakan, bukan memvonis.
Demi kredibilitas, media harus berhati-hati
memberikan penilaian, apalagi membuat
keputusan. Berapa banyak korban ‘trial by press’ yang sulit
menemukan kembali nama baikknya. Pemberian hak jawab atau klarifikasi tak serta
merta menyelesaikan masalah, apalagi jika dilakukan dengan tidak tulus,
misalnya sekedar memuat protes pada halaman surat pembaca. Kita harus selalu
ingat prinsip irreversible dalam komunikasi, bahwa apa yang sudah kita
ucapkan atau tuliskan sejatinyatak bisa ditarik kembali. Permintaan maaf tidak
akan pernah mengobati luka.
Sebagai pembaca, kita juga harus cerdas
menimbang berita. Kepercayaan pada media jangan sampai membunuh akal sehat,
apalagi hati nurani kita. Kita tak akan pernah tahu apa sesungguhnya terjadi
begitu pula media.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar