Jumat, 04 September 2020

Ketika Media Menjadi Hakim

Ketika Media Menjadi Hakim[1][2]

Edi Santoso

(Hal-41) Dengan jangkauannya, media massa punya kuasa. Di era informasi, arah opini hamper sepenuhnya ditentukan oleh media. Tidak berlebihan jika media dianggap sebagai pihak yang mendefinisikan dunia hari ini (defining agency). Bahkan media sejak abad ke-18 sering disebut sebagai pilar keempat (fourth estate), yakni lembaga yang mempunyai kekuatan besar dalam masyarakat. Merah Hijaunya dunia sangat ditentukan oleh media.



Tapi nampaknya adigium Lord Acton bahwa ‘kekuasaan cenderung korup’ (power tend to corrupt) berlaku bagi siapapun, termasuk media massa. Kekuasaan media, harus kita akui, memang berjasa dalam mewujudkan demokratisasi, terutama karena perannya sebagai alat control sosial karena perannya sebagai alat control sosial. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa tak sedikit praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh media terjadi. Salah satu catatan hitam itu adalah penghakiman oleh media (trial by the press).

Penghakiman itu terjadi dalam berbagai kasus hokum. Ketika hakim belum memutus sebuah perkara, media sudah mengetuk palunya. Ketika seseorang masih berstatus tersangka, media sudah mencitrakannya sebagai terdakwa atau terpidana. Kita bisa bayangkan betapa banyak orang yang namanya keburu hancur bahkan sebelum dia terbukti bersalah. Jika yang bersangkutan ternyata tak terbukti bersalah, sungguh layak media merasa berdosa.

Sayangnya memang, tak semua media  menghormati prosedur hokum yang semestinya. Tahapan tersangka, terdakwa, dan terpidana dalam proses hukum seringkali terkacaukan oleh semangat sensasional media. Begitu seseorang ditetapkan menjadi tersangka, melalui pemberitaan sensasional, yang bersangkutan seolah telah sunguh-sungguh bersalah. Ini diperparah oleh kecenderungan media saat ini yang lebih banyak  mengangkat fakta-fakta psikologis, yakni fakta yang berasal dari pendapat orang. Jadilah jurnalisme menjadi praktik mengumpulkan perkataan orang. Tulisan berita didominasi oleh istilah ‘konon katanya’.

Dari mana datangnya jebakan penghakiman oleh media? Pertama, penyakit sensasionalisme akut. Sensasionalisme seringkali (Hal-41) dikaitkan dentan praktik ‘yellow journalism’ yang menandai pemberitaan bombastis demi menaikkan oplah. Dan adagium ‘bad news is good news’ pun menemukan pembenarannya. Begitu juga ada kasus-kasus besar yang melibatkan seseorang, apalagi yang bersangkutan masuk dalam kategori tokoh public, media selalu bersemangat untuk meng-cover habis. Semakin banyak masalah, semakin laku media.

Sayangnya, sensasionalisme seringkali menumpulkan daya objektif media. Yang dipentingkan kemudian adalah dampak heboh bagi khalayak. Soal benar atau tidak faktanya, itu dipikir belakangan. Kalaupun salah dan ada yang protes, toh media bisa meralatnya. Nyaris tidak ada kepekaan bagaimana orang yang harus hancur namanya, diikuti rusaknya karir bahkan keluarganya, gara-gara pemberitaan yang hanya mementingkan sensasi.

Kedua, kepentingan ekstramedia. Media sulit menjadi independen, terutama di era industri. Mekanisme bisnis, melalui berbagai cara, telah banyak menundukkan media untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik. Kitapun tidak heran jika kemudian pemberitaan bisa dikendalikan sedemikian rupa untuk membangun citra tertentu. Dan jika kemudian media melakukan ‘penghakiman’ maka ini bagian dari sebuah ‘proyek’ tertentu.

Ini semua, tentu saja, bukan untuk membela mereka yang sedang berperkara. Ini sekedar mengingatkan kembali, betapa di luar sisi konstruktif media yang harus selalu kita apresiasi, ada kemungkinan malpraktik pemberitaan yang harus kita waspadai. Media tak akan pernah bisa, dan memang tak boleh, menjadi hakim. Keputusan hakim selalu tegas dan jelas; benar atau salah. Hakim harus membuat kepastian hokum, sementara media tak akan pernah bisa member kepastian. Media hanya memberitakan, bukan memvonis.

Demi kredibilitas, media harus berhati-hati memberikan penilaian, apalagi membuat  keputusan. Berapa banyak korban ‘trial by press’ yang sulit menemukan kembali nama baikknya. Pemberian hak jawab atau klarifikasi tak serta merta menyelesaikan masalah, apalagi jika dilakukan dengan tidak tulus, misalnya sekedar memuat protes pada halaman surat pembaca. Kita harus selalu ingat prinsip irreversible dalam komunikasi, bahwa apa yang sudah kita ucapkan atau tuliskan sejatinyatak bisa ditarik kembali. Permintaan maaf tidak akan pernah mengobati luka.

Sebagai pembaca, kita juga harus cerdas menimbang berita. Kepercayaan pada media jangan sampai membunuh akal sehat, apalagi hati nurani kita. Kita tak akan pernah tahu apa sesungguhnya terjadi begitu pula media.



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar