Edi Santoso
(Hal-46) Bahasa sangat menentukan hidup kita. Apalagi jika kita sepakat
dengan tesis Benyamin Whorf bahwa bahasa dengan galur-galur ungkapan (grooves of expression), menentukan
kondisi manusia, sehingga ia melihat dunia dengan cara-cara tertentu, dan
dengan demikian mengarahkan pikiran dan tindakannya. Jadi, bahasa adalah
pemandu realitas.
Whorf memberikan contoh orang Eskimo yang
memiliki banyak ungkapan tentang salju, misalnya istilah untuk salju yang baru
turun dari langit, salju yang sudh mengeras, atau salju yang sudah meleleh.
Sementara orang pada umumnya menamai itu
semua cukup dengan salju (satu nama). Bahasa Indonesiapun mengenal istilah
‘gabah’, ‘beras’ dan ‘nasi’, sementara bahasa inggris hanya punya istilah ‘rice’
untuk menunjuk istilah yang sama. Ini menunjukkan perhatian khusus orang
Indonesia pada makanan pokoknya.
George Lakoff mengatakan, sadar atau tidak,
metafora ternyata mengarahkan hidup kita sehari-hari. Metafora adalah praktik
kebahasaan kita, yakni penggunaan istilah-istilah di luar makna literal. Misalnya,
kita punya ungkapan ‘waktu terus berjalan’. Waktu dianalogikan makhluk hidup
yang bisa berjalan. Sementara orang Amerika punya ungkapan serupa ‘time is running’ sama-sama
menganalogikan waktu, tetapi kita menggunakan kata kerja ‘berjalan’, sedangkan
orang Barat memakai istilah ‘running’ (berlari).
Sama-sama menganalogikan waktu, tetapi kita menggunakan kata kerja ‘berjalan’,
sedangkan orang Barat memakai istilah ‘running’ (berlari).
Perbedaan istilah itu yang bisa jadi membuat
kita berbeda dalam memaknai waktu. Mereka berpacu dengan waktu yang sangat
cepat berlalu, sementara kita lebih santai, karena waktu hanya ‘berjalan’. Kita
pun punya ungkapan Jawa ‘alon-alon asal
klakon’ (pelan-pelan saja, yang penting kesampaian).
Ketika kita mengadopsi istilah, perilaku pun
mengikuti. Istilah ‘fast food’ misalnya tiba-tiba popular di negeri ini.
Metafora makanan sebagai organisme yang dinamis. Cara pandang kita pada makanan
pun berubah, karena memasukkan aspek kecepatan sebagai variable penting dalam
bisnis makanan. Orang tak lagi bicara soal ‘gizi’ sebuah istilah popular
beberapa tahun (Hal-42)
silam, tapi soal kecepatan dan kepraktisan. Maka menjamurlah bisnis
makanan cepat saji di negeri ini.
Metafora adalah sistem secara konseptual yang
mengarahkan hidup kita. Maka, berhati-hatilah dalam menggunakannya. Istilah
cinta yang dulu identik dengan kesetiaan, pengorbanan, keluhuran, atau
keabadian. Seperti ungkapan Buya Hamka,”Cinta adalah perasaan yang mesti ada
pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitik embun yang turun dari langit,
bersih dan suci.” Ada juga ungkapan,”Kejarlah cinta sejatimu.” Metafora ini
menggambarkan cinta sebagai objek istimewa yang berada nun jauh di sana,
sehingga untuk mendapatkannya perlu perjuangan. Bandingkan dengan ungkapan
‘cinta satu malam.’ Kesucian cinta direduksi sedemikian rupa, sehingga nafsu
dan cinta sulit dicari batasnya.
Batas dunia manusia adalah bahasa mereka,
kata Filsuf Witgenstein. Ini tidak semata berarti pentingnya penguasaan
berbagai bahasa dunia, tetapi juga pemahaman berbagai istilah atau metafora
bahasa apapun yang kita pakai. Karena, bahasa menautkan istilah-istilah
simbolik dengan referen. Semakin kaya
istilah-istilah kita, maka akan semakin banyak referen yang kita pahami. Jika referen
adalah potret dunia ini, maka dengan semakin piawai kita berbahasa, maka
akan semakin banyak yang bisa kita lihat dari dunia ini. Kita pun menjadi
mengerti kenapa ada nasihat,”Ajarkan anak-anakmu dengan satra, agar halus akal
budi mereka.” Sastra kaya dengan metafora. Tak semata rangkaian kata-katanya
yang indah didengar, tapi ungkapan-ungkapan dalam sastra juga biasanya penuh
makna. Kita mungkin ingat dengan ungkapan penyair besar Muhammad Iqbal
berikut,”Hidup seperti juga puisi dan
lukisan, seluruhnya adalah ekspresi.” Menganalogikan hidup kita dengan
puisi dan lukisan akan membawa kita pada bayangan keindahan. Tapi itu tidak
serta merta, karena sebagai sebuah ‘ekspresi’ pada akhirnya bergantung pada
kita semua yang menjalaninya. Ungakapan ini singkat, tapi sungguh merupakan
metafora tentang hidup yang tak saja indah, tapi juga dalam maknanya.
Bahasa selalu dinamis, karena makna terus
berkembang. Simbol kebahasaan tak habis-habis dieksplorasi, begitu pula referen-nya. Karena bahasa akan
mengarahkan kita, maka menjadi tantangan kita bersama, bagaimana menggunakan
bahasa untuk hidup yang lebih bermakna. Tak saja melalui counter istilah, misalnya ‘slow food’ sebagai antithesis ‘fast food’, tapi kita juga bisa
menciptakan atau terus memperbaharui ungkapan-ungkapan yang ada.
Bahasa akan mendefinisikan hidup kita.
Bahasa, bahkan menunjukkan kemampuan dan kekuasaan kita, seperti dikatakan
Foucoult,”Siapa yang mampu memberi nama, dia yang menguasai.” Banyak orang
hebat karena dia tahu lebih dulu dibanding kita. Dia tahu lebih dulu, karena
penguasaan bahasanya lebih baik dari kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar