Jumat, 04 September 2020

Kekuatan Bahasa

Kekuatan Bahasa[1] [2]

Edi Santoso

(Hal-46) Bahasa sangat menentukan hidup kita. Apalagi jika kita sepakat dengan tesis Benyamin Whorf bahwa bahasa dengan galur-galur ungkapan (grooves of expression), menentukan kondisi manusia, sehingga ia melihat dunia dengan cara-cara tertentu, dan dengan demikian mengarahkan pikiran dan tindakannya. Jadi, bahasa adalah pemandu realitas.

 


Whorf memberikan contoh orang Eskimo yang memiliki banyak ungkapan tentang salju, misalnya istilah untuk salju yang baru turun dari langit, salju yang sudh mengeras, atau salju yang sudah meleleh. Sementara orang pada umumnya  menamai itu semua cukup dengan salju (satu nama). Bahasa Indonesiapun mengenal istilah ‘gabah’, ‘beras’ dan ‘nasi’, sementara bahasa inggris hanya punya istilah ‘rice’ untuk menunjuk istilah yang sama. Ini menunjukkan perhatian khusus orang Indonesia pada makanan pokoknya.

 

George Lakoff mengatakan, sadar atau tidak, metafora ternyata mengarahkan hidup kita sehari-hari. Metafora adalah praktik kebahasaan kita, yakni penggunaan istilah-istilah di luar makna literal. Misalnya, kita punya ungkapan ‘waktu terus berjalan’. Waktu dianalogikan makhluk hidup yang bisa berjalan. Sementara orang Amerika punya ungkapan serupa ‘time is running’ sama-sama menganalogikan waktu, tetapi kita menggunakan kata kerja ‘berjalan’, sedangkan orang Barat memakai istilah ‘running’ (berlari). Sama-sama menganalogikan waktu, tetapi kita menggunakan kata kerja ‘berjalan’, sedangkan orang Barat memakai istilah ‘running’ (berlari).

Perbedaan istilah itu yang bisa jadi membuat kita berbeda dalam memaknai waktu. Mereka berpacu dengan waktu yang sangat cepat berlalu, sementara kita lebih santai, karena waktu hanya ‘berjalan’. Kita pun punya ungkapan Jawa ‘alon-alon asal klakon’ (pelan-pelan saja, yang penting kesampaian).

Ketika kita mengadopsi istilah, perilaku pun mengikuti. Istilah ‘fast food’ misalnya tiba-tiba popular di negeri ini. Metafora makanan sebagai organisme yang dinamis. Cara pandang kita pada makanan pun berubah, karena memasukkan aspek kecepatan sebagai variable penting dalam bisnis makanan. Orang tak lagi bicara soal ‘gizi’ sebuah istilah popular beberapa tahun (Hal-42) silam, tapi soal kecepatan dan kepraktisan. Maka menjamurlah bisnis makanan cepat saji di negeri ini.

Metafora adalah sistem secara konseptual yang mengarahkan hidup kita. Maka, berhati-hatilah dalam menggunakannya. Istilah cinta yang dulu identik dengan kesetiaan, pengorbanan, keluhuran, atau keabadian. Seperti ungkapan Buya Hamka,”Cinta adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitik embun yang turun dari langit, bersih dan suci.” Ada juga ungkapan,”Kejarlah cinta sejatimu.” Metafora ini menggambarkan cinta sebagai objek istimewa yang berada nun jauh di sana, sehingga untuk mendapatkannya perlu perjuangan. Bandingkan dengan ungkapan ‘cinta satu malam.’ Kesucian cinta direduksi sedemikian rupa, sehingga nafsu dan cinta sulit dicari batasnya.

Batas dunia manusia adalah bahasa mereka, kata Filsuf Witgenstein. Ini tidak semata berarti pentingnya penguasaan berbagai bahasa dunia, tetapi juga pemahaman berbagai istilah atau metafora bahasa apapun yang kita pakai. Karena, bahasa menautkan istilah-istilah simbolik dengan referen. Semakin kaya istilah-istilah kita, maka akan semakin banyak referen yang kita pahami. Jika referen adalah potret dunia ini, maka dengan semakin piawai kita berbahasa, maka akan semakin banyak yang bisa kita lihat dari dunia ini. Kita pun menjadi mengerti kenapa ada nasihat,”Ajarkan anak-anakmu dengan satra, agar halus akal budi mereka.” Sastra kaya dengan metafora. Tak semata rangkaian kata-katanya yang indah didengar, tapi ungkapan-ungkapan dalam sastra juga biasanya penuh makna. Kita mungkin ingat dengan ungkapan penyair besar Muhammad Iqbal berikut,”Hidup seperti juga puisi dan lukisan, seluruhnya adalah ekspresi.” Menganalogikan hidup kita dengan puisi dan lukisan akan membawa kita pada bayangan keindahan. Tapi itu tidak serta merta, karena sebagai sebuah ‘ekspresi’ pada akhirnya bergantung pada kita semua yang menjalaninya. Ungakapan ini singkat, tapi sungguh merupakan metafora tentang hidup yang tak saja indah, tapi juga dalam maknanya.

Bahasa selalu dinamis, karena makna terus berkembang. Simbol kebahasaan tak habis-habis dieksplorasi, begitu pula referen-nya. Karena bahasa akan mengarahkan kita, maka menjadi tantangan kita bersama, bagaimana menggunakan bahasa untuk hidup yang lebih bermakna. Tak saja melalui counter  istilah, misalnya ‘slow food’ sebagai antithesis ‘fast food’, tapi kita juga bisa menciptakan atau terus memperbaharui ungkapan-ungkapan yang ada.

Bahasa akan mendefinisikan hidup kita. Bahasa, bahkan menunjukkan kemampuan dan kekuasaan kita, seperti dikatakan Foucoult,”Siapa yang mampu memberi nama, dia yang menguasai.” Banyak orang hebat karena dia tahu lebih dulu dibanding kita. Dia tahu lebih dulu, karena penguasaan bahasanya lebih baik dari kita.

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 270 Th.13, Rabi’ul Tsani 1433 H, 8 Maret 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar