Selasa, 21 Januari 2025

Penggodok Batu


Penggodok Batu 

Oleh KH. Rahmat Abdullah

Penggodok Batu
Penggodok Batu 


(Hal18) Sampai hari ini saya belum dengar ada yang menyalahkan sang ibu yang menggodok batu, agar anak-anaknya tertidur lantaran tak ada lagi bahan makanan yang dapat dimasaknya. Mungkin sejarah akan sangat kecewa bila Khalifah II Umar bin Khatthab ra tidak segera datang dan serta merta pergi ke gudang logistik negara, lalu bergegas memanggul sendiri tepung yang akan mengubah batu menjadi roti.

Hari ini sejarah melihat banyak ibu merebus apa saja termasuk kucing (ke-bablasan), agar anak-anaknya tidak tidur, alias mati kelaparan. Sementara ada banyak orang yang terus menerus menjanjikan batu (dan terigu), namun tak pernah membuktikannya, padahal secara pribadi mereka lebih kaya dari Umar.

Sebagian pembaca mungkin terperanjat dan segera menyergah: "Nah, betul kan, agama itu candu untuk rakyat?" Tunggu dulu, tuan. Agama bukan candu rakyat. Tuan boleh katakan: "Agama itu batu dan terigu buat rakyat".

Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat

Di banyak tempat rakyat melempar batu karena tak dapatkan terigu. Di Palestina rakyat melempar batu ke arah Zionis yang kepala serta hati mereka terbuat dari batu. Hati serdadunya boleh jadi terigu yang meleleh melihat prajurit kecil yang tak kunjung selesai melempar batu. Para politisi dan rabinya berhati batu, bahkan lebih keras daripada batu, karena batu- pun masih "....dapat menge-luarkan air" (QS 2:74)

Palestina tidak punya senjata lain kecuali batu. Itulah "agama" yang paling primitif, agama batu, yang sangat ditakuti Yahudi dan sangat efektif di zaman ultra modern ini, minimal untuk sekadar mengingatkan bahwa Palestina ada dan tetap siap berlaga.

Pada saat batu-batu beterbangan dari arah demonstran ke aparat ke-amanan, mereka menjadi "sabda kebenaran" yang tak dapat diganggu gugat. Jangan tanya manusiawi atau tidak. "Hari ini makan rezeki batu," kata serdadu yang kelelahan menahan hujan batu dan tak boleh membalas "Buat kridebiltas kita, ini batu sandungan," kata para pengambil keputusan, seraya berfikir bagaimana menyusun press release. 

Dengan tujuan yang sangat berbeda, para Bonek meng- gunakan batu untuk menghancurkan genteng dan kaca rumah penduduk serta kereta api. "Jununul kuroh" (gila bola) telah ikut meman- faatkan senjata intifadah untuk menggugat entah siapa.

Dari apa terbuat hati para provokator peru-suhan Ambon, teror Banyu-wangi, teror Dili, Larantuka,Abepura, Poso, Kupang,Sambas, bahkan 14 Mei 1998? Juga hati petawur antarsekolah dan antargang? Semoga tak ada yang men-jawab: "Dari batu, atau tak terbuat dari apa-apa alias tak punya hati."

Di banyak kawasan, rak-yat yang punya semangat kerja sepakat membangun, entah masjid atau madrasah. Kelak, dari kasus-kasus pembangunan yang tak selesai muncul pemeo "pakar batu pertama", karena tak pernah (Hal-19) selesai dengan batu terakhir.

Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Dalam jajaran para Rasul, muhammad Saw yang datang paling akhir menjad penutup dan penyempurna ini jelas wujud dan karakteristiknya.

”Perumpamaan aku dan para nabi sebelum ku, seperti seseorang yang membangun rumah. Setiap Nabi telah meletakkan batu bata pada tempatnya. Tinggallah satu batu bata penjuru yang belum. Akulah yang menggenapinya.”

(HSR Bukhari dan Muslim)

Kursi dan Batu

Berbahagialah mereka yang tidak tahu politik. Berbahagialah mereka yang tak tahu arti kebahagiaan. Lebih berbahagia lagi mereka yang tahu politik dan mau berpolitik untuk menjinakkan politik. Karirnya sebagai penjinak politik.

Mengapa orang begituu sinis dengan politik? Barangkali karena kecewa dengan ulah para politisi.

Mereka kumpulkan batu-batu untuk menyusun tangga yang akan menyampaikan mereka ke puncak kekuasaan dan memborong seribu kursi perwakilan. Mereka boleh bersiap jika rakyat yang mereka wakili marah dan mulai melempar batu. Siapa peduli penyelesaian masalah demi masalah yang diwariskan generasi lampau.

 Rakyat memang hanya punya satu senjata; protes dan satu kesempatan; sekarang! Selebihnya urusan para pengambil keputusan. Si licik tinggal impor terigu dengan jaminan harga diri dan kehormatan bangsa. Yang lebih berbahaya bila kursi yang diperebutkan dengan kelelahan mendaki tangga-tangga batu telah merobah hati manusianya menjadi batu.

Baca Juga:  KarenaSyaitan itu Musuh …

 Bahkan ada kader partai yang sebelum mendapat kursi hatinya telah tertukar batu. Dusta, nifaq, intrik, khianat dan ego-isme adalah lelehan najis yang keluar dari hati yang batu. Ditingkah cairan yang suka menjilat dan rekayasa ayat, lengkap sudah pentas perpolitikan dipenuhi biang laknat.

Batu Ujian

Partai anda partai orang-orang bersih? Tidak ada jaminan pribadi otomatis baik. Klaim dan imitasi adalah sikap khas ahli kitab sepanjang masa yang otaknya hanya berpola satu pemikiran:

”Takkan masuk surga kecuali Yahudi atau Nasrani”

(QS 2:111)

Silahkan masuk lewat pintu Yahudi atau Nasrani. Pintu Islam hana terbuka bagi mereka yang:

”.... Menyerahkan dirinya kepada Allah secara Ihsan, maka ia berhak mendapatkan ganjaran di sisi Rabbnya, tiada mereka rasakan ketakuatan dan tiada mereka dapatkan kesedihan.”

(QS: 2: 112)

Kalau ada kangker yang menggerogoti agama-agama, maka diantaranya bisa berbentuk umat yang hanya berbangga dengan satu, tak peduli dengan nilai dan kualitas, lalu menjadikan simbol status itu sebagai gincu atau alat justifikasi kezaliman.

Dalam pesan untuk bangsa-bangsa Timur Iqbal menyindir:

Cuma gereja, kuil, masjid dan rumah berhala

Kau bangun lambang-lambang penghambaanmu

Tak pernah dalam hati kau bangun dirimu

Hingga kau tak bisa jadi utusan merdeka

Era da’wah kelembagaan yang mengambil bentuk parpol adalah era setiap orang berpacu dan bergiat dalam kendaraan kolektifnya, dengan segala kreasi besar yang ditumbuhkan oleh niat dan cita-cita besar, walau sekecil apapun langkah yang bisa diayunkannya dan huruf-huruf sejarah yang bisa dipahatkannya.

Baca Juga: Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?

(Hal-20) Bila popularitas yang dipanen hari ini dianggap sebagai buah dari benih yang ditanam hari ini juga, maka genap sudah kedunguan Yahudi dalam diri sang aktivis, tepatnya sang parasit.

Yang malas kembali ke surau-surau dan gubug-gubug untuk mengeja kata demi kata pesan suci yang telah membesarkan komunitas ini. Yang lebih bernafsu mendeklamasikan do’a dengan suara menggeram, memaksa orang menangis di siang terang, lalu ia sendiri tertidur mendengkur sampai sampai pagi melewati malam-malam, tanpa sujud, tanpa do’a, tanpa rintihan. 

Perutnya terlalu kenyang dengan jamuan pertemuan, sementara gelap malam telah melindunginya dari intaian penilai dungu yang mengira betapa panjang tahajjudnya, betapa lirih do’anya, betapa beningnya hatinya!

Ia yang resah mempertahankan identitas dakwahnya, gelisah dan ingin cepat-cepat kembali gita cinta zaman SMA, lalu menginginkan rapat-rapatnya benar-benar rapat laki-laki dan perempuan, bergurau bebas, berbaur lepas. Lepas dari norma-norma santrinya.

Yang meluncur dengan janji-janji politik yang tidak bisa dipenuhinya, si pandir yang menggunakan forum walimah dan bakti sosial untuk mendikte orang lain menerima partainya yang ”paling hebat.” tanpa melihat bibir mereka yang mencibir mengejek jamaahnya.

Yang mulai grogi seraya mencari celah berlari ketika satu bunga Al Qur’an gugur sebagai syahid da’wah, ingatlah; Musa pun pernah ngeri melihat tantangan besar di hadapannya, namun ia tak larut dalam perasaan takut  yang manusiawi namun tidak imani itu.

Baca Juga: Hanya Karena Kehendak Allah ....

Batu Sendi

Kader, sesungguhnya nama harum harimu dibangun di atas fakta-fakta yang berakar dalam ke masa lalu, ketika dakwah ini bermula. Di gubug-gubug gang sempit lahirnya. Berpeluh di kendaraan umum dalam rute-rute panjang aktifisnya. Menapak jalan-jalan desa dan kota, nyaris tanpa sepatu kadernya. 

Mengorbankan niat tidur dengan pulang larut pagi. Jauh dari hingar-bingar massa yang menyambut dengan gegap gempita. Lapar dan haus jadi kata yang asing untuk dieja pada entri kamusnya, karena telah berganti dengan kesenangan menghirup sepuas hati telaga Al- Qur’an. 

Ada Sa’ad dan Mush’abnya, telah meninggalkan gedung bapaknya yang megah, tanpa suara duduk bersimpuh di rumah-rumah Arqam bin Abi Arqam yang tanpa papan nama, tanpa grup musik, mitos atau tanpa tokoh kharismatik. 

Yatimlah anak-anaknya, karena tak satu  bapak yang mengakuinya, adapun Khadijah, Fatimah dan Sumayyahnya terusir dari kelas-kelas sekolah yang dibangun dengan pajak ummatnya karena tidak mau melepas pakaian taqwa penutup aurat mereka. 

Tanpa pemasaran lewat catwalk rumah-rumah butik yang hari ini menjamur, tanpa bayar royalti kepada korban yang diusir dari sekolah mereka. Mendunia kebangsaannya tanpa kehilangan kecintaan yang tulus kepada puak sendiri. Bila ada yang berbangga dengan kelompok, suku atau bangsa, secara rajaz melantun dari mulut Salmannya:

”Ayahku Islam dan tak ada lagi bapak selainnya bila mereka berbangga dengan Qais atau Tamim.”

Dan dalam kerja, semboyan ini meningkat gelora jiwanya menepiskan semua pengandalan status dan nama besar:

Baca Juga: SepertiBurung yang Serius Menjalani Hidup

”Siapa yang lamban amalnya, tidak dapat dipercepat oleh nasabnya.”  


Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar