Selasa, 21 Januari 2025

Tujuh Hari di Gunung Kidul

 

Tujuh Hari di Gunung Kidul

Tujuh Hari di Gunung Kidul
Tujuh Hari di Gunung Kidul

(Hal-34) Gunung kidul. Tempat itu, kerap dikaitkan dengan berbagai kegiatan klenik. Konon di sana, ada sejumlah tempat kramat yang sering dikunjungi orang untuk memperoleh wangsit. 

Tapi, berbeda dengan orang-orang yang biasa ke sana, tujuh mahasiswa dari Forum Aktivitas Mahasiswa LIPIA (FAMILI) Jakarta, mencoba mengamalkan ilmu yang mereka proleh, belajar membina masyarakat secara langsung.

Berikut kenangan mereka selama tujuh hari, di bulan Ramadhan, tahun lalu, berinteraksi dengan masyarakat Gunung Kidul. 

Meski singkat, tapi inilah hari-hari yang sangat mengesankan. Pengalaman berharga ini, merupakan karunia yang amat mahal, terjun ke medan dakwah yang tidak setiap orang yang bisa melakukannya:

“awalnya terbayang sejuta risiko. Tapi, Alhamdulillah, bayangan itu pudar dan berubah kegembiraan, setelah kami menikmati tugas-tugas dakwah,” tutur salah seorang dari mereka.

Baca Juga:   Saling Mengingatkan tentang Niat

Secara geografis, lokasi dakwah yang kami datangi terletak di sebelah tenggara kota Wonosari, Ibukota kabupaten Gunung Kidul, sekitar 33 km dari kota Wonosari, Jogjakarta. 

Sesuai namanya, wilayah Gunung Kidul memang terletak di dataran tinggi dan dipenuhi perbukitan kecil. Hampir setiap perbatasan antara satu desa dengan desa lainnya dipisahkan satu atau dua bukit kecil.

Melalui musyawarah kami sepakat untuk berbagi tugas ke beberapa Masjid. Dengan penyebaran tugas seperti ini, kami memperoleh pengalaman yang berbeda-beda.

Isnaini misalnya, mahasiswa Fakultas Syari’ah tingkat IV, yang ditugaskan di desa Wonotoro, Pucung ini, berhasil menjalin hubungan cukup akrab dengan masyarakat desa. Selain menyelenggarakan beberapa pengajian maupun ceramah, banyak penduduk yang berkonsultasi sampai larut malam. 

Mereka tidak hanya bertanya masalah agama, tapi juga menyangkut kehidupan sehari-hari. “Waktu ngobrol itu sangat lama, sampai saya merasa ngantuk sekali,” jelas Isnaini.

M.Hafidh Nasta’in, mahasiswa persiapan bahasa tingkat III, yang ditugaskan di Masjid Baitul Hakim, Sumur Ngidul, menghadapi kondisi berbeda. Hafid menjelaskan, penduduk yang berada di tengah hutan pada siang hari, umumnya menunda atau menumpuk shalat dzhuhur dan ashar hingga menjelang malam. 

Baca Juga:  Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Hal seperti itu, sudah biasa mereka lakukan. Alasannya, sulit mencari air wudhu dan tempat shalat. Karena kesibukan di siang hari, tidak jarang diantara mereka, yang meninggalkan shalat.

“Saya mencoba memberi pengertian kepada mereka bahwa bagaimanapun sibuknya seseorang tidak boleh meninggalkan shalatnya,” kata Hafidh. Setelah itu, ia menjelaskan cara bertayammum, dan penggunaan klaras, semacam daun pisang kering, untu dijadikan saja- (Hal-35) dah. “Mereka pun mengangguk, tanda mengerti,” jelas Hafidh.

Ia melanjutkan,”Ketika datang di desa Sumur Nglindur, Kec. Rongkop, saya merasa aneh. Pertama, yang berjama’ah hanya sepuluh orang. Hari berikutnya membuat saya semakin heran. 

Ternyata sebagian penduduk di situ menjadikan Islam sebatas kegiatan malam. Artinya mereka ikut dengan kami di Masjid pada malam hari, bahkan berkenan mengikuti kegiatan kami hingga larut malam. 

Namun, pada siang harinya mereka sama sekali tidak menjalankan kewajiban mereka, seperti shalat subuh, dhuhur, ashar dan shaum Ramadhan. “Ketika saya temui sekalipun, mereka asik merokok di siang hari Ramadhan.”

Kondisi masyarakat yang minus pengetahuan dan kesadaran beragama, memang dirasakan seluruh tim. Selain, lokasi yang terpencil dan tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah, turut mewarnai sikap mereka. Umumnya, anak-anak dan pemuda hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Akibatnya, mereka hanya menjalankan ibadah ala kadarnya.

Baca Juga: Profesional

Di desa Kendal, Kelurahan Melikan, Kec. Rongkop, tempat tugas Haris Salamah, jumlah penduduknya hanya sekitar 750 jiwa, tersebar dalam 200 KK. Pendidikan formal di desa itu hanya SD, itu pun satu saja. 

Menurut Haris, Mahasiswa Fakultas Syari’ah tingkat IV, Cuma sekitar 10-an anak yang melanjutkan ke tingkat SLTP. Mereka harus menempuh jarak 6 Km keluar desa dengan berjalan kaki. Tidak ada yang sekolah SMU, apalagi perguruan tinggi.

Faktor ketertinggalan pendidikan, menjadi hambatan paling mendasar bagi tingkat kemajuan masyarakat desa Kendal. Agama masyarakat di desa ini terbagi tiga. Islam, Kristen dan agama strep (Gerinda) atau aliran kepercayaan. “Orang-orang aliran Gerinda kebanyakan di RW 01. 

Jumlahnya sekitar 80 KK. Yang kristen hanya beberapa orang saja. Sedangkan yang Islam terbagi dua, ada yang masih asli tradisional, dan yang telah “dibina” oleh LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), atau aliran Islam Jama’ah,” Urai Haris.

Kondisi ini masih ditambah dengan kurangnya tenaga penyuluh agama Islam, menyebarnya paham kejawen yang dianut oleh orang strep, dan jamaah LDII (Islam Jama’ah) yang ajarannya banyak menyimpang dari aqidah salaf. Semua semakin mengaburkan pemahaman Islam mereka.

Di desa itu hanya ada satu Masjid, Masjid Baitul Aziz. Sebenarnya Suparman yang menjadi takmir di masjid itu punya ikatan dengan takmir-takmir lain di seluruh kecamatan Rongkop. Namun, sejak orang-orang LDII mendirikan musholla jamaah masjid itu menjadi terpecah. Apalagi setelah amir dari LDII itu merekrut Jamaah masjid sekitar 20 KK.

Baca Juga:  KarenaSyaitan itu Musuh …

Kondisi desa Kendal, berbeda dengan Ngringin, Tileng, tempat tugas Sudarno, yang masih satu angkatan dengan Harits Salama. Pembangunan lebih maju, jalan-jalan banyak yang sudah diaspal. 

Secara ekonomi pun masyarakatnya cukup mapan. Umumnya mereka punya tanah dan perkebunan lumayan luas. Sayangnya, kondisi itu tidak mempengaruhi pemahaman dan kesadaran mereka tentang Islam. “Semua bisa dikatakan masih nol dalam masalah agama,” kata Sudarmo. Dasarnya, tak satu pun wanita yang memakai jilbab.

Sementara di desa Gangsalan, Nglindur, Ruba’i yang duduk di tingkat III persiapan bahasa, menghadapi masalah lain lagi. Rata-rata pemuda desa lulusan SMU. Tapi, mereka tidak melanjutkan sekolah karena harus membantu orang tua bekerja. Para pemudi, biasanya segera berkeluarga setelah lulus SLTP. 

Di kalangan orang tua, tidak sedikit yang masih buta huruf latin maupun Arab. “Sejak kedatangan kami di lokasi, penduduk setempat sangat antusias menerima kami. Mereka dengan senang hati mengikuti seluruh kegiatan yang kita rencanakan,” kenang Ruba’i.

Gunung Kidul hanya seiris lahan dakwah, di tengah lautan tugas membangun ummat yang tak akan pernah usai. Tak ada kisah yang lebih bahagia, dari kerinduan kami, untuk bisa mengulang kembali kenangan indah di Gunung Kidul. Meski, kami yakin, masih banyak Gunung Kidul-Gunung Kidul lainnya.

Baca Juga: Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?

Wallahu a’lam bishawab.


 Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar