Selasa, 14 Januari 2025

Pragmatisme, Sisi Tragis Mahasiswa

 

Pragmatisme, Sisi Tragis Mahasiswa

Oleh Haryo Setyoko

Sekjen KAMMI

 

Pragmatisme, Sisi Tragis Mahasiswa
Pragmatisme, Sisi Tragis Mahasiswa

“Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.”

(QS Al-Kahfi:13)


(Hal-24) Sejak 1978, dunia mahasiswa memasuki hari-hari kelabu. Kala itu, Orde Baru, melalui Mendikbud mengeluarkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus). 

Semua itu tidak saja berakibat mandegnya perkembangan kemahasiswaan, namun kehidupan sosial bangsa Indonesia secara umum ikut terseok-seok. Sebab, kebijakan ini telah mendekonstruksi peran politik mahasiswa. Para pemburu ilmu di level perguruan tinggi itu tak lebih dari sekrup-sekrup mesin teknostruktur kapitalis bagi pembangunan bangsa ini.

Dalam keseharian mahasiswa, dampak itu sangat terasa. Adanya ketakutan-ketakutan, kekhawatiran tidak memperoleh pekerjaan, menjadi bahan kajian praktis yang tak habis-habisnya. Orientasi kehidupan sebagian besar mahasiswa terasa samar. Akhirnya konsep mereka tentang hidup tidak jelas, atau bahkan tidak punya konsep sama sekali.

Baca Juga: Sedikit Tidur Itu Lebih Baik

Kejadian ini merupakan fenomena tragis dalam sejarah kehidupan kita. Bagaimana tidak? Para mahasiswa yang mendapat kesempatan mempelajari nilai dan arti kehidupan di universitas, umumnya bukan produk yang bermanfaat secara maksimal bagi manusia yang lain. Tetapi malah menjadi beban bagi kehidupan ini.

Memang, kehidupan menyimpan banyak kemungkinan. Rasional ataupun tak rasional, penuh harapan maupun kekhawatiran. Kemungkinan rasional, seperti sesuatu hal yang kita yakini harus terjadi, setelah perencanaan, usaha dan proyeksi tentang sesuatu itu. Sedangkan hal-hal yang bersifat irrasional, banyak berhubungan dengan sesuatu di luar kesadaran atau perencanaan kita.

Bagi sebagian orang termasuk para mahasiswa kadang-kadang kehidupan merupakan kumpulan problem yang amat menyakitkan dan mengkhawatirkan. Sakit, proses penuaan, krisis ekonomi, ketidakstabilan politik, dan lain sebagainya menjadikan mereka tidak pernah tenang. 

Sebaliknya, bagi sebagian yang lain, hidup ini terasa menyenangkan dan harus dinikmati secara optimal, meski termanifestasi secara sempit dalam pandangan-pandangan materialistik. Semua memang tergantung bagaimana pemaknaan masing-masing orang tentang kehidupan. Dan, dari sanalah muncul istilah pragmatisme, lawan dari idealisme.

Titik tekan pragmatisme salah satunya adalah irrasionalitas pendapat. Karenanya, pragmatisme sangat tergantung pada pertanyaan “Bagaimana?” yang mensyaratkan adanya cara atau tindakan konkret. Dalam tradisi pragmatisme, pendapat bahkan argumen menjadi sesuatu yang dihindari. Sebab, kedua hal itu dapat menghambat dan mereduksi keinginan-keinginan para penganut paham ini.

“Jika saya dan anda berbeda pendapat, maka tak ada gunanya masing-masing mengemukakan alasan, atau meminta penengah yang tak berpihak. Satu-satunya cara  (Hal-25) yang harus dilakukan, bertarung dengan segala kemampuan yang ada, jika memang salah satu harus eksis.”

Begitulah konsepsi pragmatisme mengejawantah.

Baca Juga: Membangunkan Kekuatan Zakat Indonesia 

Dalam pandangan yang lebih individualis, pragmatisme tak beda dengan jalan merealisasikan dan memuaskan keinginan individual tanpa mau dipengaruhi lingkungan dan kehidupan sosial sekitar. No Compromise dan tak “akrab lingkungan.”

Dalam kaca mata Islam, pragmatisme semacam itu amat membahayakan. Sebab, cepat atau lambat, ia akan merusak paradigma mahasiswa tentang kehidupan. Bahkan menghancurkan peradaban mahasiswa, utamanya dimensi moral. Sedikit demi sedikit, satu demi satu, manusia teralieanisasi dalam dunianya sendiri. Orang secara mekanis terjebak dalam ritual materialistik yang gersang.

Lebih tragis lagi, ternyata etika sekuler menjadi pilihan untuk menggali kembali konsep diri mahasiswa. Etika ini menawarkan konsep rasionalitas (Kecerdasan), common sense, dan keberanian moril. Konsep inilah yang kemudian melahirkan mahasiswa-mahasiwa cerdas dan berani, tapi lepas dari perspektif akhlaq.

Akibatnya, konsep ini hanya mampu menyelesaikan sebagian permasalahan yang ada, namun tidak menyentuh akar permasalahannya. Sebab, dalam aplikasi teknis, idealisme yang dibangun diatas etika sekuler hanya mementingkan aspek sarana saja. Mahasiswa dapat bersikap cerdas mengenai sarana-sarana, tetapi tak dapat bersikap bijak dengan tujuan-tujuannya.

Idealisme mahasiswa, sepantasnya di dasarkan kepada iman. Lantas sesudah itu dibangun falsafah dan pandangan hidup utuh dan seimbang, meliputi dimensi transedental (akherat) maupun sosial (duniawi). Secara transedental ia disandarkan kepada Al-Qur’an sebagai manhaj asasi-nya, dan sunnah Rasulullah Saw sebagai manhaj amali-nya. 

Ada pun secara sosial, idealisme dan falsafah itu disandarkan pada kepedulian lingkungan, yang diwujudkan dalam gerakan dakwah dan jihad. Dari sana akan lahir konsep diri yang jelas, yang dibangun  di atas kekuatan agama dan sikap lemah lembut.

Baca Juga: Masihkah Dapat Hidup Nyaman Di Kota Besar ? 

Konsepsi ini akan melindungi diri kita dari terjebak pada ajakan-ajakan sesat, menjaga kita dari perbuatan-perbuatan kontra produktif. Karenanya, paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan mahasiswa muslim untuk membangun dan mengokohkan konsepsi itu. 

Pertama, mahasiswa harus berusaha untuk selalu memiliki kepekaan sosial yang kuat (agent of change). Para mahasiswa harus mampu mengenali problem-problem masyarakat, kemudian merajut ikatan jiwa dan komitmen untuk menyelesaikannya.

Kedua, berusaha untuk sukses dalam studi. Bagaimanapun, tugas politik seorang mahasiswa terkait erat dengan sukses tidaknya mereka dalam belajar. Tak dapat diingkari, mau tidak mau mahasiswa akan memimpin bangsa ini 15 sampai 20 tahun ke depan. 

Ketiga, berdakwah menyebarluaskan fikroh Islam. Bila fikroh Islam tersebar, kebangkitan Islam akan memiliki basis intelektual yang kuat. Selain itu, tentu tidak boleh dilupakan, do’a dan munajat yang kontinyu kepada Allah Yang Maha Kuasa, kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Wallahu a’lam bishawab.


Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar