Pragmatisme, Sisi Tragis Mahasiswa
Oleh Haryo Setyoko
Sekjen KAMMI

Pragmatisme, Sisi Tragis Mahasiswa
“Kami ceritakan kepadamu
(Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang
beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.”
(QS Al-Kahfi:13)
(Hal-24) Sejak 1978, dunia mahasiswa memasuki hari-hari kelabu. Kala itu, Orde Baru, melalui Mendikbud mengeluarkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus).
Semua itu tidak saja berakibat mandegnya perkembangan kemahasiswaan, namun kehidupan sosial bangsa Indonesia secara umum ikut terseok-seok. Sebab, kebijakan ini telah mendekonstruksi peran politik mahasiswa. Para pemburu ilmu di level perguruan tinggi itu tak lebih dari sekrup-sekrup mesin teknostruktur kapitalis bagi pembangunan bangsa ini.
Dalam keseharian
mahasiswa, dampak itu sangat terasa. Adanya ketakutan-ketakutan, kekhawatiran
tidak memperoleh pekerjaan, menjadi bahan kajian praktis yang tak
habis-habisnya. Orientasi kehidupan sebagian besar mahasiswa terasa samar. Akhirnya
konsep mereka tentang hidup tidak jelas, atau bahkan tidak punya konsep sama
sekali.
Baca Juga: Sedikit Tidur Itu Lebih Baik
Kejadian ini merupakan
fenomena tragis dalam sejarah kehidupan kita. Bagaimana tidak? Para mahasiswa
yang mendapat kesempatan mempelajari nilai dan arti kehidupan di universitas,
umumnya bukan produk yang bermanfaat secara maksimal bagi manusia yang lain. Tetapi
malah menjadi beban bagi kehidupan ini.
Memang, kehidupan menyimpan
banyak kemungkinan. Rasional ataupun tak rasional, penuh harapan maupun
kekhawatiran. Kemungkinan rasional, seperti sesuatu hal yang kita yakini harus
terjadi, setelah perencanaan, usaha dan proyeksi tentang sesuatu itu. Sedangkan
hal-hal yang bersifat irrasional, banyak berhubungan dengan sesuatu di
luar kesadaran atau perencanaan kita.
Bagi sebagian orang termasuk para mahasiswa kadang-kadang kehidupan merupakan kumpulan problem yang amat menyakitkan dan mengkhawatirkan. Sakit, proses penuaan, krisis ekonomi, ketidakstabilan politik, dan lain sebagainya menjadikan mereka tidak pernah tenang.
Sebaliknya, bagi sebagian yang lain, hidup ini terasa menyenangkan dan
harus dinikmati secara optimal, meski termanifestasi secara sempit dalam
pandangan-pandangan materialistik. Semua memang tergantung bagaimana pemaknaan
masing-masing orang tentang kehidupan. Dan, dari sanalah muncul istilah
pragmatisme, lawan dari idealisme.
Titik tekan pragmatisme
salah satunya adalah irrasionalitas pendapat. Karenanya, pragmatisme sangat
tergantung pada pertanyaan “Bagaimana?” yang mensyaratkan adanya cara atau tindakan
konkret. Dalam tradisi pragmatisme, pendapat bahkan argumen menjadi sesuatu
yang dihindari. Sebab, kedua hal itu dapat menghambat dan mereduksi
keinginan-keinginan para penganut paham ini.
“Jika
saya dan anda berbeda pendapat, maka tak ada gunanya masing-masing mengemukakan
alasan, atau meminta penengah yang tak berpihak. Satu-satunya cara (Hal-25) yang
harus dilakukan, bertarung dengan segala kemampuan yang ada, jika memang salah
satu harus eksis.”
Begitulah konsepsi pragmatisme
mengejawantah.
Baca Juga: Membangunkan Kekuatan Zakat Indonesia
Dalam pandangan yang lebih
individualis, pragmatisme tak beda dengan jalan merealisasikan dan memuaskan
keinginan individual tanpa mau dipengaruhi lingkungan dan kehidupan sosial
sekitar. No Compromise dan tak “akrab lingkungan.”
Dalam kaca mata Islam,
pragmatisme semacam itu amat membahayakan. Sebab, cepat atau lambat, ia akan
merusak paradigma mahasiswa tentang kehidupan. Bahkan menghancurkan peradaban
mahasiswa, utamanya dimensi moral. Sedikit demi sedikit, satu demi satu,
manusia teralieanisasi dalam dunianya sendiri. Orang secara mekanis terjebak
dalam ritual materialistik yang gersang.
Lebih tragis lagi, ternyata
etika sekuler menjadi pilihan untuk menggali kembali konsep diri mahasiswa. Etika
ini menawarkan konsep rasionalitas (Kecerdasan), common sense, dan
keberanian moril. Konsep inilah yang kemudian melahirkan
mahasiswa-mahasiwa cerdas dan berani, tapi lepas dari perspektif akhlaq.
Akibatnya, konsep ini hanya
mampu menyelesaikan sebagian permasalahan yang ada, namun tidak menyentuh akar
permasalahannya. Sebab, dalam aplikasi teknis, idealisme yang dibangun diatas
etika sekuler hanya mementingkan aspek sarana saja. Mahasiswa dapat bersikap
cerdas mengenai sarana-sarana, tetapi tak dapat bersikap bijak dengan
tujuan-tujuannya.
Idealisme mahasiswa, sepantasnya di dasarkan kepada iman. Lantas sesudah itu dibangun falsafah dan pandangan hidup utuh dan seimbang, meliputi dimensi transedental (akherat) maupun sosial (duniawi). Secara transedental ia disandarkan kepada Al-Qur’an sebagai manhaj asasi-nya, dan sunnah Rasulullah Saw sebagai manhaj amali-nya.
Ada pun secara sosial, idealisme dan falsafah itu disandarkan pada kepedulian
lingkungan, yang diwujudkan dalam gerakan dakwah dan jihad. Dari sana akan
lahir konsep diri yang jelas, yang dibangun di atas kekuatan agama dan sikap lemah lembut.
Baca Juga: Masihkah Dapat Hidup Nyaman Di Kota Besar ?
Konsepsi ini akan melindungi diri kita dari terjebak pada ajakan-ajakan sesat, menjaga kita dari perbuatan-perbuatan kontra produktif. Karenanya, paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan mahasiswa muslim untuk membangun dan mengokohkan konsepsi itu.
Pertama,
mahasiswa harus berusaha untuk selalu memiliki kepekaan sosial yang kuat (agent
of change). Para mahasiswa harus mampu mengenali problem-problem masyarakat,
kemudian merajut ikatan jiwa dan komitmen untuk menyelesaikannya.
Kedua, berusaha untuk sukses dalam studi. Bagaimanapun, tugas politik seorang mahasiswa terkait erat dengan sukses tidaknya mereka dalam belajar. Tak dapat diingkari, mau tidak mau mahasiswa akan memimpin bangsa ini 15 sampai 20 tahun ke depan.
Ketiga, berdakwah menyebarluaskan fikroh Islam. Bila fikroh Islam tersebar, kebangkitan Islam akan memiliki basis intelektual yang kuat. Selain itu, tentu tidak boleh dilupakan, do’a dan munajat yang kontinyu kepada Allah Yang Maha Kuasa, kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Wallahu a’lam bishawab.
Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar