Kiprah Politik Ulama Salaf
Oleh Azam Anzuki
(Hal-21) Kiprah para
salafusshalih dalam memperjuangkan Islam, tak terbatas pada dunia ilmu semata. Banyak
dari mereka yang terlibat dalam aktivitas politik. Formula partisipasi politik
mereka bermacam-macam. Meski, tentu berbeda dengan idiom politik sekarang yang
makin berkembang.
Peran loby adalah salah
satunya. Seperti yang dipraktekkan Raja’ bin Haiwa, seorang ulama besar di masa
Daulah Umawiyah. Dialah yang secara serius berada di balik suksesi dinasti umawi
dari Sulaiman bin Abdul Malik kepada keponakannya, Umar bin Abdul Aziz.
Sulaiman bin Abdul Malik sebenarnya punya putera, Ayyub bin Sulaiman, yang telah dicalonkan menjadi khalifah. Sayang, Ayub meninggal sebelum niat ayahnya kesampaian. Sulaiman tinggal mempunyai satu anak yang masih kecil. Meski begitu, Sulaiman ingin agar puteranya itu kelak dapat menggantikannya. Maka dipanggilnya Umar bin Abdul Aziz dan Raja’.
“Coba
pakaikan pakaian kebesaran kepada anakku.”
Baca Juga: Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang TidakPernah Selesai
Raja’ pun melaksanakan
perintah itu. Sayang, anak itu belum mampu bermain pedang. Melihat anaknya tak
memenuhi harapannya, terlintas dalam pikiran Sulaiman mengangkat saja
kemenakannya, Umar bin Abdul Aziz. Segera Sulaiman meminta pendapat kepada Raja’.
“Orang
yang paling cocok itu memang Umar,”
Begitu Raja’ memberikan pendapat.
Raja’ tidak sampai di situ. Ia terus meyakinkan Sulaiman bahwa Umar bin Abdul
Aziz adalah pilihan yang tepat.
“Agaknya
keputusanku ini tidak disertai bisikan setan,” Ucap Sulaiman
Raja’ adalah penasehat
para khalifah. Tak heran kalau dalam literatur-literatur Islam, ia diberi gelar
Musyirul Khulafa’. Salah seorang sahabatnya berkata,
“Sungguh
aku tak pernah melihat orang yang hidup diantara pembesar-pembesar di lingkungan
kerajaan yang lebih banyak jasa dan pengabbdiannya terhadap Islam dan kaum
Muslimin, kecuali Raja’.”
Lain lagi yang dilakukan
Imam Hasan al Basri. Bisa dibilang aktivitas politiknya adalah melakukan
oposisi terhadap penguasa di masanya. Lahir tahun 21 H, dari orang tua yang
menjadi pelayan para sahabat Agung, menjadikan Hasan al Basri tumbuh dengan
kapasitas yang luar biasa. Ibunya, Khairah, pembantu Ummu Salamah, Istri
Rasulullah. Ayahnya Yassar, pembantu Zaid bin Tsabit. Di lingkungan itulah
Hasan dibesarkan.
Baca Juga: Indonesia Masih Kekurangan Ulama
Peran politik Hasan al
Basri berbentuk oposisi pribadi. Kapasitasnya sebagai pribadi yang tinggi ia
manfaatkan untuk mengontrol (Hal-22) pemerintahan.
Ia sangat konsisten dengan Islam. Tidak gentar menegakkan kebenaran, meski
harus berseberangan dengan pemerintah, apa pun risikonya. Hasan al Basri tak
kan tinggal diam terhadap kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam tubuh
pemerintahan, yang cenderung mengambil kebijakan sewenang-wenang.
Ibnu Khilikkan,
meriwayatkan, suatu hari (tahun 103 H) Amir bin Hubairah Gubernur Iraq di bawah
Yazid bin Abdul Malik mengundang Hasan al Basri, Assya’bi, dan Muhammad bin
Sirin.
“Yazid
itu Khalifatullah yang Allah angkat untuk memimpin hamba-hamba-Nya. Karenanya,
kita harus tunduk dan patuh kepadanya. Dan sesungguhnya Yazid telah mengangkat
aku sebagai gubernur di sini. Baru saja ia berkirim surat kepadaku,
menyampaikan perintah. Aku akan mengikuti saja bila kalianpun demikian. Maka bagaimana
pendapat kalian terhadap perintah itu?”, Ucap Ibnu Hubairah di depan para ulama
itu.
Ibnu
Syirin dan Assya’bi memberikan jawaban yang sama, mereka menyetujui. Tapi Hasan
al Basri Masih diam.
“Bagaimana
pendapatmu Hasan?”, tanya Abu Hubairah.
Setelah
di desak, Hasan al Basri menyahut,”Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kamu kepada
Allah dalam menghadapi Yazid, dan janganlah takut menghadapi Yazid dalam
menghadapi Allah. Allah bisa melindungimu dari yazid. Tapi Yazid tidak bisa
melindungimu dari Allah Swt. Aku khawatir kalau-kalau Allah Swt memberi
jabatan, namun permadani surgamu hilang. Hingga engkau keluar dari istana
hijaumu menuju sempitnya kuburmu. Tak ada yang menyelamatkanmu kecuali amalmu
sendiri.
Baca Juga: PadaDasarnya, Masyarakat Kita Filantropis
Hasan al
Basri diam sejenak. Lantas ia menyinggung fungsi pemerintahan.
“Wahai
Ibnu Hubairah, jika engkau durhaka kepada Allah, maka sesungguhnya Allah
menjadikan kekuasaan ini untuk menolong agama dan hamba-hamba-Nya. Karena itu
janganlah engkau injak-injak agama dan hamba-hamba Allah demi kekuasaan. Ingat,
tak ada kewajiban untuk taat kepada makhluk jika untuk bermaksiat kepada
Khalik. (Thabaqat Ibnu Saad, VII/219)
Peran oposisi juga
dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal. Lahir pada 164 H, Imam Ahmad hidup di bawah
kekuasaan Daulah Abbasiyah. Pada masa Al Makmun, terjadi fitnah Khuluqul Qur’an.
Penguasa memaksakan doktrin bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk kepada
rakyat. Dan, itu artinya Al-Qur’an bisa benar dn mungkin salah. Sepeninggal Al
Makmun, faham ini dilanjutkan penggantinya, Al-Mu’tashim. Siapa pun yang
menolak pemahaman ini disiksa, termasuk Imam Ahmad.
Ia harus keluar masuk
penjara. Algojo-algojo yang bengis saban hari menyiksaknya. Dalam suatu
kesempatan, bahkan ia dihadirkan di hadapan Al-Mu’tashim. Hampir saja pedang
Al-Mu’tashim menebas lehernya. Keteguhan Imam Ahmad tidak saja mampu menjaga
aqidah ummat. Lebih dari itu, Imam yang hapal Al-Qur’an dan satu juta hadits
itu dapat menyelamatkan ummat dari filsafat kacau yang sarat muatan politik
daripada agama.
Sikap Imam Ahmad adalah
tradisi para ulama dan ahli hadits. Seperti Al-Auza’i dan Sufyan Ats-Tsauri di
sisi Khalifah al-Manshur, Shalih bin Abdul Jalil di hadapan al-Mahdi, serta
Ibnu Samak di hadapan Harun ar-Rasyid. Mereka berani me- (Hal-23) nyampaikan kebenaran di hadapan para
penguasa, agar tak seenaknya berlaku zalim dan sewenang-wenang.
Selain peran loby dan
oposisi, ada lagi kiprah politik ulama salaf. Yaitu memerankan otoritas yang
dimilikinya. Sikap ini ditunjukkan salah satunya oleh Khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Dengan kekuasaan dan otoritas yang dimilikinya, ia bangun pemerintahan
yang bersih, adil, dan makmur. Keadilan tegak, zakat melimpah, pajak
dihapuskan. Bahkan Umar bin Abdul Aziz membuka pasar bebas dengan dasar
konsepsi firman Allah Swt,
“Allah
menundukkan laut untukmu supaya kamu berlayar di sana dengan izin-Nya, dan supaya
kamu mencari karunia-Nya (rezeki-Nya) dan mudah-mudahan kamu berterima kasih
kepada-Nya.”
Baca Juga: Melihat Indonesia Lebih Dekat
Melalui ayat ini Umar bin
Abdul Aziz menolak bea cukai dan pungutan. Menurutnya,
“Daratan
dan lautan milik Allah Swt, disediakan untuk seluruh hamba-Nya agar mereka
mencari karunia-Nya. Maka bagaimana kita akan menghalangi hamba-hamba Allah
dari penghidupan mereka? Ini tidak benar!”
Gagasan globalisasi juga
disentuhnya. Menurutnya, kesempurnaan batas teritorial ummat Islam adalah satu,
yaitu seluruh bumi raya ini. Dia juga melarang para pejabat dan pemegang hukum
untuk berbisnis. Demi mengantisipasi terjadinya kolusi, korupsi dan nepostisme.
“menurutku,
seorang pemimpin negara tidak seorang pun boleh melakukan perdagangan. Sebab,
jika para penegak hukum melakukan perdagangan apalagi selalu mencari kesempatan,
akan menimbulkan penderitaan dan kerugian besar bagi masyarakat.”
Meski memerintah hanya
dalam waktu yang singkat, dua tahun lebih sedikit, kebijakan-kebijakan politis
Umar bin Abdul Aziz sangat mengagumkan. Belum lagi pembangunan spritual yang
tak kalah majunya.
Selain itu semua, peran
militer juga tidak ketinggalan. Soal ini, sebenarnya tidak asing lagi. Sebab,
kiprah militer para salafusshalih itu adalah berjihad di menegakkan agama Allah
atau membela kehormatan Islam. Para salafusshalih itu, selain dikenal rajin
beribadah, juga terkenal patriotisme dan kelincahannya dalam berperang. Ibnu Taimiyah
misalnya, yang lahir 3 tahun setelah tentara Mongol di bawah jenderal Holaki
menguasai wilayah Islam (661 H/1263 M), tumbuh dan besar dalam suasana gerilya.
Baca juga: Politik, Warisan Kenabian
Ibnu Taimiyah, pernah ditugaskan menjadi komandan pasukan Islam untuk menghadang tentara Mongol yang terkenal kejam itu agar tidak memasuki Damaskus. Dalam pertempuran yang hebat di Damaskus, tahun 1299 M pasukan yang ia pimpin menang secara gemilang.
Pada 1313 M, beliau
diperintahkan lagi pergi bertempur bersama-sama tentara Islam ke Yerussalem. Delapan
tahu kemudian barulah ia kembali ke Damaskus.
Banyak pelajaran yang patut kita renungkan. Dakwah dan politik hampir tak dapat dipisahkan. Perjalanan dakwah telah diukir para salafusshalih mencerminkan bagaimana ruhul Islam dan semangat dakwah begitu pekat mewarnai ragam aktivitas politik mereka.
Dengan kata
lain, dengan kekuatan ruh dakwah, aktivitas politik tidak menghanyutkan mereka
dalam cengkraman penguasa. Mereka tetap berpegang teguh pada aturan (manhaj)
dan konsepsi dakwah yang menjadi warisan perjuangan para Anbiya.
Pelajaran lainnya, keterlibatan mereka di lapangan politik bukan dalam kondisi mereka tak memiliki beban-beban kehidupan yang lain. Para salafusshalih tetap sebagai manusia yang memerlukan banyak kebutuhan.
Tapi itu tidak menjadi kendala, karena mereka senantiasa menyandarkan segala amalnya kepada dukungan dan pertolongan Allah. Mereka sadar, Allah hanya mewajibkan mereka untuk menyampaikan risalah dengan cara yang paling baik. Mereka menyusun rencana, bermujahadah dengan sungguh-sungguh, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah Swt.
Baca Juga: ParaPencipta Kemakmuran
Allah akan memberikan pertolongan dan dukungannya kepada siapa pun yang layak menerimanya. Dan di sanalah rahasia kekuatan mereka. Wallahu a’lam bi shawab.
Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar