Selasa, 07 Januari 2025

Kiprah Politik Ulama Salaf

 

Kiprah Politik Ulama Salaf

Oleh Azam Anzuki

 

Kiprah Politik Ulama Salaf
Kiprah Politik Ulama Salaf

(Hal-21) Kiprah para salafusshalih dalam memperjuangkan Islam, tak terbatas pada dunia ilmu semata. Banyak dari mereka yang terlibat dalam aktivitas politik. Formula partisipasi politik mereka bermacam-macam. Meski, tentu berbeda dengan idiom politik sekarang yang makin berkembang.

Peran loby adalah salah satunya. Seperti yang dipraktekkan Raja’ bin Haiwa, seorang ulama besar di masa Daulah Umawiyah. Dialah yang secara serius berada di balik suksesi dinasti umawi dari Sulaiman bin Abdul Malik kepada keponakannya, Umar bin Abdul Aziz.

Sulaiman bin Abdul Malik sebenarnya punya putera, Ayyub bin Sulaiman, yang telah dicalonkan menjadi khalifah. Sayang, Ayub meninggal sebelum niat ayahnya kesampaian. Sulaiman tinggal mempunyai satu anak yang masih kecil. Meski begitu, Sulaiman ingin agar puteranya itu kelak dapat menggantikannya. Maka dipanggilnya Umar bin Abdul Aziz dan Raja’.

“Coba pakaikan pakaian kebesaran kepada anakku.”

Baca Juga: Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang TidakPernah Selesai

Raja’ pun melaksanakan perintah itu. Sayang, anak itu belum mampu bermain pedang. Melihat anaknya tak memenuhi harapannya, terlintas dalam pikiran Sulaiman mengangkat saja kemenakannya, Umar bin Abdul Aziz. Segera Sulaiman meminta pendapat kepada Raja’.

“Orang yang paling cocok itu memang Umar,”

Begitu Raja’ memberikan pendapat. Raja’ tidak sampai di situ. Ia terus meyakinkan Sulaiman bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah pilihan yang tepat.

“Agaknya keputusanku ini tidak disertai bisikan setan,” Ucap Sulaiman

Raja’ adalah penasehat para khalifah. Tak heran kalau dalam literatur-literatur Islam, ia diberi gelar Musyirul Khulafa’. Salah seorang sahabatnya berkata,

“Sungguh aku tak pernah melihat orang yang hidup diantara pembesar-pembesar di lingkungan kerajaan yang lebih banyak jasa dan pengabbdiannya terhadap Islam dan kaum Muslimin, kecuali Raja’.”

Lain lagi yang dilakukan Imam Hasan al Basri. Bisa dibilang aktivitas politiknya adalah melakukan oposisi terhadap penguasa di masanya. Lahir tahun 21 H, dari orang tua yang menjadi pelayan para sahabat Agung, menjadikan Hasan al Basri tumbuh dengan kapasitas yang luar biasa. Ibunya, Khairah, pembantu Ummu Salamah, Istri Rasulullah. Ayahnya Yassar, pembantu Zaid bin Tsabit. Di lingkungan itulah Hasan dibesarkan.

Baca Juga: Indonesia Masih Kekurangan Ulama

Peran politik Hasan al Basri berbentuk oposisi pribadi. Kapasitasnya sebagai pribadi yang tinggi ia manfaatkan untuk mengontrol (Hal-22) pemerintahan. Ia sangat konsisten dengan Islam. Tidak gentar menegakkan kebenaran, meski harus berseberangan dengan pemerintah, apa pun risikonya. Hasan al Basri tak kan tinggal diam terhadap kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan, yang cenderung mengambil kebijakan sewenang-wenang.

Ibnu Khilikkan, meriwayatkan, suatu hari (tahun 103 H) Amir bin Hubairah Gubernur Iraq di bawah Yazid bin Abdul Malik mengundang Hasan al Basri, Assya’bi, dan Muhammad bin Sirin.

“Yazid itu Khalifatullah yang Allah angkat untuk memimpin hamba-hamba-Nya. Karenanya, kita harus tunduk dan patuh kepadanya. Dan sesungguhnya Yazid telah mengangkat aku sebagai gubernur di sini. Baru saja ia berkirim surat kepadaku, menyampaikan perintah. Aku akan mengikuti saja bila kalianpun demikian. Maka bagaimana pendapat kalian terhadap perintah itu?”, Ucap Ibnu Hubairah di depan para ulama itu.

Ibnu Syirin dan Assya’bi memberikan jawaban yang sama, mereka menyetujui. Tapi Hasan al Basri Masih diam.

“Bagaimana pendapatmu Hasan?”, tanya Abu Hubairah.

Setelah di desak, Hasan al Basri menyahut,”Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kamu kepada Allah dalam menghadapi Yazid, dan janganlah takut menghadapi Yazid dalam menghadapi Allah. Allah bisa melindungimu dari yazid. Tapi Yazid tidak bisa melindungimu dari Allah Swt. Aku khawatir kalau-kalau Allah Swt memberi jabatan, namun permadani surgamu hilang. Hingga engkau keluar dari istana hijaumu menuju sempitnya kuburmu. Tak ada yang menyelamatkanmu kecuali amalmu sendiri.

Baca Juga: PadaDasarnya, Masyarakat Kita Filantropis

Hasan al Basri diam sejenak. Lantas ia menyinggung fungsi pemerintahan.

“Wahai Ibnu Hubairah, jika engkau durhaka kepada Allah, maka sesungguhnya Allah menjadikan kekuasaan ini untuk menolong agama dan hamba-hamba-Nya. Karena itu janganlah engkau injak-injak agama dan hamba-hamba Allah demi kekuasaan. Ingat, tak ada kewajiban untuk taat kepada makhluk jika untuk bermaksiat kepada Khalik. (Thabaqat Ibnu Saad, VII/219)

Peran oposisi juga dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal. Lahir pada 164 H, Imam Ahmad hidup di bawah kekuasaan Daulah Abbasiyah. Pada masa Al Makmun, terjadi fitnah Khuluqul Qur’an. Penguasa memaksakan doktrin bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk kepada rakyat. Dan, itu artinya Al-Qur’an bisa benar dn mungkin salah. Sepeninggal Al Makmun, faham ini dilanjutkan penggantinya, Al-Mu’tashim. Siapa pun yang menolak pemahaman ini disiksa, termasuk Imam Ahmad.

Ia harus keluar masuk penjara. Algojo-algojo yang bengis saban hari menyiksaknya. Dalam suatu kesempatan, bahkan ia dihadirkan di hadapan Al-Mu’tashim. Hampir saja pedang Al-Mu’tashim menebas lehernya. Keteguhan Imam Ahmad tidak saja mampu menjaga aqidah ummat. Lebih dari itu, Imam yang hapal Al-Qur’an dan satu juta hadits itu dapat menyelamatkan ummat dari filsafat kacau yang sarat muatan politik daripada agama.

Sikap Imam Ahmad adalah tradisi para ulama dan ahli hadits. Seperti Al-Auza’i dan Sufyan Ats-Tsauri di sisi Khalifah al-Manshur, Shalih bin Abdul Jalil di hadapan al-Mahdi, serta Ibnu Samak di hadapan Harun ar-Rasyid. Mereka berani me- (Hal-23) nyampaikan kebenaran di hadapan para penguasa, agar tak seenaknya berlaku zalim dan sewenang-wenang.

Selain peran loby dan oposisi, ada lagi kiprah politik ulama salaf. Yaitu memerankan otoritas yang dimilikinya. Sikap ini ditunjukkan salah satunya oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan kekuasaan dan otoritas yang dimilikinya, ia bangun pemerintahan yang bersih, adil, dan makmur. Keadilan tegak, zakat melimpah, pajak dihapuskan. Bahkan Umar bin Abdul Aziz membuka pasar bebas dengan dasar konsepsi firman Allah Swt,

“Allah menundukkan laut untukmu supaya kamu berlayar di sana dengan izin-Nya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya (rezeki-Nya) dan mudah-mudahan kamu berterima kasih kepada-Nya.”

Baca Juga: Melihat Indonesia Lebih Dekat

Melalui ayat ini Umar bin Abdul Aziz menolak bea cukai dan pungutan. Menurutnya,

“Daratan dan lautan milik Allah Swt, disediakan untuk seluruh hamba-Nya agar mereka mencari karunia-Nya. Maka bagaimana kita akan menghalangi hamba-hamba Allah dari penghidupan mereka? Ini tidak benar!”

Gagasan globalisasi juga disentuhnya. Menurutnya, kesempurnaan batas teritorial ummat Islam adalah satu, yaitu seluruh bumi raya ini. Dia juga melarang para pejabat dan pemegang hukum untuk berbisnis. Demi mengantisipasi terjadinya kolusi, korupsi dan nepostisme.

“menurutku, seorang pemimpin negara tidak seorang pun boleh melakukan perdagangan. Sebab, jika para penegak hukum melakukan perdagangan apalagi selalu mencari kesempatan, akan menimbulkan penderitaan dan kerugian besar bagi masyarakat.”

Meski memerintah hanya dalam waktu yang singkat, dua tahun lebih sedikit, kebijakan-kebijakan politis Umar bin Abdul Aziz sangat mengagumkan. Belum lagi pembangunan spritual yang tak kalah majunya.

Selain itu semua, peran militer juga tidak ketinggalan. Soal ini, sebenarnya tidak asing lagi. Sebab, kiprah militer para salafusshalih itu adalah berjihad di menegakkan agama Allah atau membela kehormatan Islam. Para salafusshalih itu, selain dikenal rajin beribadah, juga terkenal patriotisme dan kelincahannya dalam berperang. Ibnu Taimiyah misalnya, yang lahir 3 tahun setelah tentara Mongol di bawah jenderal Holaki menguasai wilayah Islam (661 H/1263 M), tumbuh dan besar dalam suasana gerilya.

Baca juga: Politik, Warisan Kenabian

Ibnu Taimiyah, pernah ditugaskan menjadi komandan pasukan Islam untuk menghadang tentara Mongol yang terkenal kejam itu agar tidak memasuki Damaskus. Dalam pertempuran yang hebat di Damaskus, tahun 1299 M pasukan yang ia pimpin menang secara gemilang. 

Pada 1313 M, beliau diperintahkan lagi pergi bertempur bersama-sama tentara Islam ke Yerussalem. Delapan tahu kemudian barulah ia kembali ke Damaskus.

Banyak pelajaran yang patut kita renungkan. Dakwah dan politik hampir tak dapat dipisahkan. Perjalanan dakwah telah diukir para salafusshalih mencerminkan bagaimana ruhul Islam dan semangat dakwah begitu pekat mewarnai ragam aktivitas politik mereka. 

Dengan kata lain, dengan kekuatan ruh dakwah, aktivitas politik tidak menghanyutkan mereka dalam cengkraman penguasa. Mereka tetap berpegang teguh pada aturan (manhaj) dan konsepsi dakwah yang menjadi warisan perjuangan para Anbiya.

Pelajaran lainnya, keterlibatan mereka di lapangan politik bukan dalam kondisi mereka tak memiliki beban-beban kehidupan yang lain. Para salafusshalih tetap sebagai manusia yang memerlukan banyak kebutuhan. 

Tapi itu tidak menjadi kendala, karena mereka senantiasa menyandarkan segala amalnya kepada dukungan dan pertolongan Allah. Mereka sadar, Allah hanya mewajibkan mereka untuk menyampaikan risalah dengan cara yang paling baik. Mereka menyusun rencana, bermujahadah dengan sungguh-sungguh, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah Swt. 

Baca Juga: ParaPencipta Kemakmuran

Allah akan memberikan pertolongan dan dukungannya kepada siapa pun yang layak menerimanya. Dan di sanalah rahasia kekuatan mereka. Wallahu a’lam bi shawab.


 Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar