Indonesia
Masih Kekurangan Ulama
DR. Anwar
Ibrahim
(Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia)
Oleh Rahmat
Ubaidillah
Indonesia
Masih Kekurangan Ulama
(Hal-37) Perasaan
keterarahan masyarakat Islam Indonesia kepada Ulama, terasa kian menjauh.
Sepertinya mereka tidak lagi mendengarkan atau mengikuti apa yang telah
difatwakan oleh para ulama. Pada sisi lain Indonesia kekurangan sosok
kharismatik ulama yang memiliki kompetensi keilmuan yang mendalam pada
bidangnya. Semua permasalahan itu menjadi kekhawatiran ulama berusia 68 tahun
ini, yang kini menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI. Di kantor MUI, Jakarta, Tarbawi
berbincang dengannya. Berikut petikannya.
Yang Anda rasakan,
semakin ke depan, apa tantangan terberat para ulama?
Berdasarkan pengalaman. Tantangan terberat itu adalah mendalami pengetahuan (agama) dalam bidangnya masing-masing. Sebab ilmu pengetahuan semakin luas, dan dunia semakin modern. Sehingga permasalahan-permasalahan yang kita hadapi semakin berat. Maka penanggulangannya memerlukan pengetahuan yang begitu luas, terutama dalam segi ilmu agama (Islam). Nah, kita Indonesia ini, masih sangat memerlukan pendalaman ilmu Islam itu sejak pendidikan tingkat bawah. Jadi kita tidak mungkin bisa langsung ke pendidikan tingkat atas. Terutama masalah bahasa Arab sebagai alat pendalaman. Bahasa pengantar yang mau tidak mau, harus kita kuasai. Sementara itu, boleh dikatakan kita belum mempunyai guru untuk belajar bahasa Arab. Hingga kini, kita juga masih sulit menemukan ulama-ulama yang mempunyai pengetahuan luas dalam bidangnya masing-masing. Dari segi jumlah, kita kesulitan menghitungkan berapa lama yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari dapat kita rasakan, kekurangan kita itu terutama kalau kita mengikuti penerangan-penerangan agama di media. Kurang (Hal-38) begitu mendalam. Sangat jauh.
Dalam format
masyarakat yang semakin berubah, menurut Anda dimana kira-kira peran strategis
para ulama?
Peran
strategis para ulama itu meliputi berbagai bidang. Dalam bidang aqidah
umpamanya, tantangannya semakin berat. Apalagi sekarang pihak-pihak lain di
luar kita semakin kuat berusaha untuk mempengaruhi pemikiran-pemikiran para
sarjana-sarjana yang kuliah di luar negeri. Sehingga tidak jarang setelah mereka pulang ke Indonesia, mereka
memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam itu
sendiri. Islam sebagaimana kita ketahui tidak berhenti dibidang aqidah itu
saja. Tetapi juga di bidang amaliah. Amaliah di sini kita mulai dari segi
ibadah terutama pengertiannya. Amaliah ibadah masih kita pandang sebagai
sesuatu perbuatan ritual. Tetapi apa pengertian ibadah sebenarnya, itu
memerlukan pendalaman lagi.
Yang perlu
dilakukan para ulama itu sendiri, bukan hanya sekadar pendalaman pengetahuan,
tetapi juga penghayatan yang lebih mendalam, sebagaimana yang dihayati oleh
Rasulullah saw dalam berdakwah. Kalau kita shalat, maka harus mengerti
fungsinya. Demikian juga fungsi dari zakat dan puasa. Bahkan mulai dari
pengucapan dua kalimat syahadat sampai masalah haji dan seterusnya. Dalam
ibadah sosial , seperti zakat misalnya. Sampai sekarang masyarakat Indonesia
belum sepenuhnya menikmati apa yang sebenarnya diinginkan oleh Islam. Saya kira
keadaan yang sedang kita alama sekarang ini adalah pengaruh dari kekurangan
kita dalam bidang SDM. Terutama dalam bidang manajemen zakat.
Mengenai
ibadah sosial lainnya seperti wakaf. Sebenarnya wakaf ini merupakan sumber dana
yang sangat besar. Tetapi sampai sekarang masyarakat kita belum menikmatinya
secara penuh. Mungkin, wakaf di negeri kita ini berjalan salah arah. Lebih
terarah kepada kuburan, Masjid, Mushalla, Madrasah. Padahal wakaf prinsipnya
dana dari masyarakat untuk masyarakat. Kita lihat contohnya sangat banyak. Di
setiap negara Timur Tengah dapat dipastikan terdapat departemen wakaf. Dan
mereka mampu membiayai melalui wakaf ini ribuan mahasiswa. Bahkan mahasiswa
asing banyak juga yang mereka biayai. Contohnya Universitas Al Azhar di Kairo,
dana wakafnya sangat luar biasa. Alhamdulillah, pada akhir-akhir ini
sudah ada undang-undang tentang zakat dan wakaf. Tetapi masih jauh dari
memadai. Dan diantara keluhan-keluhan yang ada lagi-lagi tentang SDM pada
bidang itu. Semangatnya Alhamdulillah sudah begitu besar, tetapi
kemampuan untuk memenej sumber-sumber keuangan supaya dapat dirasakan
masyarakat kita, masih memerlukan pengembangan yang lebih jauh.
Baca Juga: Maafkan Aku...
Artinya,
saya ingin mengatakan bahwa peran ulama sangat strategis di segala bidang. Karena
secara perlahan para ulama kita jumlahnya semakin berkurang. Sebagaimana yang
terdapat dalam sebuah makna hadits Rasulullah saw bahwa Allah tidak mencabut
ilmu pengetahuan itu dari orang-orang seka (Hal-39) ligus sedemikian
rupa. Tetapi Allah swt, mengurangi atau menahan ilmu pengetahuan dengan
meninggalnya para ulama. Ketika para ulama itu sudah tidak ada lagi, maka
orang-orang akan bertanya dan meminta solusi kepada orang-orang yang tidak
menguasai bidangnya.
Kalau
begitu, apa yang harus dikembangkan lebih lanjut?
Saya
menginginkan adanya pertemuan tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia, untuk
mengolah kurikulum yang seharusnya kita siapkan. Insha Allah, kalau
sudah terbentuk kurikulum seperti ini, akan ada para pengajar yang handal.
Mulai tingkat Taman Kanak-Kanak hingga strata S3. Sebab untuk untuk mengajarkan
Ilmu Islam, tidak cukup hanya dengan tersedianya kurikulum, tetapi juga harus
ada tenaga pengajarnya. Dalam hal ibadah haji, sebagai contoh, memang kita
melihat sangat menggembirakan karena jumlah jamaahnya yang begitu besar. Tetapi
sebenarnya apa yang mereka hayati selama berada di tanah suci, saya kira akan
berbeda-beda. Sementara itu, bimbingan-bimbingan dari para ulama masih sangat
terbatas. Karena yang diberangkatkan ke sana juga, masih orang-orang tertentu
saja. Pada umumnya masih kalangan muda.
Pada bidang
ibadah, saya menginginkan ada terjemahan-terjemahan yang lebih mudah diserap
oleh masyarakat. Terutama tentang bacaan-bacaan dalam shalat dan dzikir,
sehingga mereka bisa meresapi maknanya. Tentu para ulama sangat berperan dalam
peningkatan kualitas ibadah umat Islam secara umum.
Apakah
penghayatan para ulama dalam berdakwah masih kurang, hal itu kalau kita lihat
dari masyarakat kita yang semakin jauh dari ulama?
Kalau ada
seorang tokoh dipandang sebagai seorang ulama besar, kemudian mengatakan bahwa
semua agama itu sama, dan kita akan masuk surga bersama-sama, itu kan sudah
akal-akalan. Mungkin karena kita ada salah-salah terjemah. Di dalam ajaran
Islam yang ditekankan dalam Al Qur’an, bahwa salah satu kebutuhan hidup manusia
adalah aturan. Aturan dalam Islam itu disebut Ad Dien. Tetapi kita
terjemahkan Ad Dien itu dengan agama. Karena agama di Indonesia sangat
banyak, seakan-akan mengatakan bahwa kehidupan hidup manusia itu adalah
agama-agama itu. Padahal yang dimaksud dengan Ad Dien dalam Islam itukan Cuma
satu, yaitu Islam. Maksud Ad Dien dalam Islam bukan agama sebenarnya, tetapi
kepatuhan kepada Allah. Taat dalam mencapai keridhoan-Nya. Jelas itu.
Anda
mengatakan bahwa Indonesia masih banyak kekurangan ulama. Apa yang telah
dilakukan MUI dalam hal ini?
MUI tidak
terjun secara langsung. Karena MUI tidak mempunyai Madrasah atau lembaga
pendidikan lainnya. MUI merupakan wadah pertemuan antara para da’i. Jadi
usaha-usahanya sangat terbatas dalam mengordinir para (Hal-40) pelaksana
pendidikan itu sendiri.
Baca Juga: SUDAH MEMBUKA LEMBAR KEBERAPA?
Menurut
Anda, apakah kondisi masyarakat semakin mengalami krisis religiusitas?
Ya. Kalau
kita lihat sekarang ini, masyarakat semakin tidak mendekat kepada Allah swt.
Padahal kita sebagai manusia sangat bergantung kepada Allah swt. Coba
direnungkan, kita tidak akan bisa bisa
hidup kalau tidak ada karunia dari Allah swt. Karunia itu berupa udara, makan,
minum, sayur-sayuran, buah-buahan, pakaian hingga tempat tinggal. Apakah
oksigen ini kita yang buat. Bahan-bahan makanan seperti beras, jagung, gandum,
sagu, apakah ada orang yang sudah bisa membuat itu semua? Yang lain lagi air.
Coba bayangkan kalau manusia hidup tanpa air. Seharusnya manusia itu semakin
lama semakin sadar bahwa hidup mereka bergantung pada karunia Allah swt.
Mestinya semakin taat. Tetapi kenyataannya di antara mereka ada yang
mengungkapkan pendapat yang nyeleneh.
Masyarakat
Indonesia cenderung lebih menyukai dakwahtainment daripada mengambil dari ulama
yang punya kredibilitas. Bagaimana menurut Anda?
Mungkin itu
disebabkan karena salah ulama juga (tertawa). Umat suka diajak melawak,
daripada diajak untuk berpikir tentang apa yang mereka dengar. Malah
kadang-kadang isi lawakannya ada yang cabul. Jadi untuk merubah itu tidak
mudah. Sehingga masyarakat pada akhirnya menilai, bahwa dakwah ini bukan suatu
ilmu pengetahuan, tetapi hiburan. Akhirnya, ketika ada ulama yang berceramah
tetapi tidak ada unsur melawaknya, masyarakat tidak suka. Hasilnya, masyarakat
lebih suka dakwah lewat hiburan ringan, seperti sinetron atau sandiwara. Kalau
memang sejak semula ceramah-ceramah itu kita buat bukan sebagai hiburan,
masyarakat tentunya tidak akan terbiasa dengan yang seperti itu. Kadang-kadang
supaya masyarakat senang dengan si penceramah, maka ia mengisinya dengan lawakan
yang bersifat hiburan. Padahal, kita kan datang ke pengajian untuk belajar.
Bukan untuk menghibur hati.
Bagaimana
menumbuhkan perasaan terarah bagi masyarakat, sehingga mereka tidak
terombang-ambing terutama dengan derasnya arus informasi dan pemikiran yang
menyesatkan?
Saya kira
itu tidak bisa diatasi oleh ulama sendiri. Sebab jika kita bangun pagi, yang
mempengaruhi otak kita sangat banyak. Seperti media cetak dan media elektronik.
Apa isinya? Di Indonesia ini kan sudah ada Komisi penyiaran Indonesia. Mereka
sudah banyak memberikan kritikan-kritikan, tetapi seperti tidak mampu
mempengaruhi. Kenapa? Karena kita masih memberikan kesempatan banyak media yang
sudah banyak menyimpang itu untuk tetap hidup. Padahal sangat berpengaruh buruk
otak umat Islam. Kontrolnya sudah sangat lemah. Semestinya kan masyarakat
lebih mendengar ulama daripada sumber lainnya. Harusnya ketika mereka mempunyai
masalah bertanya kepada ulama, bukan yang lainnya. Tetapi itu juga menjelaskan
seperti apa sesungguhnya standar masyarakat kita.
Baca Juga: SEPERTI ENGKAU MALU TERHADAP ORANG SHALIH
Dalam
beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dalal ini MUI, dalam Hal (Hal-41)
rokok misalnya, seringkali tidak diikuti kaum muslimin?
Mungkin
saingan kita lebih dominan, yaitu iklan rokok. Sebab, rokok mengandung candu.
Saya dulu mantan perokok. Rokok itu seperti tamu yang tidak diundang, terapi
kita dirayu-rayu olehnya. Kemudian bisa berhenti karena kesadaran sendiri.
Memang, kalau sudah kecanduan sulit melepasnya. Makanya, harus ada kerjasama
yang kuat antara ulama dan pemerintah. Harusnya iklan-iklan rokok itu
dikurangi. Pabrik rokok kalau bisa dikontrol. Tidak dilepas begitu saja. Fatwa
yang di buat oleh MUI itu kan seperti petunjuk. Tidak mengikat. Jadi
ketika MUI mengeluarkan fatwa, harus didukung semua pihak. Karena banyak sekali
faktor yang mempengaruhinya.
Bagaimana
sebaiknya pola hubungan yang ideal antara ulama dan masyarakat. Siapa yang
harus berperan aktif?
Kedua-duanya.
Para ulama harus punya kemampuan untuk memberikan solusi yang tepat dan cepat
terhadap masalah umat. Bukan hanya saya kira, saya kira saja (tertawa). Jadi,
ulama itu butuh pengetahuan yang luas dalam bidangnya. Karena tidak ada manusia
yang bisa menguasai semua bidang ilmu pengetahuan. Sementara masyarakat kita
himbau untuk meningkatkan kualitasnya, sehingga bisa bersinergi dengan ulama.
Kenapa Anda
tertarik mempelajari ushul fiqh sampai memperoleh gelar Doktor?
Sejak dahulu
kan umat Islam bahkan ormasnya banyak bertengkar mengenai
masalah-masalah khilafiah. Ternyata perbedaan pandangan itu mempunyai latar
belakang yang sangat panjang. Dan tentang itu semua dipelajari dalam ilmu ushul
fiqh. Karena itulah saya tertarik mempelajarinya. Ketika kita pelajari lebih
dalam dan kita mengerti akar permasalahannya, kita tenang-tenang saja. Karena
yang menemukan jawabannya. Yang terpenting, dalam berbeda itu kita punya
dalilnya. Jangan melakukan sesuatu yang kita tidak punya dalilnya. Ketika orang
masih saja saling bertengkar tentang hal-hal yang cabang, berarti mereka tidak
memahami ilmunya. Sebab masalah khilafiah itu sulit diatasi.
Apa pesan
Anda untuk kaum Muslimin?
Ketaatan
kita hanya kepada Allah. Jangan sampai kita taat kepada seorang kiai secara
membabibuta, meskipun pendapatnya salah.
Baca Juga: MUNGKINKAH MASJID AL AQSHA RUNTUH
Biodata
Nama : DR.
Anwar Ibrahim
Putra: 1 orang. Sedang menyelesaikan program S3.
Pendidikan:
-
S1 IAIN Palembang, Jurusan Syari’ah
-
S2 Al Azhar, Kairo, Mesir, Jurusan Ushul Fiqh
-
S3 Al Azhar, Kairo, Mesir, Jurusan Ushul Fiqh
Jabatan:
-
Ketua Majelis Fatwa Majelis Ulama Indonesia
-
Ketua Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia
Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430 H, 8 Oktober 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar