“ ‘Makan’ Batu, Takdir Kami ....”
Oleh Tarbawi
Makan’ Batu, Takdir Kami |
(Hal-46) Kertamenawi dan Wiyatma kakek-kakek
pengumpul dan pemecah batu di usianya yang lebih dari 80 tahun.
Entah sudah berapa lama saya menjalani hidup. Tapi pasti sudah 80
tahun lebih, karena saya menikah ketika Jepang masih menjajah negeri ini. Saya
masih mengalami jaman Dung Tong. Itu istilah ketika negeri ini jauh dari
rasa aman. Maksudnya, jika ada suara dung tung-tung, mlebu marang
orong-orong (Jika ada bebunyian, tanda bahaya, segera masuk ke lubang
persembunyian – Red).
Nama kecil saya sebetulnya Samingin. Tradisi di kampung kami, begitu seseorang menikah, dia harus berganti nama. Biasanya diambil dari dua keluarga besar, keluarga suami (Hal-48) dan keluarga istri. Setelah menikah nama saya menjadi Karta Menawi. Saya tidak tahu arti nama itu, karena keluarga yang memberikannya. Yang jelas, itu gabungan dua keluarga. Mungkin dari keluarga saya diambil ‘Karta’-nya, sedangkan ‘Menawi’ dari keluarga istri.
Kalau sekarang orang melihat hidup saya berat, kok orang
setua saya masih harus memanggul batu dari sungai untuk sekadar cari makan,
sebetulnya itu belum seberapa. Karena saya pernah mengalami masa-masa yang
lebih sulit. Di jaman penjajahan dulu, orang seperti saya hampir tak mungkin
makan nasi. Bisa makan jagung saja sudah untung. Biasanya kami hanya menyantap
talas untuk mengganjal perut setiap hari. Belum lagi sewaktu-waktu kami bisa
ditangkap, dipaksa untuk kerja paksa.
Tapi sempat saya hidup enak, di awal-awal jaman Pak Karno dulu.
Saya bekerja sebagai pengepul budin (singkong). Sementara istri saya menenun
kain. Dengan sedikit modal, saya membeli singkong dari pemilik kebun untuk
kemudian saya jual ke desa lain. Dagang kecil-kecilan ini hanya berlangsung
beberapa tahun, karena kemudian mencari singkong menjadi susah. Banyak warga
pemilik kebun yang mengganti tanaman singkongnya menjadi salak. Buah salak
memang lebih menguntungkan, tetapi saya tidak cukup modal untuk membelinya.
Kondisi ekonomi kami bertambah kacu setelah terjadi kebakaran
besar di desa kami, Desa Raja Wana, Purbalingga, Jawa Tengah. Puluhan rumah
ludes, termasuk rumah kami. Seluruh alat tenun milik istri habis dilalap api.
Sejak itu dia tidak pernah lagi menenun kain. Anak-anak semakin tak terurus.
Kami sebetulnya mempunyai enam anak, tapi dua orang meninggal saat kecil,
karena sakit. Dua anak yang pertama tak sekolah seperti kami, jadi tidak bisa
baca tulis. Adik-adiknya sempat sekolah, meskipun cuma sampai SR (Sekolah
Rakyat).
Saya mencoba pekerjaan lain, sebagai tukang madung (penebang
kayu). Ini pekerjaan mudah, karena tidak butuh keterampilan khusus. Modalnya
Cuma gergaji kayu dan sedikit tenaga. Kami bekerja dengan berpasangan. Dengan
bantuan salah seorang teman, saya siap melakukan pekerjaan penebangan kayu
apapun, baik nebang glugu (pohon kelapa), ataupun yang lain.
Baca Juga: DosaYang Terus Mengalir
Sekali lagi, saya harus berganti pekerjaan, karena kemudian senso
(gergaji mesin). Orang-orang lebih suka memakai jasa penebang kayu dengan senso.
Tak ada lagi orang yang membutuhkan jasa kami. Saya sendiri tak punya cukup
uang untuk membeli mesin gergaji mesin itu.
Banyak di antara warga di desa kami yang memilih untuk
transmigrasi ke luar Jawa, termasuk anak pertama kami Udin. Dia memutuskan
untuk pergi ke pulau Buru. Adiknya juga kemudian ikut transmigrasi ke Pekan
Baru. Saya sendiri memutuskan untuk tetap tinggal di kampung. Saya yakin tak
akan mati kelaparan di kampung sendiri. Setidaknya itu yang pernah dikatakan
Syeikh Jambu Karang, melalui kakek (Hal-49)
buyut kami.
Syeikh Jambu Karang, konon ceritanya, sebelumnya adalah tokoh
beragama Hindu yang disegani. Karena dalam sebuah adu kesaktian beliau
dikalahkan oleh utusan dari Demak, akhirnya masuk Islam dan jadi tokoh panutan
warga di daerah kami. Dari nama beliau pula, sungai tempat kami mencari nafkah
sekarang dikenal sebagai “Kali Karang.”
Kakek buyut kami selalu mengatakan, “sing trima mangan wedi
krikil ojo lungo soko deso kiye.” (Rela makan pasir dan kerikil, jangan
pergi dari desa ini). Itu lah takdir saya. Karena saya memutuskan untuk tetap
tinggal di Rajawana, ya harus makan wedi lan kerikil (pasir dan
kerikil). Maksudnya, saya harus menyambung hidup dengan menjual batu dari Kali
Karang.
Itulah awal perjalanan saya sebagai salah seorang yang harus ‘mangan
sela’ (makan batu) dari Kali Karang. Banyak di antara warga satu gerumbul
(dukuh) yang mengikuti takdir ini. Yang saya ingat, semuanya berawal sejak
jembatan di Kali Karang ini dibangun dan jadi ramai, sekitar tahun 70-an.
Dengan dibantu istri, saya jalani pekerjaan ini. Pagi, setelah
sholat Subuh saya pergi ke Kali Karang, melewati perkebunan milik warga yang
lain. Meskipun tidak punya kebun, saya suka melihat kebun-kebun orang lain.
Melihat kebun itu hati jadi tenteram.
Di musim kemarau seperti ini, mudah mengumpulkan gragal (batu
kecil) atau juga batu-batu agak besar. Di sepanjang Kali Karang, di pinggir dan
di tengah sungai, tersebar pasir dan batu berbagai ukuran. Gragal dimasukkan
ke karung-karung kecil terlebih dahulu, agar mudah dibawa. Dulu istri saya ikut
membawa gragal dari sungai, tapi sekarang sudah tidak kuat. Tubuhnya
semakin bungkuk, puunggungnya bengkok. Bahkan untuk sampai ke pinggir kali ini,
dia harus naik colt (angkot). Suti, istri saya hanya membantu memecah gragal
saja.
Baca Juga: Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup
Ketika masih kuat dulu, saya juga mengumpulkan batu-batu yang agak
besar, yang biasanya dipakai untuk fondasi bangunan. Batu-batu seperti ini
kebanyakan terpendam dalam pasir, jadi harus digali terlebih dahulu. Pasirnya
juga bisa dijual. Kami menumpuk batu-batu di pinggir sungai, menunggu pembeli
datang. Dalam tiga-empat hari, tumpukan batu itu biasanya sudah mencapai satu
kubik, laku sekitar 60 ribu.
Tapi sudah lebih dari lima tahun ini saya hanya mampu membawa gragal
saja. Satu karung beratnya mungkin sekitar 20 kg. Sakit saya makin parah.
Rasanya kaku dan sakit. Kata orang-orang, itu sakit asam urat. Maka saya tak
sanggup lagi shalat jamaah di Masjid. Kadang kalau mau ke Masjid harus pakai
tongkat. Gela (kecewa) tidak bisa ikut tarawih. Tapi Alhamdulillah, saya
masih kuat puasa.
Dalam bulan puasa seperti ini, saya hanya kuat membawa empat atau
lima karung batu sampai tengah hari. Istri saya pun paling hanya mampu
menghasilkan empat ember pecahan gragal. Kalau pada hari-hari biasa saja
sulit menghasilkan satu colt split (pecahan (Hal-50)
batu kecil, biasanya untuk cor beton (red) dalam sebulan, apalagi dalam
puasa seperti ini.
Satu colt
split, bisanya dihargai Rp 120 ribu. Sejumlah itu penghasilan kami berdua
dalam waktu satu bulan lebih. Mungkin itu jumlah yang tak seberapa, tapi
nyatanya itu cukup untuk hidup kami berdua. Tiang gesang niku, rezekine
Gusti Allah sing nyukani ... wonten mawon ... (Orang hidup itu, Allah yang
memberi rezekinya, ada saja, ... Red).
Kalau
hari-hari biasa saya pulang ke rumah sekitar jam empat, setelah ashar. Pada
bulan puasa seperti ini hanya setengah hari. Begitu dzuhur, kami segera ke Kali
Karang lagi, untuk bersih-bersih kemudian pulang. Saya istirahat sampai
menjelang buka puasa. Sedangkan istri saya setelah istirahat sebentar, segera
menyiapkan makanan untuk berbuka di dapur.
Selama Gusti
Allah masih memberi saya nyawa dan tenaga, saya kan terus di sini, di pinggir
Kali Karang ini, memecah gragal. Saya tidak ingin merepotkan anak dan
cucu, karena mereka hidupnya juga susah. Kadang mereka membantu juga, pernah
memberi uang. Tapi saya tidak pernah meminta. Saya yakin rezeki sudah ada
jatahnya. Tahu-tahu di rumah sudah ada makanan, atau tanpa disangka ada yang
memberi uang. Itu sering terjadi. Gusti Allah ora sare (Tuhan tidak
pernah tidur).
Alhamdulillah,
di
desa kami kami juga tak ada yang jadi pengemis. Itu ajaran para leluhur kami,
sesusah apa pun harus berusaha mencari rezeki sendiri.
Baca Juga: AndaiBukan Karena Cinta-Nya Kepadaku
Tarbawi juga
mewawancarai Wiyatma, sahabat Kartamenawi yang juga bekerja mengumpulkan dan
memecah batu. Berikut penuturannya:
Saya tak
pernah menyesal menjadi pengumpul batu dan pemecah gragal hingga
kakek-kakek seperti ini. Sepertinya ini memang takdir kami. Saya telah melakoni
berbagai pekerjaan, tapi tak ada yang tahan lama. Ujung-ujungnya, ya... di Kali
Karang ini (tertawa).
Umur saya
mungkin sudah 80 tahun lebih. Di jaman penjajahan, saya masih ingat, ikut
bersama teman-teman berperang, membawa bambu runcing. Saya juga masih sempat
ketemu Pak Gatot (Gatot Sabroto, Pahlawan Nasional) ketika beliau
bertugas di daerah ini. Saya sebetulnya ingin jadi tentara, tapi gagal dalam
seleksi, karena tak bisa baca tulis.
Di masa muda
dulu, saya sempat berjualan baju ke beberapa daerah lain, seperti Temanggung,
Magelang dan Wonosobo. Saya ambil barang dari seorang bos, tanpa modal. Karenanya,
harga barangnya agak mahal dan pembeli harus membayar kontan. Begitu ada orang
lain yang bisa menawarkan barang secara kredit, dagangan saya tidak laku. Saya
memutuskan berhenti jadi pedagang.
Seperti Pak
Kertamenawi, saya juga sempat menjadi penggergaji kayu. Berhenti jadi
penggergaji karena tak ada lagi yang memakai jasa kami. Orang-orang lebih
memilih senso yang cepat dan murah.
Alhamdulillah,
Gusti
Allah memberikan saya kesehatan. Saya masih kuat menggali, memanggul, dan
memecah (Hal-51) batu dari pagi
hingga sore hari. Kadang bahkan sampai jam tujuh malam. Biar sehat, biasanya
pagi hari sebelum ke kali, saya minum perasan daun pepaya. Pahit, tapi segar.
Saya senang
berada di Kali Karang ini, seolah memang sudah menjadi jodoh. Puluhan tahun
orang mengambil batu dan pasir dari kali ini, tetapi tak habis-habis. Nampaknya
kali ini memang diberikan Gusti Allah pada kami untuk diambil rezekinya. Bahkan
kini orang-orang dari luar daerah, seperti dari Wonosobo, ikut juga mengambil
batu dari sini.
Masa
pacekliknya kalau datang musim penghujan. Air sungai meluap, bahkan hampir
mengenai jembatan. Sulit untuk mengambil batu. Kami harus langen (berenang)
untuk menarik batu-batu itu ke daratan.
Baca Juga: HanyaKarena Kehendak Allah
Berkali-kali
jari tangan saya remuk terkena palu dan linggis. Saya tidak pernah membawa ke
dokter, paling cukup diberi getah jarak, kemudian dibungkus kain. Biasanya,
seminggu sudah sembuh kembali. Meskipun tangan atau kaki luka, saya tetap
memakainya bekerja. Orang sakit kalau diam malah sembuhnya lama.
Kalau
berhenti bekerja, dari mana saya makan? Anak-anak saua sudah berumah tangga
semua. Saya tak bisa mengharapkan bantuan mereka. Bahkan anak saya yang pergi
transmigrasi ke Jambi, meninggalkan dua orang anaknya ke kami.
Kalau kami
lapar tak jadi soal, karena kami dulu juga biasa hidup susah. Tapi kami tidak
bisa melihat cucu kami tak menemukan makanan di rumah. Itu alasan kenapa
terkesan saya ngoyo bekerja. Cucu yang satu Alhamdulillah sudah
lulus SMP. Saya tak perlu memikirkan biaya sekolahnya lagi, karena dia tak
melanjutkan pendidikannya. Tidak ada biaya. Tinggal adiknya, kelas 2 SMP yang
masih sekolah. Saya tidak tahu kenapa, bapaknya hampir tak pernah mengirimkan
uang untuk biaya mereka sehari-hari. Ya, semoga menjadi amal kami berdua untuk
membesarkannya.
Istri saya, Alhamdulillah
juga masih sehat. Dia ikut membantu membawa (Hal-52)
gragal dari kali dan kemudian memecahnya di pinggir jalan, bersama
sembilan orang yang lain. Kami ini satu gerumbul, beberapa diantaranya masih
memiliki hubungan keluarga, jadi kami saling membantu. Tak ada persaingan
diantara kami. Saya selalu meyakini, tiap orang ada jatah rezekinya
masing-masing. Makanya kalau ada tetangga yang sukses hidup di luar daerah,
saya tidak pernah iri. Kula nderek remen, ana batire sing mulya (Saya ikut
senang, ada teman yang sukses).
Kalau di
bulan puasa seperti ini, istri saya pulang lebih dulu selepas Dzhuhur. Saya
masih kuat puasa sampai sore. Banyak diantara orang-orang muda yang juga
mencari batu tidak puasa. Sebetulnya itu tidak masalah bagi saya, karena hak
mereka puasa atau tidak.
Tapi yang
saya sayangkan, mereka kadang tidak menghormati orang puasa. Mereka makan dan
merokok seenaknya di depan orang puasa.
Baca Juga: Bisakahkita Buktikan Keimanan Kita?
Untuk
berbuka, saya cukup minum segelas kopi. Habis sholat tarawih, baru makan nasi.
Saya tak punya banyak permintaan pada Gusti Allah. Saya hanya minta diberi
kesehatan. Itu saja, mudah-mudahan cukup untuk makan, cukup untuk sekolah dan
cukup untuk jajan cucu kami.
Seperti dituturkan oleh Kertamenawi dan Wiyatma kepada Edi Santoso dari Tarbawi, di Kali Karang Moncol, Purbalingga, Jawa Tengah.
Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430 H, 8 Oktober 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar