Rabu, 14 Agustus 2024

“ ‘Makan’ Batu, Takdir Kami ....”

 

“ ‘Makan’ Batu, Takdir Kami ....”

Oleh Tarbawi

Makan’ Batu, Takdir Kami
Makan’ Batu, Takdir Kami


(Hal-46)  Kertamenawi dan Wiyatma kakek-kakek pengumpul dan pemecah batu di usianya yang lebih dari 80 tahun.

Entah sudah berapa lama saya menjalani hidup. Tapi pasti sudah 80 tahun lebih, karena saya menikah ketika Jepang masih menjajah negeri ini. Saya masih mengalami jaman Dung Tong. Itu istilah ketika negeri ini jauh dari rasa aman. Maksudnya, jika ada suara dung tung-tung, mlebu marang orong-orong (Jika ada bebunyian, tanda bahaya, segera masuk ke lubang persembunyian – Red).

Nama kecil saya sebetulnya Samingin. Tradisi di kampung kami, begitu seseorang menikah, dia harus berganti nama. Biasanya diambil dari dua keluarga besar, keluarga suami (Hal-48) dan keluarga istri. Setelah menikah nama saya menjadi Karta Menawi. Saya tidak tahu arti nama itu, karena keluarga yang memberikannya. Yang jelas, itu gabungan dua keluarga. Mungkin dari keluarga saya diambil ‘Karta’-nya, sedangkan ‘Menawi’ dari keluarga istri.

Kalau sekarang orang melihat hidup saya berat, kok orang setua saya masih harus memanggul batu dari sungai untuk sekadar cari makan, sebetulnya itu belum seberapa. Karena saya pernah mengalami masa-masa yang lebih sulit. Di jaman penjajahan dulu, orang seperti saya hampir tak mungkin makan nasi. Bisa makan jagung saja sudah untung. Biasanya kami hanya menyantap talas untuk mengganjal perut setiap hari. Belum lagi sewaktu-waktu kami bisa ditangkap, dipaksa untuk kerja paksa.

Tapi sempat saya hidup enak, di awal-awal jaman Pak Karno dulu. Saya bekerja sebagai pengepul budin (singkong). Sementara istri saya menenun kain. Dengan sedikit modal, saya membeli singkong dari pemilik kebun untuk kemudian saya jual ke desa lain. Dagang kecil-kecilan ini hanya berlangsung beberapa tahun, karena kemudian mencari singkong menjadi susah. Banyak warga pemilik kebun yang mengganti tanaman singkongnya menjadi salak. Buah salak memang lebih menguntungkan, tetapi saya tidak cukup modal untuk membelinya.

Kondisi ekonomi kami bertambah kacu setelah terjadi kebakaran besar di desa kami, Desa Raja Wana, Purbalingga, Jawa Tengah. Puluhan rumah ludes, termasuk rumah kami. Seluruh alat tenun milik istri habis dilalap api. Sejak itu dia tidak pernah lagi menenun kain. Anak-anak semakin tak terurus. Kami sebetulnya mempunyai enam anak, tapi dua orang meninggal saat kecil, karena sakit. Dua anak yang pertama tak sekolah seperti kami, jadi tidak bisa baca tulis. Adik-adiknya sempat sekolah, meskipun cuma sampai SR (Sekolah Rakyat).

Saya mencoba pekerjaan lain, sebagai tukang madung (penebang kayu). Ini pekerjaan mudah, karena tidak butuh keterampilan khusus. Modalnya Cuma gergaji kayu dan sedikit tenaga. Kami bekerja dengan berpasangan. Dengan bantuan salah seorang teman, saya siap melakukan pekerjaan penebangan kayu apapun, baik nebang glugu (pohon kelapa), ataupun yang lain.

Baca Juga: DosaYang Terus Mengalir

Sekali lagi, saya harus berganti pekerjaan, karena kemudian senso (gergaji mesin). Orang-orang lebih suka memakai jasa penebang kayu dengan senso. Tak ada lagi orang yang membutuhkan jasa kami. Saya sendiri tak punya cukup uang untuk membeli mesin gergaji mesin itu.

Banyak di antara warga di desa kami yang memilih untuk transmigrasi ke luar Jawa, termasuk anak pertama kami Udin. Dia memutuskan untuk pergi ke pulau Buru. Adiknya juga kemudian ikut transmigrasi ke Pekan Baru. Saya sendiri memutuskan untuk tetap tinggal di kampung. Saya yakin tak akan mati kelaparan di kampung sendiri. Setidaknya itu yang pernah dikatakan Syeikh Jambu Karang, melalui kakek (Hal-49) buyut kami.

Syeikh Jambu Karang, konon ceritanya, sebelumnya adalah tokoh beragama Hindu yang disegani. Karena dalam sebuah adu kesaktian beliau dikalahkan oleh utusan dari Demak, akhirnya masuk Islam dan jadi tokoh panutan warga di daerah kami. Dari nama beliau pula, sungai tempat kami mencari nafkah sekarang dikenal sebagai “Kali Karang.”

Kakek buyut kami selalu mengatakan, “sing trima mangan wedi krikil ojo lungo soko deso kiye.” (Rela makan pasir dan kerikil, jangan pergi dari desa ini). Itu lah takdir saya. Karena saya memutuskan untuk tetap tinggal di Rajawana, ya harus makan wedi lan kerikil (pasir dan kerikil). Maksudnya, saya harus menyambung hidup dengan menjual batu dari Kali Karang.

Itulah awal perjalanan saya sebagai salah seorang yang harus ‘mangan sela’ (makan batu) dari Kali Karang. Banyak di antara warga satu gerumbul (dukuh) yang mengikuti takdir ini. Yang saya ingat, semuanya berawal sejak jembatan di Kali Karang ini dibangun dan jadi ramai, sekitar tahun 70-an.

Dengan dibantu istri, saya jalani pekerjaan ini. Pagi, setelah sholat Subuh saya pergi ke Kali Karang, melewati perkebunan milik warga yang lain. Meskipun tidak punya kebun, saya suka melihat kebun-kebun orang lain. Melihat kebun itu hati jadi tenteram.

Di musim kemarau seperti ini, mudah mengumpulkan gragal (batu kecil) atau juga batu-batu agak besar. Di sepanjang Kali Karang, di pinggir dan di tengah sungai, tersebar pasir dan batu berbagai ukuran. Gragal dimasukkan ke karung-karung kecil terlebih dahulu, agar mudah dibawa. Dulu istri saya ikut membawa gragal dari sungai, tapi sekarang sudah tidak kuat. Tubuhnya semakin bungkuk, puunggungnya bengkok. Bahkan untuk sampai ke pinggir kali ini, dia harus naik colt (angkot). Suti, istri saya hanya membantu memecah gragal saja.

Baca Juga: Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup

Ketika masih kuat dulu, saya juga mengumpulkan batu-batu yang agak besar, yang biasanya dipakai untuk fondasi bangunan. Batu-batu seperti ini kebanyakan terpendam dalam pasir, jadi harus digali terlebih dahulu. Pasirnya juga bisa dijual. Kami menumpuk batu-batu di pinggir sungai, menunggu pembeli datang. Dalam tiga-empat hari, tumpukan batu itu biasanya sudah mencapai satu kubik, laku sekitar 60 ribu.

Tapi sudah lebih dari lima tahun ini saya hanya mampu membawa gragal saja. Satu karung beratnya mungkin sekitar 20 kg. Sakit saya makin parah. Rasanya kaku dan sakit. Kata orang-orang, itu sakit asam urat. Maka saya tak sanggup lagi shalat jamaah di Masjid. Kadang kalau mau ke Masjid harus pakai tongkat. Gela (kecewa) tidak bisa ikut tarawih. Tapi Alhamdulillah, saya masih kuat puasa.

Dalam bulan puasa seperti ini, saya hanya kuat membawa empat atau lima karung batu sampai tengah hari. Istri saya pun paling hanya mampu menghasilkan empat ember pecahan gragal. Kalau pada hari-hari biasa saja sulit menghasilkan satu colt split (pecahan (Hal-50) batu kecil, biasanya untuk cor beton (red) dalam sebulan, apalagi dalam puasa seperti ini.

                                                                                                                  

Satu colt split, bisanya dihargai Rp 120 ribu. Sejumlah itu penghasilan kami berdua dalam waktu satu bulan lebih. Mungkin itu jumlah yang tak seberapa, tapi nyatanya itu cukup untuk hidup kami berdua. Tiang gesang niku, rezekine Gusti Allah sing nyukani ... wonten mawon ... (Orang hidup itu, Allah yang memberi rezekinya, ada saja, ... Red).

Kalau hari-hari biasa saya pulang ke rumah sekitar jam empat, setelah ashar. Pada bulan puasa seperti ini hanya setengah hari. Begitu dzuhur, kami segera ke Kali Karang lagi, untuk bersih-bersih kemudian pulang. Saya istirahat sampai menjelang buka puasa. Sedangkan istri saya setelah istirahat sebentar, segera menyiapkan makanan untuk berbuka di dapur. 

Selama Gusti Allah masih memberi saya nyawa dan tenaga, saya kan terus di sini, di pinggir Kali Karang ini, memecah gragal. Saya tidak ingin merepotkan anak dan cucu, karena mereka hidupnya juga susah. Kadang mereka membantu juga, pernah memberi uang. Tapi saya tidak pernah meminta. Saya yakin rezeki sudah ada jatahnya. Tahu-tahu di rumah sudah ada makanan, atau tanpa disangka ada yang memberi uang. Itu sering terjadi. Gusti Allah ora sare (Tuhan tidak pernah tidur).

Alhamdulillah, di desa kami kami juga tak ada yang jadi pengemis. Itu ajaran para leluhur kami, sesusah apa pun harus berusaha mencari rezeki sendiri.

Baca Juga: AndaiBukan Karena Cinta-Nya Kepadaku

Tarbawi juga mewawancarai Wiyatma, sahabat Kartamenawi yang juga bekerja mengumpulkan dan memecah batu. Berikut penuturannya:

Saya tak pernah menyesal menjadi pengumpul batu dan pemecah gragal hingga kakek-kakek seperti ini. Sepertinya ini memang takdir kami. Saya telah melakoni berbagai pekerjaan, tapi tak ada yang tahan lama. Ujung-ujungnya, ya... di Kali Karang ini (tertawa).

Umur saya mungkin sudah 80 tahun lebih. Di jaman penjajahan, saya masih ingat, ikut bersama teman-teman berperang, membawa bambu runcing. Saya juga masih sempat ketemu Pak Gatot (Gatot Sabroto, Pahlawan Nasional) ketika beliau bertugas di daerah ini. Saya sebetulnya ingin jadi tentara, tapi gagal dalam seleksi, karena tak bisa baca tulis.

Di masa muda dulu, saya sempat berjualan baju ke beberapa daerah lain, seperti Temanggung, Magelang dan Wonosobo. Saya ambil barang dari seorang bos, tanpa modal. Karenanya, harga barangnya agak mahal dan pembeli harus membayar kontan. Begitu ada orang lain yang bisa menawarkan barang secara kredit, dagangan saya tidak laku. Saya memutuskan berhenti jadi pedagang.

Seperti Pak Kertamenawi, saya juga sempat menjadi penggergaji kayu. Berhenti jadi penggergaji karena tak ada lagi yang memakai jasa kami. Orang-orang lebih memilih senso yang cepat dan murah.

Alhamdulillah, Gusti Allah memberikan saya kesehatan. Saya masih kuat menggali, memanggul, dan memecah (Hal-51) batu dari pagi hingga sore hari. Kadang bahkan sampai jam tujuh malam. Biar sehat, biasanya pagi hari sebelum ke kali, saya minum perasan daun pepaya. Pahit, tapi segar.

Saya senang berada di Kali Karang ini, seolah memang sudah menjadi jodoh. Puluhan tahun orang mengambil batu dan pasir dari kali ini, tetapi tak habis-habis. Nampaknya kali ini memang diberikan Gusti Allah pada kami untuk diambil rezekinya. Bahkan kini orang-orang dari luar daerah, seperti dari Wonosobo, ikut juga mengambil batu dari sini.

Masa pacekliknya kalau datang musim penghujan. Air sungai meluap, bahkan hampir mengenai jembatan. Sulit untuk mengambil batu. Kami harus langen (berenang) untuk menarik batu-batu itu ke daratan.

Baca Juga: HanyaKarena Kehendak Allah

Berkali-kali jari tangan saya remuk terkena palu dan linggis. Saya tidak pernah membawa ke dokter, paling cukup diberi getah jarak, kemudian dibungkus kain. Biasanya, seminggu sudah sembuh kembali. Meskipun tangan atau kaki luka, saya tetap memakainya bekerja. Orang sakit kalau diam malah sembuhnya lama.

Kalau berhenti bekerja, dari mana saya makan? Anak-anak saua sudah berumah tangga semua. Saya tak bisa mengharapkan bantuan mereka. Bahkan anak saya yang pergi transmigrasi ke Jambi, meninggalkan dua orang anaknya ke kami.

Kalau kami lapar tak jadi soal, karena kami dulu juga biasa hidup susah. Tapi kami tidak bisa melihat cucu kami tak menemukan makanan di rumah. Itu alasan kenapa terkesan saya ngoyo bekerja. Cucu yang satu Alhamdulillah sudah lulus SMP. Saya tak perlu memikirkan biaya sekolahnya lagi, karena dia tak melanjutkan pendidikannya. Tidak ada biaya. Tinggal adiknya, kelas 2 SMP yang masih sekolah. Saya tidak tahu kenapa, bapaknya hampir tak pernah mengirimkan uang untuk biaya mereka sehari-hari. Ya, semoga menjadi amal kami berdua untuk membesarkannya.

Istri saya, Alhamdulillah juga masih sehat. Dia ikut membantu membawa (Hal-52) gragal dari kali dan kemudian memecahnya di pinggir jalan, bersama sembilan orang yang lain. Kami ini satu gerumbul, beberapa diantaranya masih memiliki hubungan keluarga, jadi kami saling membantu. Tak ada persaingan diantara kami. Saya selalu meyakini, tiap orang ada jatah rezekinya masing-masing. Makanya kalau ada tetangga yang sukses hidup di luar daerah, saya tidak pernah iri. Kula nderek remen, ana batire sing mulya (Saya ikut senang, ada teman yang sukses).

Kalau di bulan puasa seperti ini, istri saya pulang lebih dulu selepas Dzhuhur. Saya masih kuat puasa sampai sore. Banyak diantara orang-orang muda yang juga mencari batu tidak puasa. Sebetulnya itu tidak masalah bagi saya, karena hak mereka puasa atau tidak.

Tapi yang saya sayangkan, mereka kadang tidak menghormati orang puasa. Mereka makan dan merokok seenaknya di depan orang puasa.

Baca Juga: Bisakahkita Buktikan Keimanan Kita?

Untuk berbuka, saya cukup minum segelas kopi. Habis sholat tarawih, baru makan nasi. Saya tak punya banyak permintaan pada Gusti Allah. Saya hanya minta diberi kesehatan. Itu saja, mudah-mudahan cukup untuk makan, cukup untuk sekolah dan cukup untuk jajan cucu kami.

Seperti dituturkan oleh Kertamenawi dan Wiyatma kepada Edi Santoso dari Tarbawi, di Kali Karang Moncol, Purbalingga, Jawa Tengah.


Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430  H, 8 Oktober 2009  M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar