Menyelami Makna Shoum dalam Kitab Tafsir “Fii Dziilalil Qur’an” Sayyid
Quthb[1]
Oleh M Lili Nur Aulia
(Hal-62) Sayyid Quthb – semoga Allah merahmatinya, memiliki uraian yang begitu
indah, mendalam, dan mencerahkan saat berbicara tentang shaum (puasa). Uraian
indah dan menyentuh itu diulas panang dalam kitab monumentalnya “Fii Dziilalil
Qur’an”, yang berarti Di Bawah Naungan Al-Qur’an.
(Hal-63) Sayyid Quthb memulai uraian panjangnya tentang shaum, dengan menjelaskan
hubungan antara shaum dan jihad. Ia memandang bahwa umat yang diwajibkannya
atasnya shaum sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, juga sudah seharusnya dan
sewajarnya diwajibkan juga jihad.
Mari kita ikuti uraiannya. Pertama kali Sayyid Quthb menguraikan definisi shaum dengan istilah: “Kemampuan lebih mementingkan sesuatu, diatas sesuatu yang bersifat primer.kesabaran dan kekuatan menahan diri dalam memenuhi kebutuhan utama hidup. Menguatkan kendali iradah (keinginan). Memantapkan kemenangan nilai manusia, diatas hewan.”
Definisi yang diurai Quthb terasa penuh makna dan kedalaman. Ia
menjelaskan bagaimana istimewanya shaum yang bisa mengkader dan membina mental
manusia menjadi semakin sempurna, karena telah mampu mementingkan penghambaan
kepada Allah daripada kebutuhan kebutuhan bersifat primer yang harus dipenuhi,
yakni makan dan minum. Bentuk kemampuan itu yang kemudian menumbuhkan kekuatan
sabar dalam diri orang yang berpuasa, sekaligus kemampuannya mengendalikan
keinginan. Orang yang menjalani Shaum, akan lebih mampu mengontrol keinginan
hidup yang umumnya tidak pernah selesai dan kerap menjadi pemicu gundah dan
keresahan. Dan ujungnya adalah, dengan perangkat karakter shaum itu, (Hal-64) seorang manusia menjadi jelas keistimewaannya dengan hewan.
Kondisi mental dan fisik yang baik ini kemudian dikaitkan oleh Sayyid
Quthb dengan kewajiban Allah SWT dalam perintah berjihad. Ia menuliskan:
“Jika jihad disyariatkan untuk memantapkan syariat Allah SWT di muka
bumi, untuk menegakkan kemanusian, untuk mempersaksikan kebenaran di hadapan
manusia, maka Shaum adalah arena untuk memantapkan iradah yang kuat dan
tangguh, arena yang menghubungkan manusia dengan Rabbnya dalam hubungan
ketaatan dan ketundukan. Shaum juga arena manusia mengabaikan sesuatu yang
bersifat primer bagi tubuh, menangggung beratnya beban untuk itu, demi
mengutamakan apa yang ada di sisi Allah SWT berupa keridahaan dan kenikmatan.”
Dalam konteks ini, kemudian Quthb menggambarkan bahwa Shaum merupakan
jalan pertama bagi siapapun yang ingin berjalan diatas jalan jihad. Shaum adalah sarana yang mengkader manusia
menjadi mampu meninggikan jiwanya dari tuntutan jasadnya. Shaumlah jalan yang
mengarahkan seseorang pada jalan-jalan jihad, termasuk jihad terhadap jiwa.
Dari sisi ini, Quthb memandang keharusan dan keniscayaaan ibadah Shaum bagi
siapapun yang ingin berjihad. Karena melalui Shaum, akan semakin sempurna
pembinaan atas jiwa manusia. Ia mengatakan,
“Sehingga ia bisa menahan beratnya perjalanan yang terbentang dengan
ragam tantangan dan duri berbagai sisinya, serta godaan syahwat yang selalu
memanggil orang-orang yang berlalu di hadapannya dengan ribuan tipu daya. Siapapun
yang bersabar menahan diri dari sesuatu yang mubah, dan bahkansesuatu yang
menjadi tuntutan inti dalam hidup ini, berarti dia mampu berjihad melalui
perjalanan yang penuh dengan duri dan tantangan.”
Taqwa yang Menjadi Motifnya
Tentang “taqwa” yang menjadi tujuan ibadah Shaum “La’allakum
tattaqun”, Sayyid Quthb menjelaskan dengan ungkapan,
“Taqwa adalah sesuatu yang membangkitkan hati, yang mendukung kewajiban
tunduk pada Allah dan mengutamakan Ridha-Nya. Taqwa adalah sesuatu yang
memelihara hati ini dari kemaksiatan yang merusak Shaum. Bahkan taqwalah yang
menjadi filter dalam pikiran seseorang.”
Dan masih menurutnya, taqwa adalah motivasi utama dari setiap amal
ibadah, termasuk di dalamnya jihad.
Allah SWT memilih kata taqwa sebagai tujuan Shaum, karena seorang Muslim
yang diajak bicara melalui Al Qur’an ini mengetahui kedudukan taqwa di sisi
Allah.
“Shaum ini adalah sarana dari ragam sarana taqwa, jalan yang
mengantarkan seorang Muslim ke sana, dan sebab itulah Allah SWT mengangkat
tujuan taqwa ini agar selalu ada dalam jiwa seseorang mukmin, sebagai pemandu
yang mengarahkan seorang mukmin untuk mencapai tujuan Shaum …. “La’allakum
tattaqun.”
Menurut Sayyid Quthb, pilihan kata “la’alla” dalam ayat ini adalah
sebuah optimism bahwa tujuan itu akan tercapai.
“Maka, berpuasalah sebagaimana Allah memerintahkanmu berpuasa, lalu
Allah SWT akan menanamkan ketakwaan (Hal-65) kepada-Nya, itulah pahala yang sangat indah, …”
Dalam banyak uraiannya, Quthb selalu fokus pada aspek tarbawi (Pembinaan
dan Pendidikan) yang terkandung dalam Shaum. Mengaitkan kandungan makna Shaum
itu dengan firman Allah SWT yang berbunyi;
“wa an tashuumuu khairun lakum in kuntum ta’lamuun “ yang artinya, “dan
bila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”
Ia mengatakan;
“Karena dalam Shaum terkandung kebaikan, tampak jelas dari ayat ini
untuk kita aspek tarbiyatul iradah (mendidik dan mengarahkan keinginan),
tarbiyatul ihtimal (menguatkan kemampuan menanggung beban), dan mengutamakan
penghambaan kepada Allah SWT, daripada istirahat. Semua itu anasir-anasir yang
dibutuhkan dalam proses pembinaan kepribadian Islam.”
Ia menjelaskan tujuan ibadah di dalam Islam;
“Menumbuhkan sebuah perasaan yang menjadi tujuan penting. Kondisi
perasaan itu yang akan mengendalikan prilaku orang beribadah, di mana seseorang
diarahkan untuk pertama kali bersandar pada pembinaan jiwa dan nuraninya, pada
kebaikan pelaksanaan ibadah dan kebaikan prilakunya dalam kehidupan.”
Karena itulah, dengan puasa, kita akan menjadi lebih dekat bersyukur
kepada Allah SWT karena kita lebih merasakan kenikmatan yang Allah SWT
limpahkan untuk kita. Dengan puasa, jiwa kita akan menjadi lebih bersih, dan
kotoran-kotorannya akan lebih tersingkirkan. Sebagaimana yang juga dijelaskan
Sayyid Quthb, tujuan sebuah ibadah yang wajib adalah;
“Agar orang-orang beriman merasakan nilai petunjuk yang Allah berikan
kepada mereka. Orang-orang mukmin akan selalu mendapatkan suasana perasaan
seperti ini dalam perguliran waktu selama puasa. Mereka terpelihara secara hati
dari pikiran yang bernilai maksiat, terpelihaa fisiknya dari melakukan
kemaksiatan. Mereka merasakan petunjuk Allah SWT itu benar-benar terasa dan
teraba. Mereka lalu mengagungkan dan membesarkan Allah SWT atas hidayah-Nya,
kemudian bersyukur kepada-Nya atas nikmat-Nya.”
Mematangkan Jiwa Manusia
Jika Shaum sebagai jalan untuk kemampuan seseorang berjihad, dan jalan
untuk menjadikan seseorang mampu menahan beban kesulitan serta menjadi bagian
penting dalam pendidikan jiwa yang mengajarkan jiwa kesyukuran kepada Allah,
maka Quthb juga tidak ketinggalan mengupas hikmah seluruh ibadah yang
diwajibkan Allah kepada manuisa. Ia menyebutkan bahwa hikmah ibadah seluruhnya
adalah mempersiapkan jiwa manusia untuk mampu memainkan peranannya di muka bumi
ini yakni dengan memakmurkan bumi. Ibadah yang akan mempersiapkan jiwa ini
untuk mengarah pada kesempurnaan yang
telah ditetapkan Allah di akhirat.
“Seluruh kewajiban dan arahan Allah SWT dalam ibadah, khususnya, akan
tampak manfaatnya secara fisik. Shaum pun diwajibkan Allah SWT karena ada
manfaat kesehatan di baliknya. Begitu pula seluruh ibadah yang lainnya.”
Tidak hanya sampai di situ, terkait manfaat ibadah yang bisa diraba
secara langsung, (Hal-66) Sayyid Quthb menegaskan;
“Namun demikian, hikmah di balik kewajiban Ilahi itu tidak boleh
dikaitkan secara utuh dengan peemuan ilmu pengetahuan manusia. Karena wilayah
ilmu manusia sangat terbatas, tidak luas dan tidak akan mampu menyingkap dan
merangkum hikmah yang Allah SWT kehendaki, dari seluruh hamparan alam semesta
ini.”
Maksudnya adalah, ilmu manusia memang serba kekurangan, lantaran bisa
saja sesuatu yang telah tersingkap oleh ilmu pengetahuan saat ini, akan berubah
dan menjadi tidak benar di masa yang mendatang dengan ilmu pengetahuan yang
tersingkap di masa tersebut.
Suasana sentiment selalu muncul dalam ragam pandangan Sayyid Quthb dalam
pilihan kata yang ditulisnya. Karena itu, ia juga menyinggung bagaimana ke Maha
Kuasa Allah SWT dalam menurunkan perintah Shaum kepada umat Islam. Menurutnya,
setiap kali Allah SWT menurunkan perintah untuk melaksanakan sesuatu, perintah
itu diiringi dengan suasana yang membangkitkan keinginan manusia agar
melaksanakan perintahnya dengan penuh cinta. Hal ini dijelaskan Sayyid Quthb
dalam konteks ibadah Shaum. Ia mengatakan;
“Karena sebuah perintah itu merupakan masalah yang membutuhkan bantuan
dan dorongan bagi jiwa manusia agar mau melakukannya, maka perlu upaya yang
bisa membangkitkan dan mendorong seseorang untuk bisa melaksanakannya. Betapa
pun hikmah dan manfaat yang tersimpan di balik sebuah perintah, tetap saja
Allah SWT memerintahkannya dengan firman yang bisa meyakinkan dan memunculkan
keridhaan dari manusia. Itulah sebabnya, Allah SWT memulai perintah puasa
dengan panggilan, “Yaa ayyuhalladziina aamanuu … “ yang artinya wahai
orang-orang beriman.”
Menurut Sayyid Quthb, melalui firman tersebut, kita bisa lebih jauh lagi
menggali pemahaman di balik kewajiban Shaum.
“Jika Allah SWT mendorong orang beriman untuk berpuasa, maka kita selaku
orang beriman harus bisa mendorong jiwa kita untuk mau menuju Allah SWT dan
beribadah kepada-Nya. … Agar kita tidak lari dari kewajiban beribadah
kepada-Nya. Masalah ini harus dipahami dan diperhatikan dengan baik.”
Hari-Hari Tertentu, Kenapa?
Jiwa manusia mempunyai tabiat ingin memahami dan diberi pemahaman. Itu
pula yang disadari Sayyid Quthb karenanya ia pun menjelaskan bagaimana Allah
SWT yang sangat Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya, menjadikan Shaum hanya
pada hari-hari tertentu. Itupun ditambah dengan dispensasi yang Allah SWT
berikan bila ada diantara hamba-hamba yang melakukan perjalanan atau sakit
dibolehkan untuk mengqadha Shaum ketika sudah sembuh. Dan orang dalam
perjalanan dipersilahkan membayar Shaumnya ketika sudah sampai ke tujuan.
“Pemahaman yang utama terhadap firman Allah SWT ini adalah pemahaman
nash secara leterlek. Pemahaman paling dekat dengan firman Allah SWT itu adalah
bahwa Islam memiliki pandangan yang menghindarkan kesulitan dan menghalangi
bahaya yang (Hal-67) mungkin terjadi. Bukan aspek rasa sakit yang
dialami orang sakit ataupun kesulitan yang dialami orang yang dalam perjalanan,
yang menjadi alasannya. Melainkan hanya kondisi sakit dan dalam perjalanan
saja. Karena intinya, Islam selalu menghendaki sesuatu yang lebih mudah dan
tidak memberatkan. Kita tidak mengetahui hikmah seluruhnya di balik firman
Allah SWT yang memberi keringanan pada orang sakit dan yang berada dalam
perjalanan itu. Mungkin saja ada kendala lain yang tidak tersadari atau tidak
dirasakan oleh manusia.”
Meski demikian, Quthb menyinggung kekeliruan sejumlah fuqaha yang
mensyaratkan kondisi tertentu yang membolehkan seseorang berbuka di waktu
berpuasa dan sakit maupun dalam perjalanan. Ia mengatakan,
“Agama ini tidak menggiring manusia dengan belenggu agar ia melakukan
ketaatan, tapi menggiring mereka dengan ketakwaan.”
Hubungan Shaum dengan Al Qur’an
Bagaiman ikatan dan korelasi antara Shaum dengan Syahrul Qur’an (Bulan
Al Qur’an), yakni Ramadhan? Quthb mengatakan;
“AL Qur’an adalah kitab umat ini yang abadi, yangmengeluarkan manusia
dari kegelapan pada cahaya, lalu
membentuk umat ini sebagai umat yang baru, menggantinya dari ketakutan pada
keamanan, meneguhkan umat ini di atas bumi, dianugaerahi ragam pilaryang dapat
memantapkannya sebagai umat, padahal sebelumnya mereka bukan apa-apa di bumi
ini. Tanpa pilar-pilar itu, takada artinya ummat itu, dan mereka tidak akan
memiliki kedudukan di muka bumi, terlebih di langit. Maka bersyukurlah kepada
Allah SWT atas nikmat Al Qur’an Karim ini, dengan menyambut melakukan Shaum di
bulan saat diturunkannya.”
Ia lalu mengatakan,
“Jika Al Qur’an merupakan anugerah bagi umat ini sekaligus pilar yang
dapat menyangga keberadaanya, maka Ramadhan adalah awal kelahiran pilar itu.
Sekaligus awal kelahiran seorang muslim yang kelak bisa memikul pilar-pilar
tersebut.”
Singkatnya, seorang Mukmin harus hidup di bulan Ramadhan, antara
perasaan syukur kepada Allah SWT atas petunjuknya dengan melaksanakan
perintahnya, mempersiapkan jiwanya untuk memiliki kesempurnaan duniawi, dan
melakukan ibadah Shaum yang benar dan diterima di sisi-Nya. ***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar