Kamis, 29 Februari 2024

Menyelami Makna Shoum dalam Kitab Tafsir “Fii Dziilalil Qur’an” Sayyid Quthb

Menyelami Makna Shoum dalam Kitab Tafsir “Fii Dziilalil Qur’an” Sayyid Quthb[1]

Oleh M Lili Nur Aulia  

(Hal-62) Sayyid Quthb – semoga Allah merahmatinya, memiliki uraian yang begitu indah, mendalam, dan mencerahkan saat berbicara tentang shaum (puasa). Uraian indah dan menyentuh itu diulas panang dalam kitab monumentalnya “Fii Dziilalil Qur’an”, yang berarti Di Bawah Naungan Al-Qur’an.

(Hal-63) Sayyid Quthb memulai uraian panjangnya tentang shaum, dengan menjelaskan hubungan antara shaum dan jihad. Ia memandang bahwa umat yang diwajibkannya atasnya shaum sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, juga sudah seharusnya dan sewajarnya diwajibkan juga jihad.



Mari kita ikuti uraiannya. Pertama kali Sayyid Quthb menguraikan definisi shaum dengan istilah: “Kemampuan lebih mementingkan sesuatu, diatas sesuatu yang bersifat primer.kesabaran dan kekuatan menahan diri dalam memenuhi kebutuhan utama hidup. Menguatkan kendali iradah (keinginan). Memantapkan kemenangan nilai manusia, diatas hewan.”

Definisi yang diurai Quthb terasa penuh makna dan kedalaman. Ia menjelaskan bagaimana istimewanya shaum yang bisa mengkader dan membina mental manusia menjadi semakin sempurna, karena telah mampu mementingkan penghambaan kepada Allah daripada kebutuhan kebutuhan bersifat primer yang harus dipenuhi, yakni makan dan minum. Bentuk kemampuan itu yang kemudian menumbuhkan kekuatan sabar dalam diri orang yang berpuasa, sekaligus kemampuannya mengendalikan keinginan. Orang yang menjalani Shaum, akan lebih mampu mengontrol keinginan hidup yang umumnya tidak pernah selesai dan kerap menjadi pemicu gundah dan keresahan. Dan ujungnya adalah, dengan perangkat karakter shaum itu, (Hal-64) seorang manusia menjadi jelas keistimewaannya dengan hewan.

Kondisi mental dan fisik yang baik ini kemudian dikaitkan oleh Sayyid Quthb dengan kewajiban Allah SWT dalam perintah berjihad.  Ia menuliskan:

Jika jihad disyariatkan untuk memantapkan syariat Allah SWT di muka bumi, untuk menegakkan kemanusian, untuk mempersaksikan kebenaran di hadapan manusia, maka Shaum adalah arena untuk memantapkan iradah yang kuat dan tangguh, arena yang menghubungkan manusia dengan Rabbnya dalam hubungan ketaatan dan ketundukan. Shaum juga arena manusia mengabaikan sesuatu yang bersifat primer bagi tubuh, menangggung beratnya beban untuk itu, demi mengutamakan apa yang ada di sisi Allah SWT berupa keridahaan dan kenikmatan.”

Dalam konteks ini, kemudian Quthb menggambarkan bahwa Shaum merupakan jalan pertama bagi siapapun yang ingin berjalan diatas jalan jihad.  Shaum adalah sarana yang mengkader manusia menjadi mampu meninggikan jiwanya dari tuntutan jasadnya. Shaumlah jalan yang mengarahkan seseorang pada jalan-jalan jihad, termasuk jihad terhadap jiwa. Dari sisi ini, Quthb memandang keharusan dan keniscayaaan ibadah Shaum bagi siapapun yang ingin berjihad. Karena melalui Shaum, akan semakin sempurna pembinaan atas jiwa manusia. Ia mengatakan,

“Sehingga ia bisa menahan beratnya perjalanan yang terbentang dengan ragam tantangan dan duri berbagai sisinya, serta godaan syahwat yang selalu memanggil orang-orang yang berlalu di hadapannya dengan ribuan tipu daya. Siapapun yang bersabar menahan diri dari sesuatu yang mubah, dan bahkansesuatu yang menjadi tuntutan inti dalam hidup ini, berarti dia mampu berjihad melalui perjalanan yang penuh dengan duri dan tantangan.”

Taqwa yang Menjadi Motifnya

Tentang “taqwa” yang menjadi tujuan ibadah Shaum “La’allakum tattaqun”, Sayyid Quthb menjelaskan dengan ungkapan,

“Taqwa adalah sesuatu yang membangkitkan hati, yang mendukung kewajiban tunduk pada Allah dan mengutamakan Ridha-Nya. Taqwa adalah sesuatu yang memelihara hati ini dari kemaksiatan yang merusak Shaum. Bahkan taqwalah yang menjadi filter dalam pikiran seseorang.”

Dan masih menurutnya, taqwa adalah motivasi utama dari setiap amal ibadah, termasuk di dalamnya jihad.

Allah SWT memilih kata taqwa sebagai tujuan Shaum, karena seorang Muslim yang diajak bicara melalui Al Qur’an ini mengetahui kedudukan taqwa di sisi Allah.

“Shaum ini adalah sarana dari ragam sarana taqwa, jalan yang mengantarkan seorang Muslim ke sana, dan sebab itulah Allah SWT mengangkat tujuan taqwa ini agar selalu ada dalam jiwa seseorang mukmin, sebagai pemandu yang mengarahkan seorang mukmin untuk mencapai tujuan Shaum …. “La’allakum tattaqun.”

Menurut Sayyid Quthb, pilihan kata “la’alla” dalam ayat ini adalah sebuah optimism bahwa tujuan itu akan tercapai.

“Maka, berpuasalah sebagaimana Allah memerintahkanmu berpuasa, lalu Allah SWT akan menanamkan ketakwaan  (Hal-65) kepada-Nya, itulah pahala yang sangat indah, …”

Dalam banyak uraiannya, Quthb selalu fokus pada aspek tarbawi (Pembinaan dan Pendidikan) yang terkandung dalam Shaum. Mengaitkan kandungan makna Shaum itu dengan firman Allah SWT yang berbunyi;

“wa an tashuumuu khairun lakum in kuntum ta’lamuun “ yang artinya, “dan bila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”

Ia mengatakan;

“Karena dalam Shaum terkandung kebaikan, tampak jelas dari ayat ini untuk kita aspek tarbiyatul iradah (mendidik dan mengarahkan keinginan), tarbiyatul ihtimal (menguatkan kemampuan menanggung beban), dan mengutamakan penghambaan kepada Allah SWT, daripada istirahat. Semua itu anasir-anasir yang dibutuhkan dalam proses pembinaan kepribadian Islam.”

Ia menjelaskan tujuan ibadah di dalam Islam;

“Menumbuhkan sebuah perasaan yang menjadi tujuan penting. Kondisi perasaan itu yang akan mengendalikan prilaku orang beribadah, di mana seseorang diarahkan untuk pertama kali bersandar pada pembinaan jiwa dan nuraninya, pada kebaikan pelaksanaan ibadah dan kebaikan prilakunya dalam kehidupan.”

Karena itulah, dengan puasa, kita akan menjadi lebih dekat bersyukur kepada Allah SWT karena kita lebih merasakan kenikmatan yang Allah SWT limpahkan untuk kita. Dengan puasa, jiwa kita akan menjadi lebih bersih, dan kotoran-kotorannya akan lebih tersingkirkan. Sebagaimana yang juga dijelaskan Sayyid Quthb, tujuan sebuah ibadah yang wajib adalah;

“Agar orang-orang beriman merasakan nilai petunjuk yang Allah berikan kepada mereka. Orang-orang mukmin akan selalu mendapatkan suasana perasaan seperti ini dalam perguliran waktu selama puasa. Mereka terpelihara secara hati dari pikiran yang bernilai maksiat, terpelihaa fisiknya dari melakukan kemaksiatan. Mereka merasakan petunjuk Allah SWT itu benar-benar terasa dan teraba. Mereka lalu mengagungkan dan membesarkan Allah SWT atas hidayah-Nya, kemudian bersyukur kepada-Nya atas nikmat-Nya.”

Mematangkan Jiwa Manusia

Jika Shaum sebagai jalan untuk kemampuan seseorang berjihad, dan jalan untuk menjadikan seseorang mampu menahan beban kesulitan serta menjadi bagian penting dalam pendidikan jiwa yang mengajarkan jiwa kesyukuran kepada Allah, maka Quthb juga tidak ketinggalan mengupas hikmah seluruh ibadah yang diwajibkan Allah kepada manuisa. Ia menyebutkan bahwa hikmah ibadah seluruhnya adalah mempersiapkan jiwa manusia untuk mampu memainkan peranannya di muka bumi ini yakni dengan memakmurkan bumi. Ibadah yang akan mempersiapkan jiwa ini untuk mengarah pada kesempurnaan  yang telah ditetapkan Allah di akhirat.

“Seluruh kewajiban dan arahan Allah SWT dalam ibadah, khususnya, akan tampak manfaatnya secara fisik. Shaum pun diwajibkan Allah SWT karena ada manfaat kesehatan di baliknya. Begitu pula seluruh ibadah yang lainnya.”

Tidak hanya sampai di situ, terkait manfaat ibadah yang bisa diraba secara langsung,  (Hal-66) Sayyid Quthb menegaskan;

“Namun demikian, hikmah di balik kewajiban Ilahi itu tidak boleh dikaitkan secara utuh dengan peemuan ilmu pengetahuan manusia. Karena wilayah ilmu manusia sangat terbatas, tidak luas dan tidak akan mampu menyingkap dan merangkum hikmah yang Allah SWT kehendaki, dari seluruh hamparan alam semesta ini.”

Maksudnya adalah, ilmu manusia memang serba kekurangan, lantaran bisa saja sesuatu yang telah tersingkap oleh ilmu pengetahuan saat ini, akan berubah dan menjadi tidak benar di masa yang mendatang dengan ilmu pengetahuan yang tersingkap di masa tersebut.

Suasana sentiment selalu muncul dalam ragam pandangan Sayyid Quthb dalam pilihan kata yang ditulisnya. Karena itu, ia juga menyinggung bagaimana ke Maha Kuasa Allah SWT dalam menurunkan perintah Shaum kepada umat Islam. Menurutnya, setiap kali Allah SWT menurunkan perintah untuk melaksanakan sesuatu, perintah itu diiringi dengan suasana yang membangkitkan keinginan manusia agar melaksanakan perintahnya dengan penuh cinta. Hal ini dijelaskan Sayyid Quthb dalam konteks ibadah Shaum. Ia mengatakan;

“Karena sebuah perintah itu merupakan masalah yang membutuhkan bantuan dan dorongan bagi jiwa manusia agar mau melakukannya, maka perlu upaya yang bisa membangkitkan dan mendorong seseorang untuk bisa melaksanakannya. Betapa pun hikmah dan manfaat yang tersimpan di balik sebuah perintah, tetap saja Allah SWT memerintahkannya dengan firman yang bisa meyakinkan dan memunculkan keridhaan dari manusia. Itulah sebabnya, Allah SWT memulai perintah puasa dengan panggilan, “Yaa ayyuhalladziina aamanuu … “ yang artinya wahai orang-orang beriman.”

Menurut Sayyid Quthb, melalui firman tersebut, kita bisa lebih jauh lagi menggali pemahaman di balik kewajiban Shaum.

“Jika Allah SWT mendorong orang beriman untuk berpuasa, maka kita selaku orang beriman harus bisa mendorong jiwa kita untuk mau menuju Allah SWT dan beribadah kepada-Nya. … Agar kita tidak lari dari kewajiban beribadah kepada-Nya. Masalah ini harus dipahami dan diperhatikan dengan baik.”

Hari-Hari Tertentu, Kenapa?

Jiwa manusia mempunyai tabiat ingin memahami dan diberi pemahaman. Itu pula yang disadari Sayyid Quthb karenanya ia pun menjelaskan bagaimana Allah SWT yang sangat Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya, menjadikan Shaum hanya pada hari-hari tertentu. Itupun ditambah dengan dispensasi yang Allah SWT berikan bila ada diantara hamba-hamba yang melakukan perjalanan atau sakit dibolehkan untuk mengqadha Shaum ketika sudah sembuh. Dan orang dalam perjalanan dipersilahkan membayar Shaumnya ketika sudah sampai ke tujuan.

“Pemahaman yang utama terhadap firman Allah SWT ini adalah pemahaman nash secara leterlek. Pemahaman paling dekat dengan firman Allah SWT itu adalah bahwa Islam memiliki pandangan yang menghindarkan kesulitan dan menghalangi bahaya yang (Hal-67)  mungkin terjadi. Bukan aspek rasa sakit yang dialami orang sakit ataupun kesulitan yang dialami orang yang dalam perjalanan, yang menjadi alasannya. Melainkan hanya kondisi sakit dan dalam perjalanan saja. Karena intinya, Islam selalu menghendaki sesuatu yang lebih mudah dan tidak memberatkan. Kita tidak mengetahui hikmah seluruhnya di balik firman Allah SWT yang memberi keringanan pada orang sakit dan yang berada dalam perjalanan itu. Mungkin saja ada kendala lain yang tidak tersadari atau tidak dirasakan oleh manusia.”

Meski demikian, Quthb menyinggung kekeliruan sejumlah fuqaha yang mensyaratkan kondisi tertentu yang membolehkan seseorang berbuka di waktu berpuasa dan sakit maupun dalam perjalanan. Ia mengatakan,

“Agama ini tidak menggiring manusia dengan belenggu agar ia melakukan ketaatan, tapi menggiring mereka dengan ketakwaan.”


Hubungan Shaum dengan Al Qur’an

Bagaiman ikatan dan korelasi antara Shaum dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al Qur’an), yakni Ramadhan? Quthb mengatakan;

“AL Qur’an adalah kitab umat ini yang abadi, yangmengeluarkan manusia dari kegelapan  pada cahaya, lalu membentuk umat ini sebagai umat yang baru, menggantinya dari ketakutan pada keamanan, meneguhkan umat ini di atas bumi, dianugaerahi ragam pilaryang dapat memantapkannya sebagai umat, padahal sebelumnya mereka bukan apa-apa di bumi ini. Tanpa pilar-pilar itu, takada artinya ummat itu, dan mereka tidak akan memiliki kedudukan di muka bumi, terlebih di langit. Maka bersyukurlah kepada Allah SWT atas nikmat Al Qur’an Karim ini, dengan menyambut melakukan Shaum di bulan saat diturunkannya.”

Ia lalu mengatakan,

“Jika Al Qur’an merupakan anugerah bagi umat ini sekaligus pilar yang dapat menyangga keberadaanya, maka Ramadhan adalah awal kelahiran pilar itu. Sekaligus awal kelahiran seorang muslim yang kelak bisa memikul pilar-pilar tersebut.”

Singkatnya, seorang Mukmin harus hidup di bulan Ramadhan, antara perasaan syukur kepada Allah SWT atas petunjuknya dengan melaksanakan perintahnya, mempersiapkan jiwanya untuk memiliki kesempurnaan duniawi, dan melakukan ibadah Shaum yang benar dan diterima di sisi-Nya. ***

 

 



[1] Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429  H, 11 September 2008 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar