Mereka yang Terkabulkan Permintaanya Melalui I’tikaf [1]
Oleh Sulthan Hadi
(Hal-5) “Diantara orang-orang yang takut kepada Allah ada yang duduk di
keheningan malam, menengadahkan kepalanya dan mengangkat tangannya seperti
pengemis. Itulah wajah kerendahan dan kepasrahan dan yang paling nyata … dengan
begitu doa akan diijabah.”
(Imam Ibnu Raja Al Hambali)
Kapan Lagi Merasakan Suasana ‘Berdua’ dengan Allah?
(Hal-6) Sesungguhnya Allah SWT menjadikan sebagian hari atau malam lebih utama
dari hari atau malam yang lain. Dan pada momen-momen berharga itu, tidaklah
Allah membiarkannya berlalu kecuali kita diperintahkan melakukan
ketaatan-ketaatan tertentu.
Di sana Allah menebar rahmat dan kelembutan-Nya, serta hembusan hawa semerbak untuk hamba-hamba-Nya. Berbahagialah orang-orang yang memanfaagkan bulan,hari, malam atau saat-saat yang istimewa itu, dengan melakukan taqarub kepada pencita-Nya, sehingga ia mendapatkan rahmat dan kelembutan-Nya, serta terpaan aroma wangi yang semerbak; kebahagiaan yang memberinya rasa aman dan keterbebasan dari api neraka, dan dari segala macam malapetaka yang menyertai neraka itu. Hingga, ketika datang pada hari kiamat kelak, meski datang dengan derajat yang berbeda-beda, tetapi mereka semua adalah penduduk surga.
Ibnu Qayyim berkata,
“Para pencari Akhirat itu terbagi menjadi dua bagian; di (Hal-7) antara mereka ada yang beramal untuk mendapat pahala dan ganjaran; dan
di antara mereka ada yang beramal untuk mendapatkan kedudukan dan derajat,
mereka saling berlomba mendapatan kedudukan dan posisi di sisi Allah SWT,
salingmelampaui kedekatan dari-Nya.”
Di saat-saat yang istimewa itu, orang yang sanggup melakukan amal shalih
adalah orang yang dilapangkan dadanya untuk saling berlomba dan saling
‘mengalahkan’, demi mendapatkan kedudukan dan derajat paling tinggi. Dan sarana
perlombaan itu, seperti yang diungkapkan Ibnu Rajab,
“Menyendiri (bersemedi) yang disyariatkan untuk umat ini adalah I’tikaf.
Khususnya di bulan Ramadhan. Lebih khusus lagi di sepuluh terakhir bulan
tersebut, seperti yang dilakukan Nabi SAW. Orang yang beri’tikaf sudah
mengkhususkan dirinya untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan berdzikir
mengingat-Nya. Dia memutus dirinya dari segala kesibukan duniawi, memusatkan
hatinya dan menghadapkannya kepada Rabbnya dengan melakukan apa saja yang bisa
mendekatkan kepada-Nya. Maka makna hakikat I’tikaf adalah, ‘Memutus segala
hubungan untuk dapat berkhidmat kepada Sang Pencipta.’”
Allah SWT telah mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya banyak sekali
bentuk ketaatan, yang melibatkan seluruh anggota tubuh dan hatinya, agar mereka
menyibukkan diri dalam beribadah kepada-Nya. Di antara yang paling jelas dan
besar kedudukannya adalah sunnah yang dilakukan seseorang dengan menyendiri
bersama Rabb-Nya, tunduk kepada-Nya, bermunajat sambil mengakui
kesalahan-kesalahannya.
Abu Hurairah meriwayatkan,
“Adalah Rasulullah SAW selalu melakukan I’tikaf di setiap Ramadhan
selama sepuluh hari. Pada tahun di mana beliau diwafatkan, beliau beri’tikaf
selama dua puluh hari.”
Rasulullah selalu menyemangati umatnya untuk melakukan ibadah ini,
meskipun beliau sangat sibuk menyampaikan dakwah, mendidik dan mengajar, serta
berjihad di medan perang. Beliau mewariskan kebaikan ini kepada orang-orang
yang senantiasa berdiri di jalannya, mengikuti manhajnya, sebagai pelajaran
penting dalam menjalin hubungan dengan Allah SWT, membebaskan diri dari
kesibukan-kesibukan dan tanggungjawab duniawi.
Akan tetapi, menyendiri yang tujuan untuk melatih dan mendidik jiwa
tentu (Hal-8) tidak terbatas pada sunnah I’tikaf semata. Sebab para salaf radhiyallahu
anhum juga selalu memotifasi orang yang ingin memperbaiki dirinya, dengan
menyediakan waktu menyendiri untuk berdzikir, tafakur, bermuhasabah dan
sebagainya, yang mereka sebut dengan uzlah. Umar bin Khatab berkata,
“Ambillah bagianmu dari uzlah”
Sedang Masruq berkata,
“sungguh, seseorang itu butuh waktu untuk mengingat-ingat dosa-dosanya,
lalu memohon ampun dari dosa itu.”
Ibnul Jauzi menasehati,
“Alangkah indahnya uzlah itu! Andaikan di dalam uzlah itu tidak ada yang
dilakukan kecuali memikirkanbekal perjanalan yang panjang, dan menyelamatkan
diri dari buruknya pergaulan, maka itu sudah cukup.”
Ia juga mengatakan,
“Aku memberi manfaat untuk diriku sendiri lebih baik bagikudaripada aku
memberi manfaat bagi orang lain sedang aku sendiri dalam bahaya…. Bersabarlah….
Bersabarlah karena harus melakukan uzlah, sebab jika engkau menyendiri bersama
Pelindungmu, Dia membukakan pintu bagimu untuk mengenal-Nya.”
I’tikaf adalah Ruang dan Saat yang Tepat untuk Menata Hati
Salah satu hal yang bisa membantu kita memperbaiki hati dan
menyembunyikan amal adalah dengan menyendiri, sesuai yang disyariatkan Islam.
Seorang hamba seharusnya menyediakan waktu dan tempat untuk dirinya bersama
Allah, berdzikir kepada_-Nya, menghitung dosa-dosanya, melakukan instropeksi,
menata hatinya, serta meminta ampun kepada Rabb-Nya. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Seorang hamba harus punya waktu menyendiri dalam doanya, dzikirnya,
shalatnya, tafakurnya dan muhasabahnya.”
Thawus mengatakan,
“Sebaik-baik peraduan seorang laki-laki adalah rumahnya, di sana ia
membatasi pandangan dan lidahnya. Jika seseorang ingin mempraktekkan ilmu dan
amalnya,maka hendaklah ia menyendiri di satutempat yang terjaga dari keramaian
dan orang banyak.”
Ungkapan ini memang benar, dan karena itu Ibnu Taimiyah berkata,
“Untuk itulah maka I’tikaf disyariatkan; agar bisa memutus hubungan dan
interaksi dengan dunia luar,
kesibukan-kesibukan duniawi, hingga hati menjadi jernih dan terdidik. Bukan
menyendiri ala sufi di gua-gua, atau lembah-lembah yang mengasingkan manusia
dari masyarakat dan masjid, dari perkumpulan dan jamaah, dari mengajar manusia
dan mengingkari kemungkaran… sama sekali bukan, melainkan menyendiri beberapa
saat yang dilakukan di rumah atau menyendiri di rumah Allah untuk (Hal-9) melakukan instropeksi.”
Menyendiri itu penting. Sebab, orang yang mengingat Allah dalam
kesendiriannya lalu meleleh air matanya, adalah salah satu dari tujuh golongan
yang akan mendapatka naungan Allah, di hari yang tiada naungan kecuali
naungan-Nya.
Jika ingin mencoba maka lakukanlah di sebuah kamar di rumah kita, atau
di satu ruang di kantor kita, beribadahlah kepada Allah dan renungkan dosa-dosa
kita, evaluasi segala kesalahan kita, lakukan instropeksi dan mintalah ampun
kepada Allah niscaya kita akan mendapatkan pengaruh. Berkhalwat adalah
permasalahan penting dalam rangka menata dan meluruskan hati, sebab kata ulama,
“Orang yang kehilangan kenikmatan beribadah akan kehilangan kekhusuan
dan kenikmatannya bersama Allah, dia akan menjadi manusia yang liar, hilang
bukti-bukti keimanannya. Siapa yang kehilangan kenikmatan ibadahnya ketika
bersama orang banyak, tapi ia mendapatinya ketika sendiri, dia telah menjadi
orang benar dan jujur tetapi masih lemah. Siapa yang mendapati kenikmatan itu
ketika bersama orang banyak, tetapi tidak menemukannya ketika sendiri, ia
adalah orang yang mengalami gangguan di dalam dirinya, sebab orang yang tidak
bisa khusu’ kecuali bersama orang banyak, dan ketika sendiri kekhusuan itu
hilang maka ia menderita sakit.
Orang yang tida mendapatkannya di tengah manusia dan ketika sendiri, dia
adalah yang mati dan terusir. Sedang orang yang mendapatkannya ketika bersama
manusia dan sendiri, dialah orang yang dapat merasakan manisnya iman, kekhusuan
dan rasa takut kepada Allah, dialah sang pencintayang benar dan kuat, dan
semoga kita bisa mendapatkan itu. Siapa yang keadaannya demikian ketika menyendiri,
tidak ada tambahan yang didapatkan kecuali kenikmatan iman.”
I’tikaf adalah Tebusan untuk Mengejar dan Menutupi Kekurangan
Meski kita tahu bahwa setiap waktu di bulan Ramadhan adalah saat-saat
yang utama dan mahal, namun tidak setiap hari kita mampu optimal dalam
beribadah. ada kala, di satu hari kita tidak sempat membaca Al Qur'an. Ada
kala, di satu malam kita tidak punya waktu untuk ikut merasakan nikmatnya
shalat tarawih. Ada hari-hari kita yang sangat minim dalam amal, mungkin karena
kesibukan, karena pekerjaan, karena tugas, karena sakit, dan banyak sebab yang
lain, sehingga target dan planning yang sudah kita rencanakan di awal Ramadhan
menjadi tidak terpenuhi. Kita merasakan kekurangan yang banyak dari yang
seharusnya kita capai. Merasa jauh tertinggal dari orang lain.
Di sinilah kesempatan kita menambal hari-hari kita bersama Ramadhan yang
mungkin terkadang berlubang. Dengan I’tikaf kita menambah yang kurang,
mengganti yang tertinggal, agar Ramadhan tetap memproses kita menjadi
orang-orang yang bertakwa. Memperbaiki yang kurang adalah tradisi ibadah yang
selalu dilakukan Rasulullah untuk menghormati kesempatan berharga yang
terlewat. Umar bin Khatab meriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwa beliau
bersabda,
“Siapa yang tertinggal melakukan dzikirnya karena tertidur atausesuatu
darinya, lalu ia membacanya di antara sha- (Hal-10) lat Subuh dan shalat Zhuhur, dicatatkan baginya (pahala) seperti ia
membacanya di waktu malam.”
Ibnu Qayyim menceritakan bahwa di antara sebab Rasulullah memperbanyak
puasa di bulan Sya’ban adalah karena beliau berpuasa 3 hari setiap bulan.
Mungkin karena suatu kesibukan seperti dalam perjalanan, peperangan atau karena
sakit, lalu ada beberapa bulan yang terlewatkan. Beliau kemudian mengumpulkan
puasa-puasanya yang terlewatkan itu agar tetap
bisa melakukannya sebelum puasa Ramadhan tiba.
Kita pun tahu, bahwa Rasulullah SAW juga pernah melakukan I’tikaf di
bulan Syawal untuk mengganti I’tikaf yang tak beliau kerjakan di bulan Ramadhan
karena sesuatu hal.
I’tikaf adalah sarana yang nyata, yang bisa membantu kita memaksimalkan
yang minim dan menambah yang kurang. Dan yang lebih penting tentunya, kita
tidak keluar dari Ramadhan ini tanpa perubahan, tanpa ada pengurangan atau
pengampunan dosa. Sebab orang yang demikian, kata Rasulullah, termasuk
orang-orang yang celaka dan merugi.
Kuatkan Doa, karena di Sinilah Allah Mengijabah Doa-doa kita
Tak ada
seorang mukmin yang tidak tahu bahwa yang memberi manfaat dan mudharat itu
hanya Allah SWT, dan bahwasanya Dialah yang memberi atau menolak siapa saja
yang dikehendakinya, Dia menganugerahi rezeki kepada siapa saja yang Dia
kehendaki dari arah arah yang tak terduga, bahwasanya segala perbendaharaan ada
di tangan-Nya.
Jika Dia
menginginkan manfaat kepada seorang hamba tak akan ada yang sanggup
menghalangi-Nya meskipun seisi bumi bekerjasama untuk melakukannya, begitu juga
sebaliknya. Tak ada seorang mukmin yang tidak mengimani ini, karena orang yang
ragu terhadap hal itu, dia tidak termasuk orang yang beriman. Allah SWT
berfirman;
“Jika Allah
menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.
Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak
kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus [ ]: 107)
Tidak ada
yang mendengarkan doa orang yang tenggelam di dasar laut kecuali Allah, tidak
ada yang mendengarkan rintihan orang yang sujud dalam kesendiriannya kecuali
Dia, tidak ada yang mampu mendengar bisikan hati orang-orang yang terzalimi
kecuali Allah. Dia-lah yang mengijabah doa-doa orang yang dalam kesulitan dan
membebaskannya dari kesulitannya. Dia berfirman;
“Atau
siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia)
sebagai khalifah di bumi. Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain?) Amat
sedikitlah kamu mengingati- (Nya).” (QS. An Naml [ ]: 62)
Orang yang
beri’tikaf sedang berada di malam-malam istimewa: malam-malam yang dibesarkan
semua ibadah, keburukan ditinggalkan, dan (Hal-11) derajat ditinggikan. Masuk akalkah, jika dia
menghabiskan malam-malam itu dengan perbuatan sia-sia dan kalimat-kalimat yang
kotor sedang Rabb semesta alam sedang turun untuk memenuhi kebutuhan hamba-Nya.
Dia mengamati orang-orang yang shalat di mihrabnya masing-masing, tunduk dan
khusu’, meminta ampun dan berdoa dengan ikhlas, berulang-ulang menyebut
kesulitannya, meminta, “Ya Rabb... ya Rabb...”
Hati-hati
mereka menjadi lembut karena mendengarkan Al Qur’an, jiwa mereka rindu bertemu
dengan Tuhannya yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui, matanya meleleh karena
takut kepada Ar Rahman.
Ini adalah
kesempatan emas. Saat-saat keberuntungan. Malam-malam itu kebutuhan dipenuhi,
maka berdoalah. Tetapi menjadi lebih mulia, Allah pasti tidak akan
menyia-nyiakan orang yang meminta kepada-Nya,
“Dan Rabbmu
telah berfirman, ‘Mintalah kepada-Ku niscaya akan Ku kabulkan untuk mu.’” (QS.
Ghafir [ ]: 60).
Apalagi,
bahwa di sepuluh hari terakhir itu terdapat malam yang memiliki keutamaan lebih
baik dari seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan Rasulullah SAW melakukan
I’tikaf agar beliau bisa mendapatkan keutamaan itu. Bahkan beliau pernah
melakukan I’tikaf di sepuluh hari pertama, lalu sepuluh hari kedua, tetapi
kemudian beliau berkata kepada para sahabat sehingga mereka mendekat. Beliau
bersabda,
“Aku
telahberi’tikaf di sepuluh hari pertama untuk mendapat malam tersebut,lalu
beri’tikaf di sepuluh hari kedua, tetapi kemudian aku didatangi dan dikatakan
kepadaku, “Sesungguhnya ia( malam lailatul qadar) ada di sepuluh hari terakhir.
Maka siapa di antara kalian yang suka melakukan i’tikaf hendaklah ia
beri’tikaf.”
Semoga dalam
I’tikaf kita, kita menemukan saat-saat yang mustajabah itu. Persis pula ketika
Allah turun ke Langit dunia, seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
“Rabb kami
tabaraka wa ta’ala senantiaa turun setiap malam ke langit dunia di sisa
sepertiga malam terakhir, lalu, Dia berfirman, “Siapa yang berdoa kepadaku
pasti aku jawab untuknya! Siapa yang
meminta pasti Aku beri! Siapa yang meminta ampun pasti aku ampuni! (HR.
Bukhari dan Muslim)
Banyak orang
yang telah merasakan betapa dekat dan cepat Allah mengabulkan doa-doa yang
dipanjatkan di saat-saat itu. Dan di
edisi ini, secara khusus sengaja Tarbawi mengulas sepenggal cerita dari
orang-orang yang mendapatkan karunia Allah setelah mereka melakukan I’tikaf.
Tentu tidak ada maksud apa-apa, kecuali bahwa kita memang tetap harus belajar
dari pengalaman orang lain.saling berbagi,agar ada pembelajaran dan perbaikan
kualitas dalam hidup kita.
Kita pun
mungkin mempunyakisah sendiri-sendiri tentang pengalamanI’tikaf dan karunia
yang didapatkan, dan bahkan bisa jadi jauh lebih menarik dari apa yang
diceritakan. Semoga semua itu semakin memotifasi kita untuk lebih rajin dan
lebih tekun melakukan I’tikaf, terlebih ketika Ramadhan semakin jauh bergerak
hendak meninggalkan kita. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar