Jumat, 01 Maret 2024

Mereka yang Terkabulkan Permintaanya Melalui I’tikaf

 

Mereka yang Terkabulkan Permintaanya Melalui I’tikaf [1]

Oleh Sulthan Hadi   

(Hal-5) “Diantara orang-orang yang takut kepada Allah ada yang duduk di keheningan malam, menengadahkan kepalanya dan mengangkat tangannya seperti pengemis. Itulah wajah kerendahan dan kepasrahan dan yang paling nyata … dengan begitu doa akan diijabah.”

(Imam Ibnu Raja Al Hambali)

Kapan Lagi Merasakan Suasana ‘Berdua’ dengan Allah?

(Hal-6) Sesungguhnya Allah SWT menjadikan sebagian hari atau malam lebih utama dari hari atau malam yang lain. Dan pada momen-momen berharga itu, tidaklah Allah membiarkannya berlalu kecuali kita diperintahkan melakukan ketaatan-ketaatan tertentu.



Di sana Allah menebar rahmat dan kelembutan-Nya, serta hembusan hawa semerbak untuk hamba-hamba-Nya. Berbahagialah orang-orang yang memanfaagkan bulan,hari, malam atau saat-saat yang istimewa itu, dengan melakukan taqarub kepada pencita-Nya, sehingga ia mendapatkan rahmat dan kelembutan-Nya, serta terpaan aroma wangi yang semerbak; kebahagiaan yang memberinya rasa aman dan keterbebasan dari api neraka, dan dari segala macam malapetaka yang menyertai neraka itu. Hingga, ketika datang pada hari kiamat kelak, meski datang dengan derajat yang berbeda-beda, tetapi mereka semua adalah penduduk surga.

Ibnu Qayyim berkata,

“Para pencari Akhirat itu terbagi menjadi dua bagian; di (Hal-7) antara mereka ada yang beramal untuk mendapat pahala dan ganjaran; dan di antara mereka ada yang beramal untuk mendapatkan kedudukan dan derajat, mereka saling berlomba mendapatan kedudukan dan posisi di sisi Allah SWT, salingmelampaui kedekatan dari-Nya.”

Di saat-saat yang istimewa itu, orang yang sanggup melakukan amal shalih adalah orang yang dilapangkan dadanya untuk saling berlomba dan saling ‘mengalahkan’, demi mendapatkan kedudukan dan derajat paling tinggi. Dan sarana perlombaan itu, seperti yang diungkapkan Ibnu Rajab,

“Menyendiri (bersemedi) yang disyariatkan untuk umat ini adalah I’tikaf. Khususnya di bulan Ramadhan. Lebih khusus lagi di sepuluh terakhir bulan tersebut, seperti yang dilakukan Nabi SAW. Orang yang beri’tikaf sudah mengkhususkan dirinya untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan berdzikir mengingat-Nya. Dia memutus dirinya dari segala kesibukan duniawi, memusatkan hatinya dan menghadapkannya kepada Rabbnya dengan melakukan apa saja yang bisa mendekatkan kepada-Nya. Maka makna hakikat I’tikaf adalah, ‘Memutus segala hubungan untuk dapat berkhidmat kepada Sang Pencipta.’”

Allah SWT telah mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya banyak sekali bentuk ketaatan, yang melibatkan seluruh anggota tubuh dan hatinya, agar mereka menyibukkan diri dalam beribadah kepada-Nya. Di antara yang paling jelas dan besar kedudukannya adalah sunnah yang dilakukan seseorang dengan menyendiri bersama Rabb-Nya, tunduk kepada-Nya, bermunajat sambil mengakui kesalahan-kesalahannya.


Abu Hurairah meriwayatkan,

“Adalah Rasulullah SAW selalu melakukan I’tikaf di setiap Ramadhan selama sepuluh hari. Pada tahun di mana beliau diwafatkan, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.”

Rasulullah selalu menyemangati umatnya untuk melakukan ibadah ini, meskipun beliau sangat sibuk menyampaikan dakwah, mendidik dan mengajar, serta berjihad di medan perang. Beliau mewariskan kebaikan ini kepada orang-orang yang senantiasa berdiri di jalannya, mengikuti manhajnya, sebagai pelajaran penting dalam menjalin hubungan dengan Allah SWT, membebaskan diri dari kesibukan-kesibukan dan tanggungjawab duniawi.

Akan tetapi, menyendiri yang tujuan untuk melatih dan mendidik jiwa tentu (Hal-8) tidak terbatas pada sunnah I’tikaf semata. Sebab para salaf radhiyallahu anhum juga selalu memotifasi orang yang ingin memperbaiki dirinya, dengan menyediakan waktu menyendiri untuk berdzikir, tafakur, bermuhasabah dan sebagainya, yang mereka sebut dengan uzlah. Umar bin Khatab berkata,

“Ambillah bagianmu dari uzlah”

Sedang Masruq berkata,

“sungguh, seseorang itu butuh waktu untuk mengingat-ingat dosa-dosanya, lalu memohon ampun  dari dosa itu.”

Ibnul Jauzi menasehati,

“Alangkah indahnya uzlah itu! Andaikan di dalam uzlah itu tidak ada yang dilakukan kecuali memikirkanbekal perjanalan yang panjang, dan menyelamatkan diri dari buruknya pergaulan, maka itu sudah cukup.”

Ia juga mengatakan,

“Aku memberi manfaat untuk diriku sendiri lebih baik bagikudaripada aku memberi manfaat bagi orang lain sedang aku sendiri dalam bahaya…. Bersabarlah…. Bersabarlah karena harus melakukan uzlah, sebab jika engkau menyendiri bersama Pelindungmu, Dia membukakan pintu bagimu untuk mengenal-Nya.”


I’tikaf adalah Ruang dan Saat yang Tepat untuk Menata Hati

Salah satu hal yang bisa membantu kita memperbaiki hati dan menyembunyikan amal adalah dengan menyendiri, sesuai yang disyariatkan Islam. Seorang hamba seharusnya menyediakan waktu dan tempat untuk dirinya bersama Allah, berdzikir kepada_-Nya, menghitung dosa-dosanya, melakukan instropeksi, menata hatinya, serta meminta ampun kepada Rabb-Nya. Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Seorang hamba harus punya waktu menyendiri dalam doanya, dzikirnya, shalatnya, tafakurnya dan muhasabahnya.”

Thawus mengatakan,

“Sebaik-baik peraduan seorang laki-laki adalah rumahnya, di sana ia membatasi pandangan dan lidahnya. Jika seseorang ingin mempraktekkan ilmu dan amalnya,maka hendaklah ia menyendiri di satutempat yang terjaga dari keramaian dan orang banyak.”

Ungkapan ini memang benar, dan karena itu Ibnu Taimiyah berkata,

“Untuk itulah maka I’tikaf disyariatkan; agar bisa memutus hubungan dan interaksi  dengan dunia luar, kesibukan-kesibukan duniawi, hingga hati menjadi jernih dan terdidik. Bukan menyendiri ala sufi di gua-gua, atau lembah-lembah yang mengasingkan manusia dari masyarakat dan masjid, dari perkumpulan dan jamaah, dari mengajar manusia dan mengingkari kemungkaran… sama sekali bukan, melainkan menyendiri beberapa saat yang dilakukan di rumah atau menyendiri di rumah Allah untuk (Hal-9) melakukan instropeksi.”

Menyendiri itu penting. Sebab, orang yang mengingat Allah dalam kesendiriannya lalu meleleh air matanya, adalah salah satu dari tujuh golongan yang akan mendapatka naungan Allah, di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.

Jika ingin mencoba maka lakukanlah di sebuah kamar di rumah kita, atau di satu ruang di kantor kita, beribadahlah kepada Allah dan renungkan dosa-dosa kita, evaluasi segala kesalahan kita, lakukan instropeksi dan mintalah ampun kepada Allah niscaya kita akan mendapatkan pengaruh. Berkhalwat adalah permasalahan penting dalam rangka menata dan meluruskan hati, sebab kata ulama,

“Orang yang kehilangan kenikmatan beribadah akan kehilangan kekhusuan dan kenikmatannya bersama Allah, dia akan menjadi manusia yang liar, hilang bukti-bukti keimanannya. Siapa yang kehilangan kenikmatan ibadahnya ketika bersama orang banyak, tapi ia mendapatinya ketika sendiri, dia telah menjadi orang benar dan jujur tetapi masih lemah. Siapa yang mendapati kenikmatan itu ketika bersama orang banyak, tetapi tidak menemukannya ketika sendiri, ia adalah orang yang mengalami gangguan di dalam dirinya, sebab orang yang tidak bisa khusu’ kecuali bersama orang banyak, dan ketika sendiri kekhusuan itu hilang maka ia menderita sakit.

Orang yang tida mendapatkannya di tengah manusia dan ketika sendiri, dia adalah yang mati dan terusir. Sedang orang yang mendapatkannya ketika bersama manusia dan sendiri, dialah orang yang dapat merasakan manisnya iman, kekhusuan dan rasa takut kepada Allah, dialah sang pencintayang benar dan kuat, dan semoga kita bisa mendapatkan itu. Siapa yang keadaannya demikian ketika menyendiri, tidak ada tambahan yang didapatkan kecuali kenikmatan iman.”

I’tikaf adalah Tebusan untuk Mengejar dan Menutupi Kekurangan

Meski kita tahu bahwa setiap waktu di bulan Ramadhan adalah saat-saat yang utama dan mahal, namun tidak setiap hari kita mampu optimal dalam beribadah. ada kala, di satu hari kita tidak sempat membaca Al Qur'an. Ada kala, di satu malam kita tidak punya waktu untuk ikut merasakan nikmatnya shalat tarawih. Ada hari-hari kita yang sangat minim dalam amal, mungkin karena kesibukan, karena pekerjaan, karena tugas, karena sakit, dan banyak sebab yang lain, sehingga target dan planning yang sudah kita rencanakan di awal Ramadhan menjadi tidak terpenuhi. Kita merasakan kekurangan yang banyak dari yang seharusnya kita capai. Merasa jauh tertinggal dari orang lain.

Di sinilah kesempatan kita menambal hari-hari kita bersama Ramadhan yang mungkin terkadang berlubang. Dengan I’tikaf kita menambah yang kurang, mengganti yang tertinggal, agar Ramadhan tetap memproses kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Memperbaiki yang kurang adalah tradisi ibadah yang selalu dilakukan Rasulullah untuk menghormati kesempatan berharga yang terlewat. Umar bin Khatab meriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda,

“Siapa yang tertinggal melakukan dzikirnya karena tertidur atausesuatu darinya, lalu ia membacanya di antara sha- (Hal-10) lat Subuh dan shalat Zhuhur, dicatatkan baginya (pahala) seperti ia membacanya di waktu malam.”

Ibnu Qayyim menceritakan bahwa di antara sebab Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban adalah karena beliau berpuasa 3 hari setiap bulan. Mungkin karena suatu kesibukan seperti dalam perjalanan, peperangan atau karena sakit, lalu ada beberapa bulan yang terlewatkan. Beliau kemudian mengumpulkan puasa-puasanya yang terlewatkan itu agar tetap  bisa melakukannya sebelum puasa Ramadhan tiba.

Kita pun tahu, bahwa Rasulullah SAW juga pernah melakukan I’tikaf di bulan Syawal untuk mengganti I’tikaf yang tak beliau kerjakan di bulan Ramadhan karena sesuatu hal.

I’tikaf adalah sarana yang nyata, yang bisa membantu kita memaksimalkan yang minim dan menambah yang kurang. Dan yang lebih penting tentunya, kita tidak keluar dari Ramadhan ini tanpa perubahan, tanpa ada pengurangan atau pengampunan dosa. Sebab orang yang demikian, kata Rasulullah, termasuk orang-orang yang celaka dan merugi.

Kuatkan Doa, karena di Sinilah Allah Mengijabah Doa-doa kita

Tak ada seorang mukmin yang tidak tahu bahwa yang memberi manfaat dan mudharat itu hanya Allah SWT, dan bahwasanya Dialah yang memberi atau menolak siapa saja yang dikehendakinya, Dia menganugerahi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari arah arah yang tak terduga, bahwasanya segala perbendaharaan ada di tangan-Nya.

Jika Dia menginginkan manfaat kepada seorang hamba tak akan ada yang sanggup menghalangi-Nya meskipun seisi bumi bekerjasama untuk melakukannya, begitu juga sebaliknya. Tak ada seorang mukmin yang tidak mengimani ini, karena orang yang ragu terhadap hal itu, dia tidak termasuk orang yang beriman. Allah SWT berfirman;

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak  ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus [ ]: 107)

Tidak ada yang mendengarkan doa orang yang tenggelam di dasar laut kecuali Allah, tidak ada yang mendengarkan rintihan orang yang sujud dalam kesendiriannya kecuali Dia, tidak ada yang mampu mendengar bisikan hati orang-orang yang terzalimi kecuali Allah. Dia-lah yang mengijabah doa-doa orang yang dalam kesulitan dan membebaskannya dari kesulitannya. Dia berfirman;

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi. Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain?) Amat sedikitlah kamu mengingati- (Nya).” (QS. An Naml [ ]: 62)

Orang yang beri’tikaf sedang berada di malam-malam istimewa: malam-malam yang dibesarkan semua ibadah, keburukan ditinggalkan, dan (Hal-11)  derajat ditinggikan. Masuk akalkah, jika dia menghabiskan malam-malam itu dengan perbuatan sia-sia dan kalimat-kalimat yang kotor sedang Rabb semesta alam sedang turun untuk memenuhi kebutuhan hamba-Nya. Dia mengamati orang-orang yang shalat di mihrabnya masing-masing, tunduk dan khusu’, meminta ampun dan berdoa dengan ikhlas, berulang-ulang menyebut kesulitannya, meminta, “Ya Rabb... ya Rabb...”

Hati-hati mereka menjadi lembut karena mendengarkan Al Qur’an, jiwa mereka rindu bertemu dengan Tuhannya yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui, matanya meleleh karena takut kepada Ar Rahman.

Ini adalah kesempatan emas. Saat-saat keberuntungan. Malam-malam itu kebutuhan dipenuhi, maka berdoalah. Tetapi menjadi lebih mulia, Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan orang yang meminta kepada-Nya,

“Dan Rabbmu telah berfirman, ‘Mintalah kepada-Ku niscaya akan Ku kabulkan untuk mu.’” (QS. Ghafir [ ]: 60).

Apalagi, bahwa di sepuluh hari terakhir itu terdapat malam yang memiliki keutamaan lebih baik dari seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan Rasulullah SAW melakukan I’tikaf agar beliau bisa mendapatkan keutamaan itu. Bahkan beliau pernah melakukan I’tikaf di sepuluh hari pertama, lalu sepuluh hari kedua, tetapi kemudian beliau berkata kepada para sahabat sehingga mereka mendekat. Beliau bersabda,

“Aku telahberi’tikaf di sepuluh hari pertama untuk mendapat malam tersebut,lalu beri’tikaf di sepuluh hari kedua, tetapi kemudian aku didatangi dan dikatakan kepadaku, “Sesungguhnya ia( malam lailatul qadar) ada di sepuluh hari terakhir. Maka siapa di antara kalian yang suka melakukan i’tikaf hendaklah ia beri’tikaf.”

Semoga dalam I’tikaf kita, kita menemukan saat-saat yang mustajabah itu. Persis pula ketika Allah turun ke Langit dunia, seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

“Rabb kami tabaraka wa ta’ala senantiaa turun setiap malam ke langit dunia di sisa sepertiga malam terakhir, lalu, Dia berfirman, “Siapa yang berdoa kepadaku pasti aku jawab untuknya!  Siapa yang meminta pasti Aku beri! Siapa yang meminta ampun pasti aku ampuni!                                        (HR. Bukhari dan Muslim)

Banyak orang yang telah merasakan betapa dekat dan cepat Allah mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan  di saat-saat itu. Dan di edisi ini, secara khusus sengaja Tarbawi mengulas sepenggal cerita dari orang-orang yang mendapatkan karunia Allah setelah mereka melakukan I’tikaf. Tentu tidak ada maksud apa-apa, kecuali bahwa kita memang tetap harus belajar dari pengalaman orang lain.saling berbagi,agar ada pembelajaran dan perbaikan kualitas dalam hidup kita.

Kita pun mungkin mempunyakisah sendiri-sendiri tentang pengalamanI’tikaf dan karunia yang didapatkan, dan bahkan bisa jadi jauh lebih menarik dari apa yang diceritakan. Semoga semua itu semakin memotifasi kita untuk lebih rajin dan lebih tekun melakukan I’tikaf, terlebih ketika Ramadhan semakin jauh bergerak hendak meninggalkan kita. ***

 

 



[1] Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430  H, 8 Oktober 2009  M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar