Semoga Allah Mempertemukan Kita di Surga
Barangsiapa yang mengharapkan mati syahid dengan sepenuh hati, maka Allah akan memberikan mati syahid kepadanya, meski ia mati di tempat tidur.

Semoga Allah Mempertemukan Kita di Surga
(Hal-28) Dunia, hanya satu terminal dari seluruh fase kehidupan. Hanya Allah yang tahu, rentang usia seorang manusia. Saya, Khadijah, sebut saja demikian, menikah dengan Muhammad, 3 Oktober 1993.
Muhammad, adalah kakak kelas saya di IPB. Pernikahan
saya, melalui tahap yang biasa dilakukan ikhwan dan akhwat. Saya
tidak pernah mengenal Muhammad sebelumnya. Dan, seperti layaknya pasangan baru,
fase ta’aruf, konflik, dan kematangan pun saya alami.
Meski baru saling kenal, saya rasakan suami saya sangat sayang kepada saya. Seolah tidak seimbang dengan apa yang saya berikan. Dia banyak membantu. Apalagi ketika saya meyelesaikan tugas akhir kuliah. Bisa dikatakan, ia sekretaris pribadi saya.
Selama menikah, suami sering mengingatkan saya tentang kematian, tentang surga, tentang syahid dan sebagainya. Setiap kami bicara tentang sesuatu, ujung-ujungnya bicara tentang kematian dan indahnya surga itu bagaimana.
Baca Juga: Suatu Waktu, Diamlah!
Kalau kita bicara soal nikmatnya materi,
suami mengaitkannya dengan kenikmatan surga yang lebih indah. Bahkan
berulang-ulang dia mengatakan, nanti kita ketemu lagi di surga. Kalau saya
ingat kata-kata itu, itu bukan kata-kata kosong. Bahkan itu mempunyai makna
yang dalam bagi saya.
Hari itu, 16 Januari 1996,
kami ke rumah orang tua di Jakarta. Seolah suami saya mengembalikan saya kepada
orangtua saya. Malam itu juga, suami saya mengatakan harus kembali ke Bogor,
karena harus mengisi diklat besok paginya. Menurutnya, kalau berangkat pagi
dari Jakarta khawatir terlambat.
Mendekati jam 12 malam, saya bangun dari tidur, perut saya sakit, keringat dingin mengucur, rasanya ingin muntah. Saya bilang pada ibu saya, untuk diobati. Saya kira maag saya kambuh.
Saya sempat berpikir suami saya di sana sudah istirahat, sudah senang,
sudah sampai, karena berangkat sejak maghrib. Saya juga sempat berharap kalau
ada suami saya, mungkin saya dipijitin atau bagaimana. Tapi rupanya saat itulah
terjadi peristiwa tragis menimpa suami saya.
Jam tiga malam, saya
terbangun. Kemudian saya shalat. Entah kenapa, meskipun badan kurang sehat,
saya ingin ngaji. Lama sekali menghabiskan lembar demi lembar mushaf kecil
saya. Waktu subuh rasanya lama sekali. Badan saya sangat lelah dan akhirnya
saya tertidur hingga subuh.
Pagi harinya, saya mendapat berita, dari seorang akhwat di Jakarta, bahwa suami saya dalam kondisi kritis. Karena angkutan yang ditumpanginya hancur ditabrak Tronton di jalan raya Parung.
Baca juga: Mempertanyakan Pertanyaan
Sebenarnya, waktu itu suami saya sudah meninggal. Mungkin sengaja dibuat
begitu biar saya tidak kaget. Namun tak lama kemudian, ada seorang ikhwah
Jakarta yang memberitahukan beliau sudah meninggal. Inna lillahi wa (Hal-29) inna ilaihi raji’un.
Entah kenapa, mendengar berita itu hati saya tetap tegar. Saya sendiri tidak menyangka bisa setegar itu. Saya berusaha membangun keyakinan suami saya mati syahid. Saya bisa menasehati keluarga dan langsung ke Bogor. Sambil menangis, saya menasehati ibu, bahwa dia bukan milik kita.
Kita semua bukan milik kita sendiri, tapi
milik Allah. Alhamdulillah Allah memberikan kekuatan. Kepada orang-orang yang
bertakziah waktu itu, saya mengatakan,”do’akan supaya dia mati syahid, ...
doakan dia supaya syahid.” Sekali lagi ketabahan saya waktu itu semata datang
dari Allah, kalau tidak mungkin saya sudah pingsan.
Menjelang kematiannya yang
amat mendadak, saya tidak merasakan firasat atau tanda-tanda khusus. Hanya,
seminggu sebelum suami meninggal, anak saya sering menangis, meski dia tidak
apa-apa. Mungkin, karena merasa akan ditinggal oleh bapaknya. Entahlah.
Seperti tuntunan Islam, segala hutang orang yang meninggal harus ditunaikan. Meski tidak ada catatannya, tanpa disadari, saya ingat sekali hutang-hutang suami. Saya memang sering bercanda dengan suami,”Mas, kalau ada hutang catat. Nanti kalau Mas meninggal duluan saya tahu saya harus bayar berapa.”
Canda itu memang sering
muncul ketika kami bicara masalah kematian. “Kalau Mas meninggal duluan, saya
yang mandiin. Kalau mas meninggal duluan saya kembali lagi ke ummi, jadi
anaknya lagi.” Semua itu akhirnya jadi kenyataan.
Baca juga: Yakinlah Orang Lain Ada
Beberapa hari setelah
musibah itu, saya harus kembali ke rumah kontrakan di Bogor untuk mengurus surat-surat. Saat saya buka
pintunya, tercium bau harum sekali. Hampir seluruh ruangan rumah itu wangi. Saya
sempat periksa barangkali sumber wangi itu ada pada buah-buahan, atau yang
lainnya. Tapi, tidak ada. Ruangan yang tercium paling wangi, tempat tidur suami
dan tempat yang biasa ia gunakan bekerja.
Beberapa waktu kemudian,
dalam tidur, saya mimpi bersalaman dengan dia. Saya cium tangannya. Saat itu
dia mendo’akan saya: “Zawadakillahu taqwa waghafara dzanbaki, wa yassara
laki haitsu ma kunti.” (Semoga Allah menambah ketaqwaan padamu, mengampuni
dosamu, dan mempermudah segala urusanmu di mana saja). Sambil menangis,
saya balas dengan do’a itu dan do’a serupa.
Semasa suami masih hidup,
do’a itu memang biasa kami ucapkan ketika kami akan berpisah. Saya biasa
mencium tangan suami bila ia ingin keluar rumah. Ketika kami saling mengingat,
kami saling mendo’akan.
Banyak do’a-do’a yang
diajarkan suami saya. Ketika saya sakit, suami saya menulis do’a di White
board. Sampai sekarang saya selalu baca do’a itu. Anak saya juga hapal.
Saya banyak belajar darinya. Dia guru saya yang paling baik. Dia juga bisa
menjelaskan bagaimana indahnya surga. Bagaiman indahnya syahid.
Ketika suami meninggal, saya sedang hamil satu bulan, anak yang kedua. Namanya sudah dipersiapkan suami saya, Ahmad Qassam Amrul Haq, kalau lahir laki-laki. Katanya Qassam itu diambil dari nama Izzudin al Qassam.
Izzudidinnya sudah sering dipakai, dia ingin
menggunakan nama Qassam-nya. Lalu, Amrul Haq itu memang nama yang paling dia
sukai. Kalau dia menulis di beberapa media, nama samarannya Abu Amrul Haq.
Baca Juga: Berawal Dari Mata
Banyak kesan baik dan kenangan indah yang saya alami bersama suami. Menjelang (Hal-30) kematiannya, saya pernah berta’ziyah ke rumah salah seorang teman yang meninggal. Sepulang suami saya dari kerja, saya pernah tanya pada suami,”Mas kepikiran ngga’ tentang mati?” Kami saling menatap.
Suami saya hanya bilang,”Memang ya, tidak ada yang tahu kapan
kematian itu.” Suami saya selalu mengatakan,”saya hanya ingin mati di medan
jihad langsung.” Waktu itu lagi hangat-hangatnya jihad di Bosnia. Saya berpikir
suami saya akan ke Bosnia, kali, untuk syahid di sana. Saya pun terdiam.
Waktu saya wisuda, 13
Januari 1996 saya sempat bertanya pada suami, “Mas nanti saya kerja di mana?”
suami saya diam sejenak. Akhirnya suami saya mengatakan, supaya wanita itu
memelihara jati diri. Saya bertanya,”Maksudnya apa?” “Beribadahlah, bekerja membantu
suami saya, dan bermasyarakat.” Saya berpikir bahwa saya harus mengurus rumah
tangga dengan baik. Tidak usah memikirkan pekerjaan.
Alhamdulillah,
setelah suami saya meninggal, masya Allah, saya menerima
rezeki banyak sekali, lebih dari tiga belas juta. Saya tidak mengira, sampai
bingung, mau diapakan uang sebanyak ini.
Sekarang, setiap bulan
saya hidup dari pensiun pegawai negeri suami. Meskipun sedikit, tapi saya
merasa cukup. Dan rezeki dari Allah tetap saja mengalir.Allah memang memberikan
rezeki kepada siapa saja dan tidak tergantung kepada siapa saja. Katakanlah, meski
suami saya tidak ada, tapi rezeki Allah itu tidak akan pernah habis.
Insya Allah saya optimis dengan anak-anak saya. Saya ingat sabda Nabi,”Aku dan pengasuh anak yatim seperti ini,”sambil mengangkat dua jari tangnnya. Saya bukan pengasuh anak yatim, tapi ibunya anak yatim.
Baca Juga: Bukan Obat Yang Mujarab
Meski masih kecil-kecil, saya sudah merasakan
kedewasaan mereka. Kondisi yang mereka alami, membuat mereka lebih cepat
mengerti tentang kematian, tentang neraka, tentang surga, bahkan tentang
syahid. Rezeki yang saya terima, tak mustahil karena keberkahan mereka. (Seperti yang disampaikan kepada Tarbawi).
Wallahu a’lam bishawab.
Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar