Jangan Serpihkan Keutuhan Islam

Jangan Serpihkan Keutuhan Islam
(Hal-31) “Sulit
untuk menolaknya, Bang. Di daerah saya, memang tak banyak pemuda yang mau
terlibat dalam kegiatan seperti itu,” ucap Rudi kepada Bang Idris. Ahad lalu,
Rudi memang menjadi Ketua Panitia Pelayanan Kesehatan Pos Keadilan di
lingkungannya. Karenanya, pekan kemarin tak hadir pengajian.
“Assalamu’alaikum.” Belum
sempat Bang Idris menimpali ucapan Rudi, terdengar suara Agus di luar. Rudi
membuka pintu. Rupanya, Danu dan Iwan juga datang bersama Agus. “Ayo minum
tehnya.” “Ma kasih Bang.” “Rud, gimana tanggapan masyarakat
tentang Pelayanan Kesehatan minggu lalu?” tanya Agus sembari menuang teh.
“Alhamdulillah, mereka cukup antusias. Tak sedikit yang terheran-heran, di zaman sulit seperti ini, masih ada yang mau bersusah payah memikirkan kepentingan orang lain.” “Ada, nggak yang menuduh acara itu sebagai aksi politik berkedok sosial?” timpal Iwan.
“Ada juga sih, satu
dua orang yang agak sinis. Biasa, kita dianggap mempolitisir masyarakat. Namun,
mayoritas warga menyambut baik.” “Bagaimana pun, kita harus hati-hati,” sela
Bang Idris yang sedari mendengarkan “diskusi” anak-anak muridnya.
Lalu, lanjutnya,”Menjelang
pemilu, yang namanya money politic, betapa pun dicela dan dicaci, masih
terus bergentayangan. Apalagi dalam suasana krisis. Seringkali uang lebih punya
daya ketimbang kata-kata, bahkan dari kata hati sekalipun. Akibatnya, banyak
yang main pukul rata. Setiap aksi sosial yang dilakukan Partai selalu dicap money
politic.”
Baca Juga: Terus Terang Tak Selalu Terang Terus
”Assalamu’alaikum.” “Itu Mas Danang datang. “ Mas Danang, lelaki kalem asal Jawa Tengah dan pegawai negeri itu memang lebih tua dibanding para teman-teman pengajiannya yang masih mahasiswa.
Tak heran bila sesama murid Bang Idris memanggilnya “Mas”. “Kalau di
tempat saya, ada petugas PPS yang nilep uang bantuan Pemda. Padahal harusnya
dibagikan kepada para Gastarlih,” kata Danu.
“Baru jadi petugas PPS saja sudah begitu. Gimana kalau diberi jabatan yang lebih tinggi?” sahut Mas Danang. “ Tanggapan orang tentang kegiatan sosial memang beragam. Utamanya saat pemilu tinggal menghitung hari.
Logika sosial dan politik yang dikotori
oleh penjahat politik menjadi hambatan besar bagi sosialisasi paradigma yang
benar ‘bagi Islam’, segala aspek kehidupan adalah kesatuan,” ujar bang Idris
tenang.
Semua termenung. Mencerna
nasihat Bang Idris, guru sekaligus “ayah” anak-anak muda itu memang cerdas. Ia lulusan
pesantren terkenal di Jawa Timur. Bahasa Arab dan Inggrisnya Fasih.
“Insya Allah, pasca pemilu
nanti bisa dibuktikan, siapa yang aksi sosialnya tak lebih dari tunggangan
politik, dan siapa yang meyakininya bagian dari ajaran agama yang utuh,”
sambung Bang Idris dengan ekspresi serius.
Baca Juga: Sedikit Tidur Itu Lebih Baik
“Benar Bang. Agaknya,
harus ada proses yang bisa meyakinkan, siapa yang benar-benar tulus
memperjuangkan rakyat dan siapa yang “Ngobyekin” rakyat untuk
kepentingan politik sesaat,” kata Rudi.
“kau benar. Dan perjalanan
waktu adalah bagian dari proses itu.” “Betul apalagi, setidaknya, masyarakat
tahu bahwa kita biasa melakukan bazar, pembagian sembako, pengobatan gratis,
dan aksi sosial lainnya, jauh sebelum era multi partai ini termimpikan.”
“O ya, sudah jam setengah
delapan nih. Ayo kita baca Al Qur’an.
Wallahu a’lam bishawab.
Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar