Bercermin Kepada Salafusshalih

Bercermin Kepada Salafusshalih
(Hal 13) Mereka Menjaga Niat
Sahabat-sahabat Rasulullah adalah generasi terbaik
ummat ini. Mereka terus belajar dari Rasulullah apa-apa saja yang harus
dikerjakan dan apa saja yang mesti ditinggalkan. Soal menjaga lurusnya niat di
dalam hidup dan perjuangan mereka, tak bosan-bosan para sahabat itu berguru
kepada Rasulullah. Seperti dikisahkan oleh Umamah radhiallahu ’anhu, ada
seorang laki-laki yang menemui Rasulullah dan bertanya,
”Wahai Rasulullah apakah
pendapat engkau tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala
dan popularitas diri. Kelak, apa yang akan ia dapat di akhirat?” Rasulullah
menjawab,”Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya
sampai tiga kali. Tetapi Rasulullah tetap menjawabnya,”Ia tidak menerima
apa-apa!” kemudian beliau bersabda,”Sesusungguhnya Allah tidak menerima sesuatu
amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang mengharap ridha-Nya.”
(HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Dalam kesempatan lain Abu Said Al
Khudri telah mengambil pelajaran berharga dari Rasulullah pada saat haji wada’.
”Tiga perkara yang
menjadikan seorang Mukmin tidak akan menjadi penghianat: Ikhlas beramal karena
Allah, memberikan nasihat yang baik kepada pemimpin kaum Muslimin, dan
senantiasa komitmen terhadap jama’ah.”
(HR Ibnu Hibban)
Seni menjaga lurusnya niat tidaklah mudah. Karena seperti yang dikatakan
oleh Fudhail bin ’Iyadh,
”Meninggalkan amal
karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirik. Maka ikhlas
adalah apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya.”
Baca Juga: LuruskanNiat Rapatkan Barisan
Urgensi niat sangatlah mendasar bagi kehidupan dan perjuangan setiap
Mukmin. Dengan segala amal akan diukur. Inilah yang didengar dan diamalkan Umar
bin Khatab dari Rasulullah,
”Bahwa amal itu
tergantung niatnya.”
Maka, tak berlebihan kalau Imam Syafi’i menyebut hadits Rasulullah ini
adalah sepertiga dari seluruh ilmu.
Niat yang baik sering mengubah sesuatu yang mubah menjadi ibadah. Wajar
bila perhatian para salafusshalih kepada niat begitu besar. Dengarkanlah apa
yang dikatakan Yahya bin Katsir,
”Pelajarilah niat dalam
beramal, karena niat itu lebih cepat sampai kepada Allah dari pada amal yang
engkau lakukan itu.”
Meski upaya menjaga lurusnya niat telah diupayakan, namun mereka tak merasa
puas dan cukup begitu saja. Iman yang benar telah menjadikan mereka memadukan
antara rasa pengharapan dan kecemasan. Karenanya mereka masih menambahinya
dengan istighfar. Imam Hasan Al Bashri berkata:
”Perbanyaklah istighfar
di rumahmu, tempat kerja, di pertemuan-pertemuan dan di mana pun dirimu berada saat
itu. Sebab engkau tidak akan tahu di tempat manakah turunnya maghfirah Rabb-mu.”
Nah bagaimana dengan kita?
Baca Juga: Memahami‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Mereka
Menjaga Barisan
Sebuah
masyarakat Muslim yang utuh menjadi dambaan setiap sahabat. Tindak tanduk
ucapan mereka bisa menjadi cermin bagi ucapan di atas. Apalagi sebuah jama’ah
dakwah. Ibnu Mas’ud, misalnya pernah memberi nasehat:
”Wahai sekalian manusia, hendaklah kalian selalu taat
dengan jama’ah kaum Muslimin. Karena ia sesungguhnya adalah tali Allah yang
kokoh yang diperintahkan untuk dipegang. Sesungguhnya apa yang tidak engkau
sukai dalam kebersamaan di dalam jama’ah itu, adalah lebih baik dari apa yang
engkau sukai dalam keadaan terpecah belah.”
Hal serupa
juga dilakukan para sahabat lainnya. Para sahabat lebih suka memutuskan masalah
dengan syura, agar barisan masyarakat Muslim tetap rapat. Suatu hari Umar
berpidato:
”Sesungguhnya Allah mengumpulkan untuk Islam ini
orang-orang yang layak (Hal 14) untuk memeluknya. Lalu Allah menyatukan
hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Seorang Muslim dengan Muslim yang
lain bagaikan satu tubuh. Bila yang satu terkena sakit yang lain tak akan
tinggal diam. Karenanya, sangat layak bila mereka menjadikan perkara mereka
diputuskan dengan syura bersama para ahli diantara mereka.”
Demikian
Imam Ibnu Jarir meriwayatkan. Karenanya, Umar bin Khatab dalam menjalankan
pemerintahannya, menjadikan para sahabat senior, khususnya pengikut perang
Badr, menjadi tim penasehatnya. Mereka bahkan tak boleh tinggal jauh dari Madinah.
Saat genting setelah wafatnya Rasulullah juga menjadi waktu penting para sahabat untuk menjaga barisan dakwah Islam. Seperti yang ditunjukkan Ali bin Abi Thalib misalnya.
Baca Juga: Bisakahkita Buktikan Keimanan Kita?
Kisahnya, setelah Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan menemui Ali seraya berkata,”Engkau dikalahkan dalam urusan kekuasaan ini oleh suku Quraisy yang jumlah warganya sedikit? Demi Allah, kalau engkau mau, kami akan memenuhi kampungnya dengan laki-laki dan kuda-kuda (meyerbu), jika engkau mau.”
Mendengar itu Ali bin Abi Thalib menjawab lantang,”Apakah engkau ini
masih menjadi musuh Islam dan kaum Muslimin. Sesungguhnya semua ini (pengangkatan
Abu Bakar) tak merugikan Islam dan umatnya sedikitpun. Dan sesungguhnya kami
mengetahui bahwa Abu Bakar memang layak untuk itu.”
Untuk
menjaga agar masyarakat mereka selalu rapi, para sahabat itu selalu berusaha
untuk dekat antara yang satu dengan yang lain. Menghindari perselisihan dan
mengutamakan persatuan. Sebagai pengikatnya, mereka menepatkan kerinduan akan
ridha Allah untuk mengalahkan potensi-potensi konflik diantara mereka. Seperti yang
diucapkan oleh Ibnu Mas’ud,
”Sesungguhnya Allah, dengan keadilan dan pengetahuan-Nya
menjadikan kebahagiaan dan sukacita di dalam sikap yakin dan ridha dan
menjadikan duka dan nestapa di dalam sikap ragu-ragu dan benci terhadap
ketentuan-Nya.”
Mereka
saling menghibur bila ada yang diuji oleh Allah. Suatu hari Ali bin Abi Thalib
menemui ’Adi bin Hatim yang nampak kusut masai. Raut mukanya menggambarkan kesedihan
yang berat. ”Mengapa engkau nampak bersedih hati?” Adi menjawab,”Bagaimana aku
tidak sedih, sedangkan dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam
pertempuran.”
Ali
menyahut,”Barangsiapa ridha terhadap takdir Allah, maka takdir itu tetap
berlaku atasnya dan ia mendapatkan pahala-Nya. Dan barangsiapa yang tidak ridha
terhadap takdir-Nya, maka takdir itu pun tetap berlaku padanya dan terhapuslah
pahalanya.”
Sikap
ini juga kemudian yang diwarisi oleh para Tabi’in. Lihatlah apa yang dikatakan
Hasan Al Bashri,
”Barangsiapa yang ridha terhadap apa yang menjadi suratan
hidupnya, maka jiwanya akan merasa lapang menerima hal itu, dan Allah pun akan
memberkahinya. Tetapi barangsiapa yang tidak ridha, maka pandangannya menjadi
sempit dan Allah tidak memberkahinya.”
Baca Juga : SepertiBurung yang Serius Menjalani Hidup
Selain itu, para sahabat juga menjauhi berlaku curang. Agar jama’ah kaum Muslimin tidak terkotori oleh dosa-dosa. Al Baihaqi meriwayatkan, bahwa setiap tahun Abdullah bin Rawahah datang menemui Yahudi di Khaibar untuk menetapkan berapa bagian dari panen kurma yang harus disetor kepada Rasulullah. Abdullah bin Rawahah menetapkan separoh dari hasil panen yang harus disetorkan.
Maka mereka mengeluh dan mengadu kepada Rasulullah. Orang-orang Yahudi itu juga berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah. Dengan marah Abdullah menolak, ”Wahai musuh-musuh Allah. Kalian akan memberiku makanan kotor? Demi Allah, aku ini datang dari orang yang paling tercinta diantara seluruh manusia. Dan sesungguhnya kalian lebih aku benci daripada kera dan babi.
Namun,
ketahuilah kebencianku kepada kalian, juga kecintaanku kepada Rasulullah, tidak
akan membuatku berlaku tidak adil dengan menerima suap itu.” Mendengar itu orang-orang Yahudi itu berkata,”Dengan
sikap seperti itulah langit dan bumi tegak.”
Nah bagaimana dengan kita?
Majalah Tarbawi, Edisi 002 Th.I, Rabiul Akhir 1420, 20 Juli 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar