Senin, 14 April 2025

Bercermin Kepada Salafusshalih

  

Bercermin Kepada Salafusshalih

 

Bercermin Kepada Salafusshalih
Bercermin Kepada Salafusshalih

(Hal 13) Mereka Menjaga Niat

Sahabat-sahabat Rasulullah adalah generasi terbaik ummat ini. Mereka terus belajar dari Rasulullah apa-apa saja yang harus dikerjakan dan apa saja yang mesti ditinggalkan. Soal menjaga lurusnya niat di dalam hidup dan perjuangan mereka, tak bosan-bosan para sahabat itu berguru kepada Rasulullah. Seperti dikisahkan oleh Umamah radhiallahu ’anhu, ada seorang laki-laki yang menemui Rasulullah dan bertanya,

”Wahai Rasulullah apakah pendapat engkau tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan popularitas diri. Kelak, apa yang akan ia dapat di akhirat?” Rasulullah menjawab,”Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Tetapi Rasulullah tetap menjawabnya,”Ia tidak menerima apa-apa!” kemudian beliau bersabda,”Sesusungguhnya Allah tidak menerima sesuatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang mengharap ridha-Nya.”

(HR Abu Dawud dan Nasa’i)


Dalam  kesempatan lain Abu Said Al Khudri telah mengambil pelajaran berharga dari Rasulullah pada saat haji wada’.

”Tiga perkara yang menjadikan seorang Mukmin tidak akan menjadi penghianat: Ikhlas beramal karena Allah, memberikan nasihat yang baik kepada pemimpin kaum Muslimin, dan senantiasa komitmen terhadap jama’ah.”

(HR Ibnu Hibban)

Seni menjaga lurusnya niat tidaklah mudah. Karena seperti yang dikatakan oleh Fudhail bin ’Iyadh,

”Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirik. Maka ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya.”

Baca Juga: LuruskanNiat Rapatkan Barisan

Urgensi niat sangatlah mendasar bagi kehidupan dan perjuangan setiap Mukmin. Dengan segala amal akan diukur. Inilah yang didengar dan diamalkan Umar bin Khatab dari Rasulullah,

”Bahwa amal itu tergantung niatnya.”

Maka, tak berlebihan kalau Imam Syafi’i menyebut hadits Rasulullah ini adalah sepertiga dari seluruh ilmu.  

Niat yang baik sering mengubah sesuatu yang mubah menjadi ibadah. Wajar bila perhatian para salafusshalih kepada niat begitu besar. Dengarkanlah apa yang dikatakan Yahya bin Katsir,

”Pelajarilah niat dalam beramal, karena niat itu lebih cepat sampai kepada Allah dari pada amal yang engkau lakukan itu.”

Meski upaya menjaga lurusnya niat telah diupayakan, namun mereka tak merasa puas dan cukup begitu saja. Iman yang benar telah menjadikan mereka memadukan antara rasa pengharapan dan kecemasan. Karenanya mereka masih menambahinya dengan istighfar. Imam Hasan Al Bashri berkata:

”Perbanyaklah istighfar di rumahmu, tempat kerja, di pertemuan-pertemuan dan di mana pun dirimu berada saat itu. Sebab engkau tidak akan tahu di tempat manakah turunnya maghfirah Rabb-mu.”

Nah bagaimana dengan kita?

Baca Juga: Memahami‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Mereka Menjaga Barisan

Sebuah masyarakat Muslim yang utuh menjadi dambaan setiap sahabat. Tindak tanduk ucapan mereka bisa menjadi cermin bagi ucapan di atas. Apalagi sebuah jama’ah dakwah. Ibnu Mas’ud, misalnya pernah memberi nasehat:

”Wahai sekalian manusia, hendaklah kalian selalu taat dengan jama’ah kaum Muslimin. Karena ia sesungguhnya adalah tali Allah yang kokoh yang diperintahkan untuk dipegang. Sesungguhnya apa yang tidak engkau sukai dalam kebersamaan di dalam jama’ah itu, adalah lebih baik dari apa yang engkau sukai dalam keadaan terpecah belah.”

Hal serupa juga dilakukan para sahabat lainnya. Para sahabat lebih suka memutuskan masalah dengan syura, agar barisan masyarakat Muslim tetap rapat. Suatu hari Umar berpidato:

”Sesungguhnya Allah mengumpulkan untuk Islam ini orang-orang yang layak (Hal 14) untuk memeluknya. Lalu Allah menyatukan hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Seorang Muslim dengan Muslim yang lain bagaikan satu tubuh. Bila yang satu terkena sakit yang lain tak akan tinggal diam. Karenanya, sangat layak bila mereka menjadikan perkara mereka diputuskan dengan syura bersama para ahli diantara mereka.”

Demikian Imam Ibnu Jarir meriwayatkan. Karenanya, Umar bin Khatab dalam menjalankan pemerintahannya, menjadikan para sahabat senior, khususnya pengikut perang Badr, menjadi tim penasehatnya. Mereka bahkan tak boleh tinggal jauh dari Madinah.

Saat genting setelah wafatnya Rasulullah juga menjadi waktu penting para sahabat untuk menjaga barisan dakwah Islam. Seperti yang ditunjukkan Ali bin Abi Thalib misalnya. 

Baca Juga: Bisakahkita Buktikan Keimanan Kita?

Kisahnya, setelah Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan menemui Ali seraya berkata,”Engkau dikalahkan dalam urusan kekuasaan ini oleh suku Quraisy yang jumlah warganya sedikit? Demi Allah, kalau engkau mau, kami akan memenuhi kampungnya dengan laki-laki dan kuda-kuda (meyerbu), jika engkau mau.”

 Mendengar itu Ali bin Abi Thalib menjawab lantang,”Apakah engkau ini masih menjadi musuh Islam dan kaum Muslimin. Sesungguhnya semua ini (pengangkatan Abu Bakar) tak merugikan Islam dan umatnya sedikitpun. Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa Abu Bakar memang layak untuk itu.”

Untuk menjaga agar masyarakat mereka selalu rapi, para sahabat itu selalu berusaha untuk dekat antara yang satu dengan yang lain. Menghindari perselisihan dan mengutamakan persatuan. Sebagai pengikatnya, mereka menepatkan kerinduan akan ridha Allah untuk mengalahkan potensi-potensi konflik diantara mereka. Seperti yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud,

”Sesungguhnya Allah, dengan keadilan dan pengetahuan-Nya menjadikan kebahagiaan dan sukacita di dalam sikap yakin dan ridha dan menjadikan duka dan nestapa di dalam sikap ragu-ragu dan benci terhadap ketentuan-Nya.”

Mereka saling menghibur bila ada yang diuji oleh Allah. Suatu hari Ali bin Abi Thalib menemui ’Adi bin Hatim yang nampak kusut masai. Raut mukanya menggambarkan kesedihan yang berat. ”Mengapa engkau nampak bersedih hati?” Adi menjawab,”Bagaimana aku tidak sedih, sedangkan dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran.”

Ali menyahut,”Barangsiapa ridha terhadap takdir Allah, maka takdir itu tetap berlaku atasnya dan ia mendapatkan pahala-Nya. Dan barangsiapa yang tidak ridha terhadap takdir-Nya, maka takdir itu pun tetap berlaku padanya dan terhapuslah pahalanya.”

Sikap ini juga kemudian yang diwarisi oleh para Tabi’in. Lihatlah apa yang dikatakan Hasan Al Bashri,

”Barangsiapa yang ridha terhadap apa yang menjadi suratan hidupnya, maka jiwanya akan merasa lapang menerima hal itu, dan Allah pun akan memberkahinya. Tetapi barangsiapa yang tidak ridha, maka pandangannya menjadi sempit dan Allah tidak memberkahinya.”

Baca Juga : SepertiBurung yang Serius Menjalani Hidup

Selain itu, para sahabat juga menjauhi berlaku curang. Agar jama’ah kaum Muslimin tidak terkotori oleh dosa-dosa. Al Baihaqi meriwayatkan, bahwa setiap tahun Abdullah bin Rawahah datang menemui Yahudi di Khaibar untuk menetapkan berapa bagian dari panen  kurma yang harus disetor kepada Rasulullah. Abdullah bin Rawahah menetapkan separoh dari hasil panen yang harus disetorkan.

 Maka mereka mengeluh dan mengadu kepada Rasulullah. Orang-orang Yahudi itu juga berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah. Dengan marah Abdullah menolak, ”Wahai musuh-musuh Allah. Kalian akan memberiku makanan kotor? Demi Allah, aku ini datang dari orang yang paling tercinta diantara seluruh manusia. Dan sesungguhnya kalian lebih aku benci daripada kera dan babi. 

Namun, ketahuilah kebencianku kepada kalian, juga kecintaanku kepada Rasulullah, tidak akan membuatku berlaku tidak adil dengan menerima suap itu.”  Mendengar itu orang-orang Yahudi itu berkata,”Dengan sikap seperti itulah langit dan bumi tegak.”

Nah bagaimana dengan kita?


Majalah Tarbawi, Edisi 002 Th.I,  Rabiul Akhir 1420, 20 Juli 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar