Tukang Kayu
Oleh Hepi
Andi Bastoni
Seorang tukang kayu tua
bermaksud pension dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real
estate. Ia menyampaikan keinginannya pada pemilik perusahaan. Tentu saja,
karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tapi keputusan
itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari
tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.
Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Lalu ia memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya.
Tukang kayu mengangguk
menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia
merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan.
Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia Cuma menggunakan bahan-bahan
sekadarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah
rumah yang baik. Sungguh sayang ia mengakhiri karirnya dengan prestasi yang
tidak begitu mengagumkan.
Ketika pemilik perusahaan
itu datang untuk melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci
rumah pada si tukang kayu. “ini rumahmu.” Katanya, “Hadiah” dari kami.”
Betapa terkejutnya si
tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa
dirinya sedang mengerjakan rumah untuknya sendiri, tentu ia akan mengerjakannya
dengan cara lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak
terlalu bagus hasil karyanya sendiri.
Baca Juga: Dosa Yang Terus Mengalir
Itulah yang terjadi pada
kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan
cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang terbaik. Bahkan, pada bagian-bagian
terpenting pada hidup kita tidak memberikan yang terbaik.
Pada akhir perjalanan kita
terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan. Kita menemukan diri kita
hidup dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri. Seandainya kita menyadari
sejak semula, kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.
Renungkanlah, kita adalah si tukang kayu. Renungkanlah, rumah itulah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakan sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan.***
Majalah Sabiliku Bangkit Edisi 3/TH 01/Dzulqaidah 1435 H/ Agustus
2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar