Pada Dasarnya, Masyarakat Kita Filantropis
Oleh Edi Santoso
Pada Dasarnya, Masyarakat Kita Filantropis
[Hal-30] Dalam dua dekade terakhir, perbincangan
seputar masyarakat sipil di Indonesia terus mengemuka. Terlebih setelah
reformasi bergulir, berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) terus
bermunculan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) misalnya, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) misalnya, tumbuh dimana-mana. Sebuah fenomena melegakan
sebenarnya, karena keberadaannya akan mengokohkan entitas masyarakat sipil,
terutama terkait hubungannya dengan negara dan pasar dalam sebuah negara
demokratis.
(Hal-31) sayangnya, pertumbuhan LSM secara kuantitatif tak selalu paralel dengan sisi kualitasnya. “Banyak sekali LSM saat ini yang didirikan dengan alasan-alasan yang salah,” ujar Rustam Ibrahim. Pernyataan tokoh yang telah puluhan tahun bergelut dengan dunia LSM ini nampaknya senada dengan maraknya isu yang mempertanyakan keberadaan LSM belakangan ini, seperti gugatan keterwakilan, pendanaan, atau tudingan adanya kepentingan-kepentingan asing di balik program LSM. Bagaimanakah sebenarnya sekelumit wajah masyarakat sipil indonesia dalam berbagai wadah seperti LSM? Berikut wawancara Tarbawi dengan Rustam Ibrahim di kantornya, di Kawasan Kebayoran, Jakarta.
Bagaimana relevansi pertumbuhan masyarakat sipil
bagi tatanan berbangsa kita?
Pada awal abad ke-21,
kita lihat terjadinya pergeseran dalam tata pemerintahan global. Kekuasaan
tidak lagi sepenuhnya di dominasi negara dan pasar, tetapi juga oleh masyarakat
sipil, yakni semua entitas kolektif atau organisasi, baik yang bersifat formal
atau informal, yang terletak di antara negara dan kehidupan ekonomi. Masyarakat
sipil diakui merupakan salah satu pemain kunci dalam mengembangkan dan
memperluas demokrasi dan pembangunan sosial.
Di Indonesia sendiri,
wacana masyarakat sipil sepertinya tak pernah sepi. Bagaimana awal
pertumbuhannya?
Wacana masyarakat sipil
sebenarnya di bawa ke Indonesia pada awal 90-an. Ketika itu, di masa Orde Baru,
dimana Pak Harto sudah tua, orang menunggu perubahan. Sebagian kaum
intelektual, akademisi, dan LSM melihat, wacana masyarakat sipil diperlukan
untuk mencoba membangun ruang publik atau memperjuangkan kebebasan dan
demokratisasi. Karena masyarakat sipil pada dasarnya membangun ruang otonom,
independen dari campur tangan negara, yang mempunyai hak dan kebebasan. Waktu
itu, diperkenalkanlah masyarakat sipil sebagai kaum yang terhegemoni,
katakanlah dari negara Orde Baru yang dianggap sebagai negara otoriter.
Baca Juga: MungkinkahMasjid Al Aqsha Runtuh
Ada juga istilah
Madani, seperti apa hubungannya?
Di samping wacana masyarakat sipil, muncul pula wacana masyarakat Madani. Kalau masyarakat sipil lebih melihat hubungan vertikal antara negara dan masyarakat, sedangkan masyarakat Madani lebih kepada kehidupan di dalam masyarakat Madani lebih kepada kehidupan di dalam masyarakat itu sendiri.
Suatu masyarakat yang santun,
beradab, masyarakat yang hidup dengan berpedoman kepada masyarakat Madinah yang
hidup pada abad ke-7 di bawah pimpinan (Hal-32)
nabi Muhammad Saw dan para sahabat. Ada kerukunan beragama, ada kehidupan
yang bekerjasama lebih baik. Baik konsep masyarakat sipil maupun Madani,
keduanya mengakui adanya kebebasan.
Bedanya dengan
masyarakat sipil?
Hubungan negara dengan masyarakat Madani dilihat sebagai kerjasama, kooperatif, tidak berkonflik. Bahkan dalam masyarakat Madani, negara berperan besar dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Sedangkan dalam masyarakat sipil , peranan negara harus dikurangi. Masyarakat sipil memperjuangkan demokratisasi. Jadi, yang satu lebih pada arah vertikal sedang yang satu bersifat horisontal.
Jadi kalau masyarakat
sipil lebih mengacu pada konsepnya Gramsci tentang kaum terhegemoni. Gramsci kan menekankan perlunya membangun kekuatan-kekuatan,
katakanlah itu blok historis, pemikiran atau pandangan-pandangan yang berbeda
dengan penguasa.
Setelah reformasi,
apakah Anda melihat perkembangan yang signifikan masyarakat sipil di negeri
ini?
Saya pikir, pertama yang perlu diakui bahwa masyarakat sipil ini menikmati kebebasan. Artinya, kita bebas berorganisasi, berkumpul dan berpendapat. Nah karena itu, kita melihat secara kuantitatif organisasi masyarakat sipil tumbuh dengan pesatnya dengan berbagai aktivitasnya, tetapi secara kualitatif barangkali belum banyak atau belum terjadi perubahan secara signifikan. Dalam banyak hal, misalnya, saya melihat terjadi menurunnya sikap toleran.
Baca Juga: Seperti Engkau Malu Terhadap Orang Shalih
Kita sulit duduk
bersama dengan orang yang berbeda pendapat. Lebih parahnya lagi, penolakan itu
dilakukan dengan cara kekerasan. Termasuk ketidaksiapan menghadapi kekalahan.
Misalnya dalam pilkada kalah, ngamuk.termasuk penumpang gelap dalam kebebasan seperti
pornografi atau pornoaksi, juga menjadi indikasi penurunan kualitas masyarakat
sipil. Seperti sedang ramai saat ini, karena apa yang menjadi aktivitas privat
kemudian dimuat di dalam ruang publik.
Setelah berkecimpung
lama di dunia LSM sebagai salah satu wadah masyarakat sipil, apakah Anda
melihat perubahan-perubahan,
misalnya dalam hal orientasi?
Saya kira, banyak sekali LSM-LSM yang didirikan dengan alasan-alasan bicara Ornop (Organisasi Nonpemerintah) atau LSM, semestinya didirikan untuk kepentingan umum. Jadi dia itu eksis untuk kepentingan umum atau public interest. Dan kedua, LSM itu itu biasanya tidak merupakan bagian dari pemerintah, juga tidak berafiliasi dengan partai politik dan tidak dilahirkan untuk tujuan-tujuan ekonomi, untuk pendiri-pendirinya.
Nah, sekarang banyak sekali LSM sekadar hanya mencari kontrak-kontrak
proyek dengan pemerintah, bahkan untuk kegiatan-kegiatan yang ilegal atau
kriminal, misalnya untuk menguasai area bisnis tertentu. Mereka ini semacam
preman, yang tentu saja tidak terdefinisi sebagai LSM. Lembaga semacam ini
tidak didirikan untuk kepentingan umum, dan ini banyak sekali saat ini.
Itu
mempengaruhi menurunnya citra LSM?
Iya, itu yang menyebabkan citra LSM menurun. Juga agak berbeda pada zaman (Hal-33) Orde Baru. Dulu, kalau orang menyebut LSM, mungkin pemerintah tidak suka, tapi ada rasa hormat. Ada rasa khawatir, tidak suka, tapi respek. Karena waktu itu orang melihat LSM sebagai organisasi yang membela HAM, lingkungan hidup, gender atau punya program-program yang jelas, misalnya sanitasi, usaha kecil, dan pada waktu itu jumlahnya juga tidak terlalu banyak.
Baca Juga: Sudah Membuka Lembar Keberapa?
Jadi
waktu itu LSM, menurut saya, dihormati. Dan karena dihormati, ada public
trust, ada kepercayaan yang cukup tinggi dari masyarakat. Tapi sekarang LSM
begitu banyak jumlahnya, ada preman, ada yang dengan tujuan-tujuan praktis pragmatis
untuk tujuan-tujuan ekonomi, sehingga kepercayaan masyarakat sangat menurun.
Soal
kepercayaan masyarakat itu, apakah terkait sumber pendanaan asing yang belakang
juga disorot ?
Ya, itu memang
sejarahnya pada masa Orba, sumber pendanaan LSM terbatas. Nah, LSM kebetulan
punya program-program yang sejalan dengan
tren dunia waktu itu. Ada semacam solidaritas global. Penduduk kita miskin,
banyak warga yang memerlukan bantuan, sehingga mendapatkan bantuan dari luar negeri,
sama halnya dengan pemerintah yang mendapatkan bantuan luar biasa dari luar negeri.
Lalu kemudian sekarang masih banyak LSM mengandalkan bantuan luarnegeri, karena
sumber-sumber lokal barangkali belum ada.
Idealnya,
pendanaan LSM dari mana?
Saya termasuk yang menganjurkan bahwa dalam iklim demokratis seperti saat ini, LSM semestinya dapat pendanaan dari domestik, bisa dari pemerintah maupun sektor swasta. Dengan keahlian orang-orangnya, LSM bisa bermitra dengan pemerintah tapi ini kan, sulit, karena peraturan kurang memberikan kesempatan pada masyarakat sipil untuk terlibat dalam proyek-proyek pemerintah.
Keppres 80 tidak mengakui, misalnya
badan-badan seperti yayasan atau perguruan tinggi untuk turut dalam proyek
pemerintah. Hanya mereka yang punya CV atau PT yang bisa ikut. Jadi, kurang
memungkinkan untuk sektor nirlaba. Padahal secara expertis, mungkin
mereka lebih baik, misalnya lembaga penelitian lembaga penelitian perguruan
tinggi, kan SDM-nya memadai. Kedua, soal birokrasi, banyak LSM yang tak
siap dengan ribetnya masalah birokrasi. Belum lagi masalah korupsi, yang di
pemerintah bisa sampai 40-60 persen.
Bagaimana
peluang bermitra dengan swasta?
Dengan swasta, memang
ada Corporate Social Responsibility (CSR). Namun, sebagian dari
perusahaan sudah membuat corporate foundation, yayasan-yayasan-yayasan
perusahaan sendiri. Selain itu, trust building antara swasta dan LSM ini
kan belum pulih. Sebagian LSM, misalnya yang bergerak dalam advokasi,
melihat swasta sebagai pihak yang melanggar hak (Hal-34) buruh, HAM,
melanggar lingkungan hidup. Sementara swasta melihat LSM mungkin kurang
profesional atau akuntabilitasnya kurang baik.
Peluang
pendanaan dari masyarakat secara langsung, bagaimana?
Peluang itu besar,
karena pada dasarnya masyarakaat kita itu filantropis. Antara tahun 2005 sampai
2006, ada penyusunan Indeks Masyarakat Sipil (IMS), dengan mengumpulkan
informasi atau masukan dari kalangan tokoh masyarakat sipil sendiri, pejabat
pemerintah, anggota DPR, warga negara Indonesia biasa, para ahli dan peneliti. Nah,
diantara temuan menarik, ternyata masyarakat Indonesia itu dermawan, filantropis.
Baca Juga: Maafkan Aku...
Rakyat Indonesia sesungguhnya
termasuk golongan yang menaruh kepedulian terhadap nasib orang lain dengan membantu berupa uang, barang atau
tenaga. Contohnya saat bencana terjadi, begitu besar sumbangan dari masyarakat
untuk mereka yang menjadi korban bencana. Empat dari lima orang Indonesia
pernah memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang serta membantu
masyarakat lain. Meskipun demikian, jumlah sumbangan yang diberikan dalam bentuk
uang belum signifikan karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih
tergolong miskin.
Kenapa
itu tak dioptimalkan untuk pendanaan LSM?
yang bisa memanfaatkannya secara baik baru LSM-LSM keagamaan, misalnya lembaga-lembaga zakat. Karena, nampaknya semangat filantropi itu muncul lebih pada hal-hal yang ada kaitannya dengan keakhiratan atau agama, ketimbang pada isu-isu sosial. Kedua, munculnya media-media yang selain memberitakan juga mengumpulkan dana secara langsung dari masyarakat juga menjadi kendala tersendiri.
Hampir semua stasiun televisi memiliki wadah yang menampung dana masyarakat. Seharusnya, misalnya kalau kita lihat contoh luar negeri, media cukup memberitakan saja, sementara untuk penggalangan dana bisa dilakukan lembaga sipil. CNN misalnya, memang memberitakan bencana, tetapi soal pengumpulan dana, mereka merekomendasikan untuk disalurkan lewat Care, Save Children, Christian Fund, atau lainnya. Jadi LSM kita mendapat saingan baru, yakni yayasan-yayasan perusahaan dan yayasan media.
Yayasan perusahaan ini tak hanya
mendapatkan uang dari perusahaan tetapi juga mencari dana dari asing juga. Sementara
dari publik, kalau LSM-LSM “advokasi”, mungkin bisa, misalnya LSM anti korupsi
atau HAM, tetapi sifatnya development, masih susah. Tapi memang
penggalian dari publik ini belum di-fundrise, masih lemah.
Bagaimana
dengan tudingan banyaknya pesanan asing pada LSM?
Kalau alasannya karena
mendapatkan dana asing, maka dia adalah alat asing, mestinya pemerintah lah
yang paling layak disebut sebagai alat asing, karena paling banyak mendapatkan
dana asing. Seringkali gagasan muncul dari kita, bukan dari mereka. Kalau pengalaman
saya, saya tak pernah mendapatkan pesanan. Pesanan politik tidak, pesanan
ekonomi juga tidak.
Bagaimana
upaya menghadapi kecenderungan disorientasi beberapa lembaga (Hal-35) masyarakat sipil?
Salah satu wujudnya
pokja akuntabilitas organisasi masyarakat sipil ini. Karena masyarakat sipil terus
tumbuh, sementara secara kualitatif menurun, kita berharap pokja ini bisa
berkontribusi bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang lebih sehat, yang lebih
kuat. Pokja fokus pada dua arah. Arah pertama, mencoba bekerjasama dengan
pemerintah untuk membangun lingkungan politik dan hukum yang kondusif. Misalnya,
kita tidak akan apriori dengan regulasi, karena khawatir regulasi akan
membelenggu kebebasan masyarakat sipil. Karena salah satu fungsi negara adalah
mengatur masyarakat sipil. Jangan sampai masyarakat sipil mengganggu kepentingan
umum.
Arah keduanya, ke dalam,
bagi LSM sendiri. Jangan sampai LSM rusak dari dalam sendiri. Bagaimana tatakelola
LSM ini lebih baik, misalnya ada pembukuan yang lebih baik, ada kode etik, yang
mengatur cara bertindak keluar dan ke dalam. Kemudian juga misalnya pelaporan
keuangannya harus diaudit oleh akuntan publik, ada pemisahan antara pengurus
dan pelaksana, bahwa pengurus dan pelaksana, bahwa pengurus tidak boleh digaji
atau tak boleh menggantungkan hidupnya pada LSM itu.
Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat
Hendak
memayungi LSM-LSM yang ada?
Kami sedang
memfasilitasi kongres nasional LSM akhir Juli ini. Ini sebagai organisasi
payung masyarakat sipil. Organisasi yang membela kepentingan LSM. Termasuk menjembatani
untuk berpartner dengan pemerintah, demi kehidupan masyarakat sipil yang lebih
baik. Kita bisa duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Kepada pemerintah, kita
bisa memberikan rekomendasi LSM-LSM yang baik. Dan yang tak kalah pentingnya,
kita bisa tegakkan kode etik LSM. Kita berharap, kongres ini, day to day, membela
LSM ke luar. Ke dalam, penegakan kode etik, sembari juga memperkokoh capacity
building. Kita ingin membedakan LSM yang baik dan LSM yang didirikan tidak
untuk tujuan yang benar.
Terkait dengan
masyarakat Madani yang kental dengan nilai agama, bukankah bangsa ini, yang
mayoritas penduduknya Muslim, memiliki modal yang cukup untuk mencapainya?
Iya, saya kira. Secara budaya,
punya modal. Yang kita kita butuhkan sekarang adalah rule of law. Karena,
kebebasan tanpa hukum bisa menjadi anarki. Terlebih, negara kita sedang lemah. Leadership
kurang, ketegasan kurang. Banyak organisasasi, tetapi mereka tak me- (Hal-36) lihat batas-batas. Keterbatasan tak dilakukan dengan
kekerasan, membakar, memukul. Kalau mau protes saja, silahkan. Mayoritas kita
santun, baik, tapi ada sebagian masyarakat sipil yang uncivilized. Sikap
toleran itulah yang harus dibangun.
Kenapa
Anda memilih karir di dunia LSM?
Sebagai aktivis Ikatan
Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada waktu itu saya tidak tertarik untuk
bekerja di pemerintah atau perusahaan. Saya kemudian bekerja LP3ES tahun 1975
yang banyak menghimpun mantan aktivis pers mahasiswa dan bekerja di bidang
penerbitan sebagai staf redaksi Prisma. Dalam perkembangannya, pada tahun
1980-an, selain sebagai lembaga penelitian dan penerbitan LP3ES dikenal pula
sebagai salah satu NGO nasional yang cukup terkenal di mana saya pernah menjadi
direkturnya (1993-1996).
Setelah berkecimpung
lama di dunia LSM, apa obsesi anda sekarang?
Pada usia sekarang, saya
kira obsesi saya adalah bagaimana masyarakat sipil kita khususnya komunitas LSM
selain dapat menikmati kebebasannya, dapat menjadi kuat, dapat hidup dengan
sehat, yakni mempunyai sumberdaya yang cukup, akuntabel dan transparan. Untuk komunitas
LSM harus memperjuangkan secara bersama. Yaitu suatu lingkungan politik dan
legal yang kondusif bagi perkembangan LSM ke arah tersebut.***
Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Biodata
Nama : Rustam Ibrahim
Kelahiran:
Pasir pengarayan, Kabupaten Rokan
Hulu, Propinsi Riau, 10 Februari 1049
Pendidikan:
1. Ilmu politik (Drs) dari universitas 17 Agustus 1945
2.
Management
of Consulting Skills (University
of pittsburgh, PA, 1988)
3.
Post-Graduate
Diploma dalam bidang rural Policy and Project Planning pada Institute of
Social Studies (ISS), The Hague, Negeri Belanda, 1983/1984)
4.
Management
and Techniques of Public Polling (University
of North Carolina, Chapel Hill, N.C, 1992)
5. Training on Civil Society, Democracy and
Development, Institute of Social and Economic Culture (ISEC), Boston
University, Boston, MA, 1994
Aktivitas:
1. Ketua Kelompok Kerja untuk Akuntabilitas Organisasi
Masyarakat Sipil (OMS)
2.
Anggota
Badan Pengurus Harian Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
3.
Anggota
Pembina YAPPIKA (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi)
4. Ketua Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
Karya
Tulis:
1. Masyarakat Sipil Indonesia 2006: Jalan (Masih)
Panjang Menuju Masyarakat Sipil (Jakarta: YAPPIKA, 2007)
2.
Editor buku
StrategiMewujudkan Civil Society (LP3ES, 1999)
3.
Mempertimbangkan
Kembali Format Politik Orde Baru (LP3ES, 1997)
4.
Agenda
LSM Menyongsong Tahun 2000 (LP3ES, 1994)
5.
NGO
Accountability: Politics, Principles & Innovations (London, Earthscan,
2006), bersama Hans Antlov dan Peter van Tuijl)
6. Governance, Organizational Effectiveness and Nonprofit Sector: Country Report (Manila: Asia Pacific Philanthropy Consortium, 2003) bersama Tom Malik dan Abdi Suryaningati.
Majalah Tarbawi Edisi 233 Th.12, Sya’ban 1431 H, 12 Juli 2010 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar