H. Muhammad Ihsan Tanjung
Anggota MPP Partai Keadilan

Bersiap Menghadapi Kemungkinan Terpahit
(Hal 16) Pilar apa saja yang harus dimiliki oleh gerakan dakwah
setelah memasuki era politik?
Kita harus melihat pada sirah Nabi. Kalau kita lihat, para sahabat baru memasuki political environment atau keterlibatan politik itu pada fase Madaniyah. Terbukti dengan terbentuknya masyarakat Madani di Madinah.
Saat itu, kaum Muslimin bukan saja secara jumlah mayoritas, tapi mereka secara kualitatif memegang kendali berbagai aspek kehidupan. Termasuk aspek sosial politik, hukum, ekonomi, yang berarti praktis mereka yang mengendalikan perjalanan hidup masyarakat tersebut.
Baca Juga: Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang TidakPernah Selesai
Peranan Rasulullah dalam kapasitas pribadi?
Nabi kita mendapat julukan al amin. Julukan ini beliau dapati bukan saja ketika beliau menjadi Nabi. Bahkan sebelum menjadi Nabi beliau sudah menjdapatkan julukan itu. Kedua, julukan itu bukan diberikan oleh para sahabat atau pengikut Nabi. Tapi julukan itu justru diberikan oleh publik musyrikin jahiliyah di Makkah.
Yang berarti ini julukan yang
mencerminkan kondisi objektif prilaku atau pribadi Rasulullah SAW. Nah, dari
hal ini saya menarik kesimpulan bahwa, tidak mungkin kita melangkah ke tahap manapun sebelum kita
masing-masing sebagai pribadi dalam umat mengembangkan sifat al amin itu,
sifat terpercaya itu. Selain itu, kita harus mengembangkan berbagai
kredibilitas (Misdaqiyah).
Apa saja Kredibilitas tersebut?
Kredibilitas Rasul bisa kita lihat dari berbagai
sudut. Pertama, misdaqiyah maknawiyah. Yang tampil dalam bentuk akhlak,
suluk, yang mengandung segala nilai-nilai positif: kejujuran, amanah,
kesetiakwanan dan sebagainya. Ini yang
paling menonjol dari pribadi Rasul.
Beliau juga mengembangkan kredibilitas lainnya.
Misalnya, kredibilitas intelektual (Misdaqiyah Fikriyah). Sehingga
masyarakat bukan saja mau mendengarkan ucapan Muhammad bin Abdullah karena
beliau orang yang jujur, tapi juga karena beliau cerdas. Jadi dengan kata lain,
kita sebagai pengikutnya, tidak mungkin memiliki kredibilitas, kalau hanya
mengandalkan keikhlasan dan kejujuran, misalnya. Sementara kita tidak memiliki
kecerdasan. Kita tidak memiliki kontribusi atau problem solving yang berkembang
di masyarakat.
Leboh dari itu, Rasul bukan hanya secara moral dan
intelektual kredibel. Tetapi juga kredibel di bidang operasional, atau (Misdaqiyah
Amaliyah).
Baca Juga: Indonesia Masih Kekurangan Ulama
Dalam urusan sosial, beliau bukan saja mampu memberi
tawaran solusi, bahkan menunjukkan solusi itu memang handal. Contohnya
bagaimana Rasul memberi perhatian kepada anak yatim, fuqara, dan masakin.
Ini jelas mempercepat kepercayaan masyarakat. Ia bukan hanya menawarkan
solusi tapi juga telah melakukannya.
(Hal 17) Leih dari itu Rasul adalah orang yang pertama kali menjalin silaturrahmi kepada semua pihak. Jangankan dengan orang yang jelas menerima dakwah Islam, bahkan kepada orang yang menentang dakwah, beliau membuktikan bahwa dirinya tidak memiliki konflik pribadi.
Konfliknya adalah konflik ideologis. Tapi itu tidak menjadi alasan
untuk tidak bersilaturrahim. Makanya Nabi tidak pernah mengelak untuk bertemu
dengan gembong musyrikun siapa pun. Rasul
tetap terbuka untuk dialog dengan mereka. Inilah kredibilitas sosial (Misdaqiyah
ijtimaiyyah).
Saya yakin, empat hal tadi menjadi pokok perhatian beliau selama fase Makkiyah, sekaligus merupakan sebuah investasi jangka panjang untuk pada akhirnya menuai kredibilitas politik di Madinah Munawarah. Maka kedatangan Nabi di Madinah, bukan hanya disambut oleh Muhajirin dan Anshar.
Tapi kaum non Muslim juga menunggu-nunggu siapa Rasulullah, karena mereka sudah
mendengar kebaikan-kebaikan beliau. Sehingga ketika beliau datang, dan ternyata
terbukti benar apa yang mereka dengar, mereka begitu cepat menyambut. Kecuali
orang yang memiliki hasad, karena satu dan lain hal.
Mereka yang membuktikan kebenaran berita tentang
pribadi Rasul segera masuk Islam. Semua ini tentu mempercepat proses pengokohan
political credibility. Makanya beliau segera diterima sebagai pemimpin
baru di Yastrib.
Baca Juga: Pada Dasarnya, Masyarakat Kita Filantropis
Apakah fase politik identik dengan
perbenturan dakwah yang lebih keras dengan berbagai kekuatan?
Tergantung pada sudut pandangnya. Kalau tinjauannya itu semata-mata study komparatif dengan apa yang terjadi di negeri lain, itu kurang adil. Karena kita memiliki ciri yang khas, kondisi yang khas, sejarah yang khas, dan juga keanekaragaman tertentu yang khas.
Kalau dugaan
bahwa dakwah akan berbenturan dengan berbagai kekuatan lain karena masuk dalam
fase politik, saya lebih cenderung pendapat itu baru bisa dikatakan benar biala
diukur dari SWOT perjalanan gerakan dakwah kita sendiri. Kalau dari SWOT itu ada
kesimpulan begitu, ya mungkin itu benar. Tapi bila tidak, ya anggapan itu tidak
adil.
Bagaimana antisipasinya?
Saya pikir sepanjang perjalanan dakwah, ditahapan manapun, antisipasi yang harus dilakukan adalah, bagaimana kita berpegang pada nilai-nilai Islam yang asasi. Misalnya, Islam itu dien yang fitri, menjaga tadarruj, dan tawazun. Tawazun misalnya, bisa disederhanakan dengan pengertian menjaga keseimbangan antara dimensi spiritual, intelektual, dan fisikal. Saya melihat kadangkala dalam menerjemahkan nilai-nilai Islam itu tidak tawazun.
Kita
ambil contoh nilai tadhiyah (pengorbanan). Kita seringkali mengatakan pengorbanan
itu melulu dalam konteks pengorbanan fisik atau amali. Padahal harus tawazun.
Bukan hanya fisik yang dikorbankan, tapi juga intelektual agar kita
betul-betul melandaskan diri pada hasil pemikiran dan pengurasan gagasan yang
dalam.
Begitu juga kontribusi spiritual. Artinya, ketika
kita memberikan kontribusi amali sekaligus fikri, kita juga harus
memberi kontribusi ruhi kepada masyarakat sekitar kita. Sehingga mereka
bukan saja merasakan keterlibatan pe (Hal 18) ngorbanan kita di bidang fisik
tapi juga merasakan ”radiasi spiritual” kita.
Kaitannya dengan tuntutan dakwah yang
memang berat?
Kadangkala kita melihat bahwa ada semacam
sektoralisasi tadhiyah. Orang hanya bisa dinilai berkorban, kalau ia
secara fisik melakukan pengorbanan. Waktunya, kehadirannya. Padahal pengorbanan
itu menyangkut spiritual dn intelektual.
Baca Juga: Melihat Indonesia Lebih Dekat
Sebelum berkorban kita juga harus memiliki bahan untuk berkorban. Bekalnya harus ada. Bagaimana orang bisa berkorban kalau ia sendiri tidak memiliki bekal. Tidak mungkin orang bisa berkorban secara amali kalau dia sendiri tidak mempunyai bekal untuk itu. Misalnya, badannya sakit-sakitan, kan nggak mungkin.
Begitu juga secara pemikiran dan
gagasan, bagaimana bisa berkorban kalau ia tidak mensuplay dirinya dengan
fikiran, informasi, ilmu dengan membaca, menghadiri taklim, ikut tarbiyah. Begitu
juga, bagaimana seseorang bisa memberi radiasi spiritual positif kepada
lingkungannya, kalau ia sendiri secara spiritual gersang.
Ini yang saya khawatir, bahwa dalam perjalanan kita,
ada semacam sektoralisasi dalam melaksanakan nilai Islam. Begitu juga dalam
masalah fitrah. Saya berpendapat, selamanya hal-hal yang fitrah itu tidak boleh
diabaikan. Tidak boleh ada tahapan tertentu yang karena sedemikian besar
tuntutannya kita harus mengorbankan hal-hal yang sangat fitri.
Kelihatannya itu konteksnya pribadi.
Bagaimana kalau konteksnya jama’ah dakwah?
Saya kembali pada konteks keseimbangan. Yakni harus ada keseimbangan antara memperhatikan public interest dengan personal interest. Kepentingan publik dalam hal ini jama’ah dakwah dan kepentingan pribadi dalam arti diri orang yang ada dalam jama’ah itu.
Artinya tidak boleh seseorang itu dengan
dalih ia adalah anggota jama’ah dakwah kemudian ia memperhatikan kepentingan
jama’ah sampai ia menglikuidir kepentingan diri sendiri. Itu bertentangan
dengan fitrah. Fitrah setiap orang ingin merealisir dirinya, tahqiqu dzat.
Tapi juga sebaliknya, kalau setiap orang
memperhatikan personal interestnya sampai melikuidir public interest,
di mana ia sangat memperhatikan kepentingan pribadi sampai menglikuidir
kepentingan dakwah, itu juga salah. Sebab, buat apa ia memperhatikan
kepentingan pribadinya kalau bukan untuk kepentingan yang lebih besar.
Baca Juga: Politik, Warisan Kenabian
Nah, saya kadang saya melihat problema kehidupan
berjama’ah itu terjadi dalam dua pengkutuban ini. Ada orang yang sedemikian
memperhatikan personal interestnya, tapi dakwah terabaikan. Sebaliknya
ada orang yang sangat memberi perhatian besar pada dakwah (Hal 19) sampai kepentingan pribadinya
tidak terperhatikan.
Semua ini tidak bisa dianggap sebagai bentuk
pengorbanan yang mulia, karena pada akhirnya jama’ah dakwah atau organisasi
dakwah didirikan supaya ada wadah bagi aktivis dakwah untuk melakukan
akselerasi pengembangan dirinya di dalam jama’ah dakwah itu. Jadi keberadaannya
dalam jama’ah dakwah bukan saja untuk membackup jama’ah itu tapi juga
dia sendiri dapat tempat penyaluran bagi pengembangan dirinya.
Faktor apa yang paling mempengaruhi
kondisi tersebut?
Pemahaman, itu faktor yang paling utama. Ini bisa
dilihat dari ayat Al Qur’an, bagaimana
Allah memerintahkan kita untuk menerima plat form akidah kita: Laa
ilaahaa illallah. Allah tidak mengatakannya dengan seruan yang bersifat
indoktrinatif: terima laa Ilaahaa Illallah. Tapi fa’lam annahu laa
ilaahaa illallah. Arti fa’lam di sini diantaranya, bukan hanya
ketahuilah, tapi kajilah dan renungilah.
Saya ingin menekankan bahwa alfahmu, ala
bashirah, itu menjadi sandaran utama. Tapi seperti yang disebutkan Hasan al
Banna, setelah al fahmu ada al ikhlash. Pengaruh ikhlaslah yang
sangat luar biasa dalam menentukan ”seni keterikatan.” perpaduan keduanya
melahirkan rukun ketiga yaitu al amal. Kerja yang dilandasi oleh dua hal
sebelumnya melahir amal, yang kalau menurut hemat saya apa yang disebut dengan
seni keterikatan tadi.
Bagaimana agar paham tentang semua ini
tetap terpelihara?
Kita harus memilihara komitmen, minimal dengan
seorang anggota jama’ah dakwah, dan juga dengan jama’ah itu sendiri. Itu yang
saya istilahkan dengan halaqoh, pertemuan atau pembinaan rutin. Selama
orang berpegang pada hal itu, pada hakikatnya ia berpegang pada lingkup
komitmen dan seni keterikatan.
Pesan Bapak untuk para aktivis dakwah?
Dalam kondisi seperti yang sedang kita hadapi
sekarang, mari kita mempersiapkan diri, terutama dalam tiga hal tadi,
spiritual, intelektual dan fisikal sebaik mungkin. Jangan terlalu memberi
perhatian mobilitas fisik semata, hingga tanpa kita sadari justru kita melakuan
al harokah biduni aqlin wa qolbin (Aktifitas tanpa akal dan hati).
Baca Juga: KarenaSyaitan itu Musuh …
Akhirnya kita tidak bisa lagi menghayati gerakan yang mengandung makna. Kita bergerak hanya merasa harus bergerak, bukan dengan penghayatan yang dinikmati. Lezatnya berkorban, lezatnya memberi kontribusi pada dakwah tak terasa karena ya sudah perintahnya.
Kalau sudah begitu, yang
berkembang adalah sebuah lingkungan yang bersuasana monolitik. Seperti pada
zaman orba itu, kita semua rakyat Indonesia mengatakan, ”ya sudah aturan
mainnya begini. Bagaimana kita tidak terlibat korupsi, ya memang sudah begini.
Ya itu bahaya.
Kedua, mari kita menyadari bahwa politik itu
penting. Tapi harus kita sadari ia bukan segala-galanya. Ia hanya salah satu
aspek dari kehidupan kita yang harus kita perjuangkan, sesuai dengan syumuliatuddakwah.
Ketiga, kita menyadari bahwa secara global, secara alami, pada hakikatnya dunia ini ada pada kekuasaan mulkan jabariyan (kekuasaan diktator). Skala global dan dunia. Sehingga kita harus menyadari bahwa apa pun hasil pemilu kita harus tetap berhati-hati. Mengingat kekuasaan global masih ada di tangan mulkan jabariyan, tampaknya kita harus bersiap menghadapi kemungkinan paling pahit.
Majalah Tarbawi, Edisi 002 Th.I, Rabiul Akhir 1420, 20 Juli 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar