Senin, 28 April 2025

Bersiap Menghadapi Kemungkinan Terpahit

  


H. Muhammad Ihsan Tanjung

Anggota MPP Partai Keadilan

 

Bersiap Menghadapi Kemungkinan Terpahit
Bersiap Menghadapi Kemungkinan Terpahit

(Hal 16) Pilar apa saja yang harus dimiliki oleh gerakan dakwah setelah memasuki era politik?

Kita harus melihat pada sirah Nabi. Kalau kita lihat, para sahabat baru memasuki political environment atau keterlibatan politik itu pada fase Madaniyah. Terbukti dengan terbentuknya masyarakat Madani di Madinah. 

Saat itu, kaum Muslimin bukan saja secara jumlah mayoritas, tapi mereka secara kualitatif memegang kendali berbagai aspek kehidupan. Termasuk aspek sosial politik, hukum, ekonomi, yang berarti praktis mereka yang mengendalikan perjalanan hidup masyarakat tersebut.

Baca Juga: Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang TidakPernah Selesai

Peranan Rasulullah dalam kapasitas pribadi?

Nabi kita mendapat julukan al amin. Julukan ini beliau dapati bukan saja ketika beliau menjadi Nabi. Bahkan sebelum menjadi Nabi beliau sudah menjdapatkan julukan itu. Kedua, julukan itu bukan diberikan oleh para sahabat atau pengikut Nabi. Tapi julukan itu justru diberikan oleh publik musyrikin jahiliyah di Makkah. 

Yang berarti ini julukan yang mencerminkan kondisi objektif prilaku atau pribadi Rasulullah SAW. Nah, dari hal ini saya menarik kesimpulan bahwa, tidak mungkin kita  melangkah ke tahap manapun sebelum kita masing-masing sebagai pribadi dalam umat mengembangkan sifat al amin itu, sifat terpercaya itu. Selain itu, kita harus mengembangkan berbagai kredibilitas (Misdaqiyah).

Apa saja Kredibilitas tersebut?

Kredibilitas Rasul bisa kita lihat dari berbagai sudut. Pertama, misdaqiyah maknawiyah. Yang tampil dalam bentuk akhlak, suluk, yang mengandung segala nilai-nilai positif: kejujuran, amanah, kesetiakwanan dan sebagainya.  Ini yang paling menonjol dari pribadi Rasul.

Beliau juga mengembangkan kredibilitas lainnya. Misalnya, kredibilitas intelektual (Misdaqiyah Fikriyah). Sehingga masyarakat bukan saja mau mendengarkan ucapan Muhammad bin Abdullah karena beliau orang yang jujur, tapi juga karena beliau cerdas. Jadi dengan kata lain, kita sebagai pengikutnya, tidak mungkin memiliki kredibilitas, kalau hanya mengandalkan keikhlasan dan kejujuran, misalnya. Sementara kita tidak memiliki kecerdasan. Kita tidak memiliki kontribusi atau problem solving yang berkembang di masyarakat.

Leboh dari itu, Rasul bukan hanya secara moral dan intelektual kredibel. Tetapi juga kredibel di bidang operasional, atau (Misdaqiyah Amaliyah).

Baca Juga:  Indonesia Masih Kekurangan Ulama

Dalam urusan sosial, beliau bukan saja mampu memberi tawaran solusi, bahkan menunjukkan solusi itu memang handal. Contohnya bagaimana Rasul memberi perhatian kepada anak yatim, fuqara, dan masakin. Ini jelas mempercepat kepercayaan masyarakat. Ia bukan hanya menawarkan solusi tapi juga telah melakukannya.

(Hal 17) Leih dari itu Rasul adalah orang yang pertama kali menjalin silaturrahmi kepada semua pihak. Jangankan dengan orang yang jelas menerima dakwah Islam, bahkan kepada orang yang menentang dakwah, beliau membuktikan bahwa dirinya tidak memiliki konflik pribadi. 

Konfliknya adalah konflik ideologis. Tapi itu tidak menjadi alasan untuk tidak bersilaturrahim. Makanya Nabi tidak pernah mengelak untuk bertemu dengan gembong musyrikun siapa pun.  Rasul tetap terbuka untuk dialog dengan mereka. Inilah kredibilitas sosial (Misdaqiyah ijtimaiyyah).

Saya yakin, empat hal tadi menjadi pokok perhatian beliau selama fase Makkiyah, sekaligus merupakan sebuah investasi jangka panjang untuk pada akhirnya menuai kredibilitas politik di Madinah Munawarah. Maka kedatangan Nabi di Madinah, bukan hanya disambut oleh Muhajirin dan Anshar. 

Tapi kaum non Muslim juga menunggu-nunggu siapa Rasulullah, karena mereka sudah mendengar kebaikan-kebaikan beliau. Sehingga ketika beliau datang, dan ternyata terbukti benar apa yang mereka dengar, mereka begitu cepat menyambut. Kecuali orang yang memiliki hasad, karena satu dan lain hal.

Mereka yang membuktikan kebenaran berita tentang pribadi Rasul segera masuk Islam. Semua ini tentu mempercepat proses pengokohan political credibility. Makanya beliau segera diterima sebagai pemimpin baru di Yastrib.

Baca Juga: Pada Dasarnya, Masyarakat Kita Filantropis

Apakah fase politik identik dengan perbenturan dakwah yang lebih keras dengan berbagai kekuatan?

Tergantung pada sudut pandangnya. Kalau tinjauannya itu semata-mata study komparatif dengan apa yang terjadi di negeri lain, itu kurang adil. Karena kita memiliki ciri yang khas, kondisi yang khas, sejarah yang khas, dan juga keanekaragaman tertentu yang khas. 

Kalau dugaan bahwa dakwah akan berbenturan dengan berbagai kekuatan lain karena masuk dalam fase politik, saya lebih cenderung pendapat itu baru bisa dikatakan benar biala diukur dari SWOT perjalanan gerakan dakwah kita sendiri. Kalau dari SWOT itu ada kesimpulan begitu, ya mungkin itu benar. Tapi bila tidak, ya anggapan itu tidak adil.

Bagaimana antisipasinya?

Saya pikir sepanjang perjalanan dakwah, ditahapan manapun, antisipasi yang harus dilakukan adalah, bagaimana kita berpegang pada nilai-nilai Islam yang asasi. Misalnya, Islam itu dien yang fitri, menjaga tadarruj, dan tawazun. Tawazun misalnya, bisa disederhanakan dengan pengertian menjaga keseimbangan antara dimensi spiritual, intelektual, dan fisikal. Saya melihat kadangkala dalam menerjemahkan nilai-nilai Islam itu tidak tawazun. 

Kita ambil contoh nilai tadhiyah (pengorbanan). Kita seringkali mengatakan pengorbanan itu melulu dalam konteks pengorbanan fisik atau amali. Padahal harus tawazun. Bukan hanya fisik yang dikorbankan, tapi juga intelektual agar kita betul-betul melandaskan diri pada hasil pemikiran dan pengurasan gagasan yang dalam.

Begitu juga kontribusi spiritual. Artinya, ketika kita memberikan kontribusi amali sekaligus fikri, kita juga harus memberi kontribusi ruhi kepada masyarakat sekitar kita. Sehingga mereka bukan saja merasakan keterlibatan pe (Hal 18) ngorbanan kita di bidang fisik tapi juga merasakan ”radiasi spiritual” kita.

Kaitannya dengan tuntutan dakwah yang memang berat?

Kadangkala kita melihat bahwa ada semacam sektoralisasi tadhiyah. Orang hanya bisa dinilai berkorban, kalau ia secara fisik melakukan pengorbanan. Waktunya, kehadirannya. Padahal pengorbanan itu menyangkut spiritual dn intelektual.

Baca Juga: Melihat Indonesia Lebih Dekat

Sebelum berkorban kita juga harus memiliki bahan untuk berkorban. Bekalnya harus ada. Bagaimana orang bisa berkorban kalau ia sendiri tidak memiliki bekal. Tidak mungkin orang bisa berkorban secara amali kalau dia sendiri tidak mempunyai bekal untuk itu. Misalnya, badannya sakit-sakitan, kan nggak mungkin.

 Begitu juga secara pemikiran dan gagasan, bagaimana bisa berkorban kalau ia tidak mensuplay dirinya dengan fikiran, informasi, ilmu dengan membaca, menghadiri taklim, ikut tarbiyah. Begitu juga, bagaimana seseorang bisa memberi radiasi spiritual positif kepada lingkungannya, kalau ia sendiri secara spiritual gersang.

Ini yang saya khawatir, bahwa dalam perjalanan kita, ada semacam sektoralisasi dalam melaksanakan nilai Islam. Begitu juga dalam masalah fitrah. Saya berpendapat, selamanya hal-hal yang fitrah itu tidak boleh diabaikan. Tidak boleh ada tahapan tertentu yang karena sedemikian besar tuntutannya kita harus mengorbankan hal-hal yang sangat fitri.

Kelihatannya itu konteksnya pribadi. Bagaimana kalau konteksnya jama’ah dakwah?

Saya kembali pada konteks keseimbangan. Yakni harus ada keseimbangan antara memperhatikan public interest  dengan personal interest. Kepentingan publik dalam hal ini jama’ah dakwah dan kepentingan pribadi dalam arti diri orang yang ada dalam jama’ah itu. 

Artinya tidak boleh seseorang itu dengan dalih ia adalah anggota jama’ah dakwah kemudian ia memperhatikan kepentingan jama’ah sampai ia menglikuidir kepentingan diri sendiri. Itu bertentangan dengan fitrah. Fitrah setiap orang ingin merealisir dirinya, tahqiqu dzat.

Tapi juga sebaliknya, kalau setiap orang memperhatikan personal interestnya sampai melikuidir public interest, di mana ia sangat memperhatikan kepentingan pribadi sampai menglikuidir kepentingan dakwah, itu juga salah. Sebab, buat apa ia memperhatikan kepentingan pribadinya kalau bukan untuk kepentingan yang lebih besar.

Baca Juga:  Politik, Warisan Kenabian

Nah, saya kadang saya melihat problema kehidupan berjama’ah itu terjadi dalam dua pengkutuban ini. Ada orang yang sedemikian memperhatikan personal interestnya, tapi dakwah terabaikan. Sebaliknya ada orang yang sangat memberi perhatian besar pada dakwah (Hal 19) sampai kepentingan pribadinya tidak terperhatikan.

Semua ini tidak bisa dianggap sebagai bentuk pengorbanan yang mulia, karena pada akhirnya jama’ah dakwah atau organisasi dakwah didirikan supaya ada wadah bagi aktivis dakwah untuk melakukan akselerasi pengembangan dirinya di dalam jama’ah dakwah itu. Jadi keberadaannya dalam jama’ah dakwah bukan saja untuk membackup jama’ah itu tapi juga dia sendiri dapat tempat penyaluran bagi pengembangan dirinya.

Faktor apa yang paling mempengaruhi kondisi tersebut?

Pemahaman, itu faktor yang paling utama. Ini bisa dilihat dari ayat Al Qur’an, bagaimana  Allah memerintahkan kita untuk menerima plat form akidah kita: Laa ilaahaa illallah. Allah tidak mengatakannya dengan seruan yang bersifat indoktrinatif: terima laa Ilaahaa Illallah. Tapi fa’lam annahu laa ilaahaa illallah. Arti fa’lam di sini diantaranya, bukan hanya ketahuilah, tapi kajilah dan renungilah.

Saya ingin menekankan bahwa alfahmu, ala bashirah, itu menjadi sandaran utama. Tapi seperti yang disebutkan Hasan al Banna, setelah al fahmu ada al ikhlash. Pengaruh ikhlaslah yang sangat luar biasa dalam menentukan ”seni keterikatan.” perpaduan keduanya melahirkan rukun ketiga yaitu al amal. Kerja yang dilandasi oleh dua hal sebelumnya melahir amal, yang kalau menurut hemat saya apa yang disebut dengan seni keterikatan tadi.

Bagaimana agar paham tentang semua ini tetap terpelihara?

Kita harus memilihara komitmen, minimal dengan seorang anggota jama’ah dakwah, dan juga dengan jama’ah itu sendiri. Itu yang saya istilahkan dengan halaqoh, pertemuan atau pembinaan rutin. Selama orang berpegang pada hal itu, pada hakikatnya ia berpegang pada lingkup komitmen dan seni keterikatan.

Pesan Bapak untuk para aktivis dakwah?

Dalam kondisi seperti yang sedang kita hadapi sekarang, mari kita mempersiapkan diri, terutama dalam tiga hal tadi, spiritual, intelektual dan fisikal sebaik mungkin. Jangan terlalu memberi perhatian mobilitas fisik semata, hingga tanpa kita sadari justru kita melakuan al harokah biduni aqlin wa qolbin (Aktifitas tanpa akal dan hati).

Baca Juga: KarenaSyaitan itu Musuh …

Akhirnya kita tidak bisa lagi menghayati gerakan yang mengandung makna. Kita bergerak hanya merasa harus bergerak, bukan dengan penghayatan yang dinikmati. Lezatnya berkorban, lezatnya memberi kontribusi pada dakwah tak terasa karena ya sudah perintahnya.

 Kalau sudah begitu, yang berkembang adalah sebuah lingkungan yang bersuasana monolitik. Seperti pada zaman orba itu, kita semua rakyat Indonesia mengatakan, ”ya sudah aturan mainnya begini. Bagaimana kita tidak terlibat korupsi, ya memang sudah begini. Ya itu bahaya.

Kedua, mari kita menyadari bahwa politik itu penting. Tapi harus kita sadari ia bukan segala-galanya. Ia hanya salah satu aspek dari kehidupan kita yang harus kita perjuangkan, sesuai dengan syumuliatuddakwah.

Ketiga, kita menyadari bahwa secara global, secara alami, pada hakikatnya dunia ini ada pada kekuasaan mulkan jabariyan (kekuasaan diktator). Skala global dan dunia. Sehingga kita harus menyadari bahwa apa pun hasil pemilu kita harus tetap berhati-hati. Mengingat kekuasaan global masih ada di tangan mulkan jabariyan, tampaknya kita harus bersiap menghadapi kemungkinan paling pahit.


Majalah Tarbawi, Edisi 002 Th.I,  Rabiul Akhir 1420, 20 Juli 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar