Melihat Indonesia Lebih Dekat
Oleh Edi Santoso
(Hal-36) Ide
berkeliling Indonesia dengan sepeda motor ‘Honda win 100 cc’ terdengar agak
gila, apalagi dengan bekal seadanya. Toh bagi wartawan senior Farid
Gaban, perjalanan itu belum ada apa-apanya dalam hal risiko. Memang, mantan
wartawan Tempo dan Republika ini pernah
menhadapi tantangan yang lebih besar karena harus mempertaruhkan nyawa, yakni
saat meliput Perang Bosnia pada tahun 1993.
Bagi Farid, perjalanan bertajuk ‘Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa’ itu lebih merupakan upaya melihat Indonesia dari dekat. Bersama wartawan muda Ahmad Yunus, Farid mengurangi lebih 10.000 kilometer perjalanan keliling kepulauan (Hal-37) Indonesia selama hampir setahun penuh (2009-2010).
“Kami bersepeda motor menyusuri pesisir pulau-pulau besar Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Kami menaikkan motor ke feri, kapal perintis atau perahu kayu nelayan mengunjungi 40 gugus kepulauan yang tersebar di empat penjuru, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote,” kenang Farid.
Melintasi laut, bagi Farid
dan Yunus yang kebetulan sama-sama orang gunung, tentu menjadi pengalaman baru.
“Terbukti laut, dan pulau-pulau terpencil, tidaklah menakutkan. Bahkan
menyenangkan. Perjalanan kami adalah kombinasi antara petualangan di alam; kesenangan
menikmati segala yang indah meski sederhana; perjalanan jurnalistik karena kami
berdua wartawan; serta pembelajaran tentang hidup di laut dan pulau-pulau yang
kami rasa tak mungkin diperoleh dari buku, perpustakaan atau bangku kuliah,”
ujar dia.
Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat
Berikut perbincangan Tarbawi
dengan pria yang lahir di Wonosobo ini, di kantor Yayasan Zamrud
Khatulistiwa, Jakarta.
Ekspedisi
‘Zamrud Khatulistiwa’ ini kemudian dilembagakan menjadi yayasan?
Ya, kami ingin
melembagakan. Kami ingin mengajak lebih banyak orang untuk melakukan perjalanan
yang serupa, meski tak harus keliling Nusantara, untuk bisa lebih
mengeksplorasi Indonesia, baik potensi maupun masalahnya. Yang kami liput kan
sebetulnya bukan yang baik-baik saja tentang Indonesia, tetapai juga masalah
sosial dan lingkungan. Ini masih awal, mengajak orang berjalan dan
mendokumentasikan. Kalau orang jalan banyak, tapi yang mendokumentasikan
jarang.
Makna
berjalan itu sendiri seperti apa sebenarnya?
Berjalan ke suatu tempat itu penting, karena dengan begitu banyak belajar. Sebagian pelajaran tentang tempat-tempat itu bisa kita pelajari juga dari buku, tetap penting juga kita mengalami sendiri. Seperti yang kami lakukan, berjalan 10 bulan (Hal-38) menyusuri Nusantara.
Kita bisa menikmati secara jauh lebih dalam, tidak sekadar membaca. Saya juga menyelam. Kesadaran kita tentang potensi negeri ini akan lebih dalam. Dan yang tak kalah penting, adalah dimensi spiritual. Ketika kita menyelam, melihat keindahan bawah laut, kita itu terasa kecil, begitu pula saat malam hari di laut, di geladak kapal, kita melihat bintang-bintang di angkasa.
Kita bisa menikmati
karunia ilahi secara lebih dalam. Misalnya saat menyelam, saat melihat flora
fauna, betapa dahsyatnya. Hampir semua warna ada; ada warna pink; ungu, biru,
macam-macam. Kita merasa tak ada apa-apanya.
Bagaimana
awalnya, sehingga muncul ide ekspedisi ini?
Pertama, sebenarnya kami memang ingin menulis tentang Indonesia, terutama Indonesia sebagai negara kepulauan. Negara kita kan 2/3 wilayahnya laut. Kita punya 13.000 pulau. Artinya, kalau kita akan menulis Indonesia, pada dasarnya pasti akan menulis tentang laut, tentang pulau. Saya agak iri, karena banyak buku tentang Indonesia yang justru ditulis orang asing.
Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Ada beberapa tempat yang orang bule lebih mengenalnya dibandingkan kita. Juga
potensinya, dahsyat sekali, sayang belum banyak dieksplorasi. Saya orang
Indonesia, tapi tidak mengenal Indonesia. Pada dasarnya, sebagian besar orang
Indonesia tidak mengenal Indonesia. Saya juga merasa berdosa, pernah keliling
Amerika, ke Jerman, meliput perang Bosnia, pernah ke Palestina, Israel juga.
Saya mengenal Indonesia lebih banyak dari bacaan.
Anda
lakukan perjalanan jurnalistik itu justru setelah tak lagi menjadi wartawan
sebuah media. Bagaimana menyiasati pembiayaannya?
Kami menjual buku. Buku yang belum jadi itu saya jual ke beberapa lembaga. Kalau setuju, mereka membayar separuh di awal, untuk biaya liputan. Ternyata, proposal kami hanya laku di dua lembaga, tetapi itu juga sebetulnya kurang, sehingga kami menggunakan metode perjalanan berbiaya murah. Kami menggunakan sepeda motor, sehingga membuat kita lebih hemat. Kami memilih sepeda motor sederhana, Honda Win 100 cc.
Itu pun kami beli bekas. Sepeda motor Yunus buatan 2005, sementara
yang saya kendarai lima tahun lebih tua umurnya dari itu. Kami beli di Bandung,
keduanya dimodifikasi menjadi trail untuk mengantisipasi medan yang mungkin
kami hadapi. Kami tidur di mana saja. Kami bawa tenda, peralatan masak. Di
beberapa tempat kami juga menginap, tetapi kami pilih penginapan yang paling
murah. Kami biasa tidur di mushalla, di emper warung.
Apakah
Anda memang terbiasa dengan gaya berpetualang semacam itu?
Saya lahir dan tumbuh di pedalaman Jawa. Saya suka naik gunung ketika remaja. Bersama teman sebaya, saya senang membuat gubug jerami kapan saja musim panen tiba. Memancing dan mandi di (Hal-39) sungai-sungai pegunungan yang jernih, menyusuri hutan pinus dan akasia, berburu dan menikmati buah liar di pematang sawah, adalah sebagian dari kenangan paling berkesan tentang masa kecil. Selama di Jakarta, saya naik sepeda motor.
Baca Juga: Profesional
Kata orang, siapa saja yang survive
naik sepeda motor di Jakarta, maka di luar juga survive. Semasa
menjadi wartawan, saya juga biasa tidur di kolong jembatan layang, juga naik di
atap kereta api. Saya siap untuk kondisi terburuk. Jadi selama perjalanan,
hampir tidak menemui kesulitan berarti.
Ketika
hendak memulai perjalanan ‘gila’ bagaimana tanggapan keluarga Anda?
Istri saya sangat mendukung. Dia sangat menghormati profesi saya. Dia malah yang mendukung, misalnya saat saya malas untuk pergi ke Miangas, Sulawesi Utara, karena 10 hari di laut, dia malah yang ‘manas-manasi’ Ayo dong ke Miangas, jangan menyerah.’ Saya dan istri punya pemahaman yang sama, sehingga tak ada problem sama sekali. Anak kami juga sudah besar, jadi tak masalah. Persoalan semacam itu,bagi kami sudah selesai.
Dia menghormati profesi saya, saya menghormati
profesinya. Dia tahu persis risiko suaminya jadi wartawan, yang kadang harus
jalan. Saya meliput perang Bosnia, ketika istri saya hamil anak pertama 3
bulan, makanya anak saya, kami beri nama Sarajevani. Dengan risiko yang lebih
besar kan? Bahkan saya harus tanda tangan mati sewaktu naik pesawat.
Sejak
kapan sebenarnya Anda ingin melakukan ekspedisi ini?
(Hal-40) saya tidak pernah merencanakan secara khusus. Saya sebetulnya diajak teman pada tahun 2008, untuk bergabung dalam sebuah rencana ekspedisi keliling Kepulauan Indonesia dengan naik kapal tradisional Phinisi.
Saya begitu bersemangat, tapi
rencana itu terkatung-katung sampai kemudian secara bergurau saya mengatakan
akan naik sepeda motor keliling Indonesia jika rencana itu gagal. Rencana besar
itu akhirnya benar-benar gagal karena kurang sponsor. Tapi, haruskah uang atau
biaya menjadi kendala? Bagaimana kalau naik sepeda motor, lebih ringkas dan
lebih murah? Pada awalnya, ini seperti sebuah ide gila. Tapi, kenapa tidak?
Baca Juga: KarenaSyaitan itu Musuh …
Tadinya mau berangkat
sendirian, tapi teman-teman di sini bilang jangan sendirian, akhirnya ketemu
Ahmad Yunus. Dia suka alam, juga wartawan, jadi tak terlalu banyak beda.
Apa yang
Anda rasakan begitu keluar dari Jakarta?
Ada kejadian lucu, karena begitu keluar dari Jakarta, kita tersesat, masuk jalan tol. Jakarta ternyata lebih memusingkan dibanding banyak tempat. Pertama, arah kami kan Sumatera. Sebelumnya kami riset, memilih pulau-pulau mana yang mewakili Indonesia. Begitu sampai ke pulau-pulau itu, kesan pertama adalah Indonesia ini luas sekali.
Di Riau saja, punya 3.000 pulau. Maluku, punya sekitar 6.000 pulau. Ini negeri yang sangat luas. Kita cuma di Jakarta atau Jawa, mungkin tak bisa membayangkan masalahnya, juga potensinya. Menurut saya, potensinya besar sekali. Meski ekonomi bukan satu-satunya yang terpenting dari sebuah negara.
Kalau kita
memberdayakan banyak potensi ini, kita tak perlu menjadi salah satu negara
penghutang terbesar di dunia. Kita kaya laut, dan laut itu bukan hanya ikan,
tetapi juga mineral. Kita belum mengeksplorasinya. Riset kelautan kita sangat
sedikit. Laut juga lalu lintas. Kita ini berada di pertemuan dua samudera dan
dua benua, tapi kita tidak memanfaatkannya, yang memanfaatkannya justru Singapura.
Akhirnya
kita dimanfaatkan?
Kalau tidak hati-hati, kita bisa menjadi permainan negara-negara besar, seperti Amerika dan China. China sekarang ini investasi besar-besaran di Indonesia. Menurut saya dalam beberapa tahun mendatang kita akan lebih banyak didikte. Pemerintah berencana membangun jembatan selat Sunda. Iitu cara berpikir darat, bukan cara berpikir laut.
Kalau kita berpikir laut, kita membangun infrastruktur laut. Jembatan itu infrastruktur darat. Kita tak punya uang, dan saya dengar China yang akan membiayainya, Rp 140 triliyun, apa yang China minta sebagai konsesi? Dia minta pulau Enggano, yang berbatasan dengan samudera Hindia, China ini misalnya di blok di selat Malaka, mau lewat mana kalau ke Samudera Hindia? Kita tak sadar betul dengan potensi Indonesia yang sangat strategis.
Kita jual murah sumberdaya alam kita. Selama ini kita jual murah ke Amerika, sekarang kita jual murah ke China atau Malaysia. Malaysia banyak investasi besar-besaran kelapa sawit. Dan kelapa sawit merusak lingkungan dalam beberapa tahun mendatang, karena begitu ditanam kelapa sawit, tidak lagi bisa ditanami yang lain sesudahnya. Kelapa (Hal-41) sawit juga menyerap air yang sangat banyak. Malaysia tahu karena mereka sudah pengalaman. Hutan mereka sudah habis, maka lari ke Indonesia, merusak hutan kita sendiri.
Baca Juga: Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?
Kenapa
kita sulit menyadari itu semua?
Karena kita hanya berpikir Jakarta. Kenapa negara kita yang Allah berikan tropis? Tropis artinya matahari. Matahari kan sumber energi yang dahsyat. Ituu yang tidak dimiliki China, Rusia atau Kanada. Tapi riset kita tentang tropis sangat kurang. Solar sel saja, kita masih membeli dari China.
Dua pertiga negara kita adalah laut.
Artinya, laut menyimpan energi yang sangat besar. Sebagian diubah menjadi flora
dan fauna, tapi juga panasnya masih tersisa, maka ada teknologi ocean energy
convertion, tapi riset tentang ini juga masih lemah.
Apakah
daerah yang Anda lewati semuanya subur?
Sebagian besar subur. Setandus-tandusnya negara kita, mana yang lebih tandus dibanding Israel? Mereka bisa mengekspor buah-buahan dan sayur-sayuran ke Eropa. Kata banyak orang, Pulau Jawa sudah penuh, pertanian sudah pada puncaknya.
Di Wonosobo, saya punya
banyak kesempatan untuk keliling. Saya katakan, masih banyak tanah yang (Hal-42) tidak dimanfaatkan di Jawa ini. Kalau
pun dimanfaatkan, tidak secara efisien. Tidak memakai teknologi dan
pengetahuan. Petani, karena miskin, tidak bisa memanfaatkan dengan baik,
padahal mestinya tanah bisa lebih produktif. Nelayan juga begitu. Mestinya,
petani dan melayan itu kaya.
Anda
pindah ke Wonosobo karena keyakinan itu?
Memang, salah satu
motivasi saya ke Wonosobo adalah untuk menunjukkan bahwa saya bangga menjadi
petani, meski tanah saya tidak luas. Bertani itu pekerjaan yang terhormat.
Selama ini orang menganggap remeh-temeh dan tidak bergengsi. Kalau negara kita
ingin maju, pondasi pertanian dan perikanan harus kuat. Karena tidak ada negara
industri maju yang pertaniannya tidak kuat. Lihat saja Jepang, korea,
pertaniannya bagus. Kita meninggalkan pertanian, kita masuk ke industri, dan
bersaing dengan China, jelas kita kewalahan. Kita kini diserbu produk impor.
Pola makan anak-anak kita berubah. Dari beras, ke Mie Instan. Mie itu dari
mana? Dari gandum, yang harus kita impor. Padahal banyak komoditi lokal yang
dibelum diolah, misalnya singkong. Sapi juga kita impor. Semua impor, sehingga
kita akan terus bergantung.
Ada
masalah kebijakan yang salah juga?
Kita terlalu liberal. Di
negara yang katanya kapitalis pun tidak seperti itu. Subsidi pertanian di
Amerika, Australia itu tinggi, sementara di negeri ini, nyaris tak ada. Di
Belgia, tak ada McDonald. Di negeri kita, begitu bebasnya. Tak ada perlindungan
pada rakyat kecil. Di pelosok-pelosok ada banyak minimarket, yang mematikan
kios-kios kecil. Betapa kayanya negeri ini dan betapa kelirunya kebijakannya.
Mestinya
saat jalan-jalan itu Anda mengajak pejabat
Ya, saya sebenarnya pengen ajak mereka naik kapal PELNI, kapal yang begitu menyiksa, sungguh tak manusiawi. Kebanyakan kapal-kapal perintis itu kapal barang, yang orang-orang di pedalaman mengalaminya tiap hari. Seperti yang kami alami, kadang kapal terlalu penuh sehingga kami harus tidur berhari-hari di bawah tangga, atau di sekoci, atau berjejalan di geladak yang pengap dan bau keringat, muntah dan toilet yang mampet.
Martabat dan harga diri kami seperti dirampok jika naik kapal-kapal angkutan seperti itu. Lihatlah kembali secara jujur, tulus, problem dan potensi kita. Kita melihat ada otonomi daerah. Itu bagus, tetapi percuma kalau pejabat daerah berpikir cara Jakarta. Mereka selalu bilang investasi-investasi, tanpa memikirkan memberdayakan apa yang ada.
Baca Juga: Hanya Karena Kehendak Allah ....
Investasi
akan membuat kita terikat. Investasi pada dasarnya kan utang. Kita harus
belajar pada Umar bin Khatab, bagaimana dia (Hal-43)
memahami betul rakyatnya. Dia tak boleh hidup lebih mewah dari rakyatnya
yang paling miskin. Dia keliling, ada yang lapar tidak rakyatnya. Dia keliling,
tanpa didampingi dayang-dayang.
Setelah
ekspedisi ini usai, apakah ada dari pihak pemerintah yang mengundang Anda,
mungkin semacam masukan?
Sejauh ini belum ada. Kalau yang komplain ada, dari angkatan laut, karena saya menulis bahwa perompak di laut adalah aparat. Mereka tidak marah sih, Cuma mau cross check saja. Tapi itu memang realitasnya. Selama di perjalanan, kami tak pernah bermasalah dengan rakyat, mereka selalu welcome.
Hampir di semua tempat, kami
menginap di rumah-rumah nelayan. Dalam kesederhanaan hidup mereka, para nelayan
ini menyambut kami dengan baik, membantu kami, serta berbagi banyak cerita
tentang tradisi dan kehidupan mereka. Masalah yang kami hadapi selalu berkaitan
dengan aparat.
Dalam
perjalanan Anda, tidak mencoba mewawancarai pejabat setempat?
Jurnalisme, bagi kami,
punya kewajiban menyuarakan orang-orang yang tak bersuara atau mereka yang
suaranya jarang di dengar. Tapi, dalam media massa kita, berita cenderung
secara keliru hanya didefinisikan sebagai suara pejabat atau politisi. Mereka
sudah terlalu banyak disuarakan. Sementara, suara orang kebanyakan, petani atau
nelayan, apalagi di pulau-pulau terpencil, jarang sekali terdengar.
Lalu, apa
yang bisa kita lakukan untuk merubah itu semua?
Saya ingin menunjukkan sesuatu secara lebih fair. Saya tak semata ingin berpromosi yang melenakan, bahwa negara kaya raya, indah, karena itu sudah jelas. Saya ingin menunjukkan karena itu sudah jelas. Saya ingin menunjukkan bahwa negara ini salah urus.
Seperti transportasi
laut yang tidak memanusiakan orang itu. Itu yang paling sederhana, sebagaimana
juga dalam hal fasilitas kesehatan atau pendidikan dasar. Saya kira ada peluang
besar, dan itu berawal dari merubah cara pandang para pejabat, menjadi ‘melayani’,
bukan ‘dilayani’.
Baca Juga: Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku
Omong-omong,
kenapa Anda memutuskan berhenti menjadi wartawan?
Ini pilihan saja sebenarnya. Saya tidak mahir di manajemen. Sementara semakin lama di media, saya kan semakin senior. Artinya, saya harus masuk ke manajemen. Membosankan juga, karena kerjanya tiap hari rapat.
Kedua, ada keterikatan kalau
kita ada di organisasi, termasuk di organisasi media, sehingga kita tidak
bebas. Dengan menjadi independen seperti ini, saya bisa mengkritik media. Saya
bisa mengkritik Republika, mengkritik Tempo, atau juga televisi.
Kritisisme
Anda semacam itu, dari mana datangnya?
Saya kira, sebagian dari bacaan. Saya juga bersyukur bapak dan ibu mendidik untuk selalu kritis. Ibu saya guru, SD, bapak guru, SMP. Dari kecil, kami dirangsang untuk membaca. Kakek saya, tokoh masyumi, juga egaliter. Kalau cucu-cucunya datang, diajak debat filsafat.
Kakek saya punya karir politik sebagai anggota DPR lokal. Meski
keluarga Jawa, kami tidak kagum pada tokoh Jawa seperti Bung Karno atau siapa,
tapi pada Natsir, Moh Roem, Hatta. Pada orang-orang Sumatera. ***
Baca Juga: Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup
Biodata
Nama : Farid Gaban
Lahir: Wonosobo, 12 juli
1961
Pendidikan
Jurnalistik
-
Workshop Newsroom: Technology,
Organisation & Management, IFRA Workshop, Kuala Lumpur, Malaysia (1996)
-
Workshop Internet Publishing for
Newspapers, IFRA Workshop, Kuala Lumpur Malaysia (1996)
-
Short Course on Economic,
Journalism, Center for Foreign Journalist, Reston, Virginia, USA (1988)
-
The San Fransisco-based Asia
Foundation in Journalism and Writing (Fellowship, 1988)
Pengalaman
Kerja
-
Direktur PENA Learning Center,
Jakarta (2004-2006)
-
Redaktur Pelaksana Majalah Tempo
(1999-2003)
-
Redaktur Pelaksana Republika
(1993-1997)
-
Redaktur Edisi Minggu Berita
Buana (1989-1992)
- Sub-editor Majalah Editor (1987-1989) Investigation of the Effectiveness of Natural Insulators for Storage Water Tanks under Heating-up Conditions.
Majalah Tarbawi, Edisi 257, Th.13 Ramadhan 1432 H, 11 Agustus 2011 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar