Sabtu, 20 April 2024

Raihlah Ampunan Allah di Sini Sebanyak-banyaknya

 

Raihlah Ampunan Allah di Sini Sebanyak-banyaknya [1]

Oleh Sulthan Hadi  

(Hal-17) upaya kita mengoptimalkan puasa dan segala ibadah yang terkait dengan kesempurnaan Ramadhanyang sedang kita jalani ini, adalah  untuk  mendapatkan keridhaan dan maghfirah dari Allah SWT. Siapa yang tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan ini, maka pasti ia telah merugi. Sebab dengan jalan itulah, ketakwaan kita kepada Allah SWT akan bertambah. Tak ada ketakwaan tanpa ampunan Allah SWT. Dan tidak ada ampunan di bulan ini tanpa memaksimalkan dan menjaga puasa kita dari hal-hal negatif.

Raihlah Ampunan Allah di Sini Sebanyak-banyaknya

Di Ramadhan ini, setiap detik kehidupan sangatlah bermanfaat. Semua bisa menjadi kucuran ampunan jika kita bertaubat dan memintanya kepada Allah SWT. Dan karena itu ia tidak boleh ternoda. Namun demikian, ada titik-titik tertentu yang harus kita jaga dan maksimalkan. Ada momen-momen yang kita dimotifasi oleh Rasulullah SAW agar mendapatkan ampunan di sana. Maghfirah Allah SWT menanti kita di sana. Dan inilah momen-momen itu, semoga kita tidak menodai Ramadhan kita karena kita melewatkannya.

Ampunan Allah Ketika Berpuasa

Puasa adalah ibadah inti di bulan suci ini. Ini yang difardhukan Allah SWT kepada kita. Ini pula yang akan mengantarkan kita kepada derajat takwa seperti yang Dia sampaikan dalam firman-Nya. Karena itu, di sini kita harus memaksimalkan diri. Menjaga sebaik mungkin diri kita agar tidak terjebak ke dalam satu pun perbuatan tercela, yang bisa mengurangi ataupun menghilangkan pahala puasa yang kita kerjakan.

Di bulan Ramadhan, memang sangat banyak pilihan kebaikan yang bisa kita lakukan. Bahkan, meskipun sekadar amalan sunah, tetapi di bulan ini semua menjadi setara dengan ibadah-ibadah wajib di sisi Allah SWT. Semua tentu karena keagungan Ramadhan. Namun kita tidak boleh melupakan  puasa kita. Puasa kita lebih pantas diutamakan dari segalanya tanpa meninggalkan yang sunah. Sebaliknya, yang sunah tidak pantas kita utamakan sementara puasa kita lalaikan. Tidak benar, jika kita sibuk berinfak atau memberi takjil bagi orang-orang yang berpuasa karena mengharap pahala puasa, misalnya, sedang kita sendiri tidak berpuasa, atau berpuasa tapi tidak memuasakan mata, lidah dan hati kita dari perkara-perkara yang haram. Kesempurnaan puasa haruslah menjadi (Hal-17) prioritas di bulan ini.

Sebab melalui puasa kita yang benar itulah, maka Allah akan melimpahkan pada kita ampunan-Nya yang tak terhingga. Rasulullah SAW menegaskan,

“Barangsiapa  yang menjalankan ibadah puasa karena iman dan mencari ridha Allah SWT, maka diampuni dosanya yang telah lalu.”

Beliau juga bersabda,

“Tidak ada seorang hamb yang berpuasasehari di jalan Allah Swt, kecuali dengan sehari itu Allah menjauhkan dirinya dari neraka tujuh puluh tahun.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Untuk itu, marilah kita mencari ampunan Allah dengan memelihara puasa kita, menjaga ketulusan niat dan kesucian hati dari semua tujuan-tujuan negatif, agar puasa kita mendatangkan maghfirah dari Allah SWT, serta menjadi syafaat bagi kita, nanti di hari akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

“Puasa dan Al Qur’an akan memberi syafaat kepada hamba pada hari kiamat. Puasa berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makan dan syahwat di siang hari maka jadikanlah aku syafaat baginya.” Al Qur’an berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya untuk tidur di malam hari maka jadikanlah aku syafaat baginya.” Maka keduanya diizinkan memberi syafaat.”

Ampunan Allah Ketika Sedang Berbuka

Saat-saat berbuka bagi yang sedang berpuasa, bukanlah semata saat-saat menikmati makanan untuk melepaskan rasa lapar dan dahaga setelah berlelah-lelah menahan diri di siang hari. Saat-saat berbuka bagi orang yang berpuasa, menurut Rasulullah adalah saat-saat membahagiakan, dan kebahagiaan itu adalah kebahagian pertama sebelum mereka mendapatkan kebahagiaan kedua, yaitu Ketika mereka menatap wajah Allah tanpa penghalang sedikitpun.

Ketika kita berpuasa sehari penuh dan kita tidak berbuka karena Allah; maka saat berbuka tentunya kita ingin membuktikan kebenaran puasa kita pada-Nya, dan saat itulah Allah ingin memberikan hadiah-Nya, kepada hamba-hamba yang benar-benar dalam puasanya. Saat itulah kita memiliki kesempatan yang penting untuk kita memohon ampun kepada-Nya dari segala macam kesalahan. Saat itu Allah begitu dekat dengan kita, hamba-hamba-Nya. Allah mendengar dan mengijabah permohonan kita. Doa orang yang berpuasa dan doa orang yang berbuka diterima Allah SWT. Syaikhul Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Doa akan dijawab sewaktu hujan turun, tatkala berada di medan pertempuran, Ketika azan dan iqomah, di dalam shalat Ketika sujud, doa orang yang berpuasa, doa orang musafir, doa orang yang dizhalimi, dan sebagainya. Kesemua ini telah dating dari hadits-hadits yang ma’ruf di dalam shahih dan sunan.”

Namun berapa banyak dari kita yang tidak menyadari hal ini? Berapa banyak dari kita yang melalaikan waktu yang sangat utama ini? Berapa banyak orang yang tidak menyempatkan diri berdoa selain doa berbuka, tanpa menyadari bahwa kita telah melepaskan kesempatan berharga memohon kepada Allah terhadap keinginan kita, yang sangat mustajab itu?

Baca Juga : Jangan Nodai Ramadhan Kita 

Betapa sering kita tidak menyempatkan diri merenung di saat pertama kali meneguk air minum dengan mengingat seluruh dosa-dosa telah lalu, dan mengingat sehari penuh kita telah berpuasa menahan seluruh nafsu untuk Allah.

(Hal-19) di sini, kita seharusnya meminta hak kita, memohon sesuatu kepada Allah agar dosa dan kesalahan kita diampuni, karena doa dan permintaan kita didengar dan diijabah.

Merugilah kita yang tidak menyadari hal ini. Karenanya, kita tentu harus melihat permohonan kita selama 30 hari kesempatan. Apakah ampunan Allah menjadi target yang harus kita capai di sini. Jika itu yang menjadi keinginan kita, maka saat berbukalah keinginan ini kita utarakan.

Pintu ampunan Allah tidak hanya terbuka saat kita berbuka, tetapi juga Ketika kita memberi buka kepada orang yang berpuasa. Ini juga tidak boleh terlupa. Sebab Rasulullah bersabda,

“Barangsiapa yang di dalamnya (bulan Ramadhan) memberi ifthar kepada orang berpuasa, niscaya hal itu menjadi sebab ampunan dari dosa-dosanya, dan pembebasan dirinya dari api Neraka.”

(HR. Ibnu Khuzaimah)

Itulah manajemen Ramadhan kita: berdoa dan beristigfar Ketika berbuka, dan memberi buka kepada orang yang berpuasa, agar kita mendapatkan ampunan dari Allah dan agar Ramadhan ini (tidak) rusak dan ternoda.

Ampunan Allah di Saat-Saat Malam

Waktu malam di bulan Ramadhan adalah saat-saat yang juga sangat berharga untuk dilewatkan begitu saja. Di tengah malam, Allah SWT akan turun dan menyaksikan hamba-hamba-Nya yang bermunajat dan beribadah kepada-Nya. Maka alangkah indahnya, jika dalam saat-saat itu Allah SWT menatap kita dengan tatapan ampunan karena kita sedang dalam kebaikan; melakukan qiyamullail, berdzikir, dan berdoa meminta maghfirah-Nya. Sebab Rasulullah SAW telah bersabda,

“Barangsiapa  (Hal-20) yang mendirikan malam Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”

Keberkahan malam tidak hanya diberikan Allah SWT karena kita melakukan shalat, dan amalan-amalan yang jelas terlihat sebagai ibadah, tetapi hingga pada saat-saat kita sedang makan sahur. Rasulullah SAW bersabda,

“Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walau salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan para malaikat bershalawat atas orang-orang yang bersahur.”

(HR. Ibnu Abu Syaibab dan Ahmad)

Ada dua kata kunci dalam hadits ini, yaitu sahur dan keberkahan. Sahur adalah ‘ritual’ menyantap makanan menjelang fajar dan sebelum subuh bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah puasa, tetapi di bulan Ramadhan ini menjadi amalan sunnah yang dianjurkan

Baca Juga: Menyelami Hikmah Ibadah 

Kedua adalah keberkahan. Keberkahan itu, menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah adalah kenikmatan atau tambahan yang mengandung hakikat sebagai kebaikan yang banyak dan terus-menerus, di mana sifat tersebut tidak berhak dimiliki kecuali Allah Tabarakallahu wa Ta’ala. Dari makna ini dapat kita simpulkan bahwa keberkahan adalah suatu sifat yang di dalamnya mengandung kebaikan. Berkah bisa berkaitan dengan ucapan dan perbuatan, tempat dan waktu. Sahur adalah perkara yang setidaknya mengandung dua keberkahan, yaitu keberkahan dalam hal perbuatan dan keberkahan dalam hal waktu pelaksanaan.

Berkaitan dengan waktu, keberkahan sahur terjadi karena dilakukan di sepertiga malam terakhir. Inilah waktu mustajabnya doa; saat Allah turun ke bumi; dan saat orang-orang beriman melakukan qiyamullail. (QS. Al Isra’:79)

Bila dua keberkahan ini; perbuatan dan waktu menjadi satu, maka sangat rugi bila kita mengabaikannya. Bukankah Rasulullah pernah bersabda,

“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia Ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman,”Siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Siapa yang minta kepada-Ku, Aku akan memberinya, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya.”

(HR. Bukhari)

Ampunan Allah di Sepuluh Hari Terakhir

Kita tahu, inilah hari-hari di mana Rasulullah SAW dan para sahabatnya semakin giat dalam beribadah. Mereka bahkan membangunkan keluarganya untuk melakukan hal yang sama. Mereka  tidak lagi memperhatikan kepentingan-kepentingan duniawi mereka. Aisyah Ra meriwayatkan,

“Apabila sudah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, biasanya Rasulullah SAW mengencangkan lilitan sarungnya dan membangunkan keluarganya. “

Mengapa mereka begitu antusias? Karena mereka mengejar pahala yang sangat besar di sini, yaitu keutamaan malam Lailatul Qadar; malam yang serupa dengan seribu bulan. Rasulullah SAW bersabda,

“Barangsiapa yang melakukan shalat malam di malam Lailatul Qadar dan mengharap pahala Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.”

(Hadits Muttafaq ‘Alaih)

Di sini biasanya semangat  ibadah kita justru mulai menurun. Kita mulai sibuk dengan urusan mempersiapkan raya, (Hal-21) berbelanja, memperindah rumah, dan sebagainya. Sementara kita melupakan apakah amal-amal kita di bulan mulia ini sudah bisa mengubah diri kita menjadi lebih baik atau belum, apakah dosa-dosa kita sudah diampuni atau belum.

Baca Juga: Mereka yang Terkabulkan Permintaannya Melalui Iktikaf 

Sepuluh hari terakhir adalah rambu-rambu perpisahan dengan Ramadhan. Kita seharusnya lebih banyak merenung, menginstropeksi diri, tentang perjalanan ibadah yang kita jalani. Kita seharusnya memperbanyak istigfar karena kita pasti masih banyak melakukan kekurangan. Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat ke berbagai pelosok negeri yang ada dalam kekuasaannya, memerintahkan agar mereka mengakhiri Ramadhan dengan istigfar dan zakat fitrah. Sebab zakat fitrah dapat membersihkan orang yang telah melakukan puasa dari perbuatan keji dan sia-sia. Sedangkan istigfar melengkapi kekurangan yang ada pada puasa akibat perbuatan tersebut.

Istigfar sangat dianjurkan di sini. Orang-orang shalih banyak melakukannya Ketika sesaat lagi mereka akan berpisah dengan Ramadhan. Apalagi Ramadhan Hampir berakhir, tak ada yang dipintanya kepada Allah kecuali ampunan, sebagaimana halnya orang-orang yang berbuat kesalahan.

Puasa kita tentu butuh kepada istigfar agar amal shalih ini dapat memberi syafaat. Betapa banyak puasa kita yang ternodai karena perkataan, perbuatan dan sikap kita yang tidak baik, karena itu kita harus berusaha menambalnya kembali dengan istigfar. Kita perlu melakukannya agar Ramadhan kita tidak semakin ternoda.

Ramadhan harus kita jadikan kesempatan untuk mendapatkan ampunan Allah, seluas-luasnya. Karena kalau bukan di sini, maka kapankah kita bisa melakukannya dengan baik. Qatadah Rahimahullah mengatakan,

“Dahulu sering dikatakan,”Barangsiapa yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka tidak akan diampuni di bulan-bulan lainnya.”

Dalam sebuah riwayat dikatakan,

“Jika tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka kapan lagikah diampuni orang yang tidak mendapat ampunan di bulan ini.”

Semoga kita tidak lupa untuk selalu beristigfar di bulan ini, terutama saat-saat yang memang kita telah dianjurkan untuk melakukannya lebih banyak lagi. ***

 

 

 

                     



[1] Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429  H, 11 September  2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar