Mengendalikan
Teknologi[1]
[2]
Edi Santoso[3]
(Hal-48) Kehadiran teknologi sering bermata dua, membawa manfaat sekaligus
menyimpan mudharat. Wacana tentang dampak teknologi tidak ada habisnya,
sampai-sampai ada yang beranggapan teknologi telah mendeterminasi hidup manusia
sedemikian rupa (technological determinism). Manusia kemudian terkesan tidak
berdaya oleh ekses teknologi yang diciptakannya sendiri.
Pandangan ini mengandaikan, teknologi
berkembang dengan logikanya sendiri sebagai produk sains. Ada penemuan-penemuan
ilmiah, ada penciptaan alat, dan kemudian bertemu dengan kehidupan praktis
manusia. Ada kemudahan-kemudahan hidup yang ditawarkan teknologi, tetapi orang
juga selalu merasakan eksesnya. Kehadiran mesin-mesin produksi misalnya,
menghadirkan efisiensi kerja yang luarbiasa, tetapi di sisi lain mengancam
penyerapan tenaga kerja manusia.
Karena itulah, sulit mengatakan teknologi itu
netral. Jika dilihat secara teknis, misalnya pada konstruksi mesin dan
prinsip-prinsip kerjanya, teknologi tentu saja netral. Artinya, secara teknis,
teknologi bisa diterapkan dimanapun, dalam konteks budaya apapun. Dalam
perspektif teknis, penerapan teknologi tak lebih dari adaptasi dan
fungsionalisasi.
Namun, kata Arnold Pacey – pemikir MIT,
penerapan teknologi tidak pernah bisa bisa lepas dari dimensi budaya. Seperti
orang Eskimo yang mengadopsi kendaraan bersalju berbasis mesin, menggantikan
kereta anjing mereka. Ada aktifitas yang berubah, seperti kebiasaan memanaskan
mesin di pagi hari, perhatian pada konstruksi mesin, spart part, perlunya
bengkel, dan lain-lain. Dimensi moral pada teknologi akan Nampak ekstrim pada
teknologi tempur, seperti penggunaan nuklir dalam peperangan yang akan
menimbulkan tragedy kemanusiaan. Dalam dimensi politik teknologi adalah medium
penguasaan. Misalnya teknologi komunikasi, bisa menjadi kendali penguasaan
khalayak.
Teknologi, tandas Pacey, tak pernah bebas
nilai dan ideology. Nilai dan ideologi mewakili cara pandang kita atas
teknologi. Atau dalam bahasa Pacey, nilai dan ideologi itulah yang mendasari
kita dalam mendefinisikan atau memaknai teknologi. Secara garis besar, dia
mengatakan bahwa teknologi didefinisikan berdasarkan tiga aspek, yakni budaya,
organisasi, dan aspek (hal – 49) teknis.
Aspek teknis berkenaan dengan teknologi
sebagai buah pengetahuan, yang berisi konstruksi teknis, misalnya mesin dengan
segala kerumitan dan prosedurnya. Aspek budaya memandang teknologi berdasarkan
tujuan penggunaan, nilai dan etika, keyakinan dan sebagainya. Dalam aspek ini,
teknologi bisa ditafsirkan secara beragam oleh berbagai komunitas. Seperti di
sebuah perkampungan di Bogor, para tetua masyarakat setempat mengharamkan radio
dan televisi, karena dianggap merusak nilai-nilai lokal.
Sedangkan aspek organisasi memandang
teknologi sebagai buah aktivitas ekonomi. Maka, di dalamnya dipertimbangkan
aktivitas profesionalnya, industrinya, pengguna, dan lembaga-lembaga
perdagangan. Pertimbangan-pertimbangan ekonomi, dalam beberapa hal, mengarahkan
lau teknologi. Seperti diilustrasikan oleh Raymond Williams, perkembangan
teknologi audio visual berkaitan erat dengan kebutuhan industry perfilman di
Hollywood yang terus menuntut kesempurnaan visual dan tata suara.
Mempersoalkan siapa mempengaruhi siapa,
teknologi atau masyarakat, nampaknya tidak akan ketemu, karena faktanya memang
saling mempengaruhi. Seperti dalam teknologi seluler, perkembangan smartphone pesatnya bukan main. Selalu
ada fitur-fitur baru untuk menjawab permintaan pasar yang menggiurkan.
Kecenderungan masyarakat pun diafirmasi sedemikian rupa, misalnya kebiasaan
kita ngerumpi atau ngobrol dijawab dengan perangkat-perangkat yang memudahkan
layanan media sosial. Pada sisi yang berbeda, inovasi-inovasi gadget tak urung selalu merangsang
orang untuk terus mengganti perangkat lamanya. Kita serasa digiring untuk terus
mengikuti tren teknologi, baik dari sisi software ataupun hardware-nya.
William menegaskan teknologi adalah entitas
budaya. Kita sepenuhnya yang membentuk dan mengendalikan teknologi. Kita yang
memaknai secara sosial budaya bagaimana teknologi semestinya berperan dalam
hidup kita. Ini soal barang dan pemakaian, bentuk dan isi. Kita mungkin tak
bisa mengendalikan penciptaan barang, tetapi kita bisa mengatur pemakaiannya.
Kita mungkin tak kuasa menentukan bentuk teknologi, tetapi kita punya peluang
untuk memilih isinya. Maka baik buruknya teknologi semua akan kembali kepada
kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar