Minggu, 06 September 2020

Mengendalikan Teknologi

Mengendalikan Teknologi[1] [2]

Edi Santoso[3]

(Hal-48) Kehadiran teknologi sering bermata dua, membawa manfaat sekaligus menyimpan mudharat. Wacana tentang dampak teknologi tidak ada habisnya, sampai-sampai ada yang beranggapan teknologi telah mendeterminasi hidup manusia sedemikian rupa (technological determinism). Manusia kemudian terkesan tidak berdaya oleh ekses teknologi yang diciptakannya sendiri.



Pandangan ini mengandaikan, teknologi berkembang dengan logikanya sendiri sebagai produk sains. Ada penemuan-penemuan ilmiah, ada penciptaan alat, dan kemudian bertemu dengan kehidupan praktis manusia. Ada kemudahan-kemudahan hidup yang ditawarkan teknologi, tetapi orang juga selalu merasakan eksesnya. Kehadiran mesin-mesin produksi misalnya, menghadirkan efisiensi kerja yang luarbiasa, tetapi di sisi lain mengancam penyerapan tenaga kerja manusia.

Karena itulah, sulit mengatakan teknologi itu netral. Jika dilihat secara teknis, misalnya pada konstruksi mesin dan prinsip-prinsip kerjanya, teknologi tentu saja netral. Artinya, secara teknis, teknologi bisa diterapkan dimanapun, dalam konteks budaya apapun. Dalam perspektif teknis, penerapan teknologi tak lebih dari adaptasi dan fungsionalisasi.

Namun, kata Arnold Pacey – pemikir MIT, penerapan teknologi tidak pernah bisa bisa lepas dari dimensi budaya. Seperti orang Eskimo yang mengadopsi kendaraan bersalju berbasis mesin, menggantikan kereta anjing mereka. Ada aktifitas yang berubah, seperti kebiasaan memanaskan mesin di pagi hari, perhatian pada konstruksi mesin, spart part, perlunya bengkel, dan lain-lain. Dimensi moral pada teknologi akan Nampak ekstrim pada teknologi tempur, seperti penggunaan nuklir dalam peperangan yang akan menimbulkan tragedy kemanusiaan. Dalam dimensi politik teknologi adalah medium penguasaan. Misalnya teknologi komunikasi, bisa menjadi kendali penguasaan khalayak.

Teknologi, tandas Pacey, tak pernah bebas nilai dan ideology. Nilai dan ideologi mewakili cara pandang kita atas teknologi. Atau dalam bahasa Pacey, nilai dan ideologi itulah yang mendasari kita dalam mendefinisikan atau memaknai teknologi. Secara garis besar, dia mengatakan bahwa teknologi didefinisikan berdasarkan tiga aspek, yakni budaya, organisasi, dan aspek (hal – 49) teknis.

Aspek teknis berkenaan dengan teknologi sebagai buah pengetahuan, yang berisi konstruksi teknis, misalnya mesin dengan segala kerumitan dan prosedurnya. Aspek budaya memandang teknologi berdasarkan tujuan penggunaan, nilai dan etika, keyakinan dan sebagainya. Dalam aspek ini, teknologi bisa ditafsirkan secara beragam oleh berbagai komunitas. Seperti di sebuah perkampungan di Bogor, para tetua masyarakat setempat mengharamkan radio dan televisi, karena dianggap merusak nilai-nilai lokal.

Sedangkan aspek organisasi memandang teknologi sebagai buah aktivitas ekonomi. Maka, di dalamnya dipertimbangkan aktivitas profesionalnya, industrinya, pengguna, dan lembaga-lembaga perdagangan. Pertimbangan-pertimbangan ekonomi, dalam beberapa hal, mengarahkan lau teknologi. Seperti diilustrasikan oleh Raymond Williams, perkembangan teknologi audio visual berkaitan erat dengan kebutuhan industry perfilman di Hollywood yang terus menuntut kesempurnaan visual dan tata suara.

Mempersoalkan siapa mempengaruhi siapa, teknologi atau masyarakat, nampaknya tidak akan ketemu, karena faktanya memang saling mempengaruhi. Seperti dalam teknologi seluler, perkembangan smartphone pesatnya bukan main. Selalu ada fitur-fitur baru untuk menjawab permintaan pasar yang menggiurkan. Kecenderungan masyarakat pun diafirmasi sedemikian rupa, misalnya kebiasaan kita ngerumpi atau ngobrol dijawab dengan perangkat-perangkat yang memudahkan layanan media sosial. Pada sisi yang berbeda, inovasi-inovasi gadget tak urung selalu merangsang orang untuk terus mengganti perangkat lamanya. Kita serasa digiring untuk terus mengikuti tren teknologi, baik dari sisi software ataupun hardware-nya.

William menegaskan teknologi adalah entitas budaya. Kita sepenuhnya yang membentuk dan mengendalikan teknologi. Kita yang memaknai secara sosial budaya bagaimana teknologi semestinya berperan dalam hidup kita. Ini soal barang dan pemakaian, bentuk dan isi. Kita mungkin tak bisa mengendalikan penciptaan barang, tetapi kita bisa mengatur pemakaiannya. Kita mungkin tak kuasa menentukan bentuk teknologi, tetapi kita punya peluang untuk memilih isinya. Maka baik buruknya teknologi semua akan kembali kepada kita sendiri.

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 287 Th. 14, Muharram 1434 H, 13 Desember 2012 M.

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar