(Hal-40) Sungguh berat beban
para pengungsi itu. Mereka harus meninggalkan kampung halaman. Beberapa diantaranya harus kehilangan sanak
saudara. Tak ada pilihan selain tinggal di barak pengungsian yang pasti tak
nyaman dalam hal apapun. Sudah begitu, mereka harus dicekam rasa takut,
khawatir, akibat rumor yang justru diciptakan oleh sebuah media massa nasional.
Pada awalnya adalah motif sensasi, ingin mencari sudut pandang yang berbeda
tentang liputan bencana. Perspektif mistis dengan segala ramalan yang tak
bertanggungjawab akhirnya mendominasi isi media. Informasi terus menyebar
dengan bantuan seluler (sms). Sambung menyambung menjadi nomor, kemudian
membentuk realitas baru tentang bencana, mengalahkan realitas nyata (objektif)
yang mereka alami sendiri.
Itulah uniknya hidup di era dominasi media massa, ketika realitas subyektif
(constructed reality) menjadi lebih relevan. Lewat media, realitas itu
bahkan dilebih-lebihkan (hyperreality). Antara yang nyata dan maya
menjadi kabur. Antara fakta dan gosip semakin sulit dibedakan. Orang lebih
mempercayai apa yang dilihatnya di televisi ketimbang apa yang mereka alami
sendiri.
Kejadian itu bisa jadi tak terelakkan, karena beberapa alasan. Pertama, orang
menyadari keterbatasannya, sehingga kemudian menggantungkan kebutuhan
informasinya pada media massa. Media pun mengukuhkan perannya sebagai ‘the
extension of man.’ Media telah menjadi perpanjangan indera manusia. Dari
media, kita melihat dan mendengar. Dari media, kita tahu tentang dunia sekitar.
Kedua, teknologi tak saja menjadikan pesan tersebar
secara luas (eksesif), namun juga menjadikan pesan tampil ekspresif. Di sinilah
simulasi tanda terjadi, sehingga realitas dimungkinkan benar-benar diciptakan
dan tak berhubu- (Hal-41)ngan sama
sekali dengan fakta objektif. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai ‘simulacra’.
Permainan grafis, tata suara, narasi, drama, dan olah efek visual lainnya
telah menjadikan pesan tampil demikian memikat dan terasa riil, meskipun tak
berakar pada kenyataan yang sesungguhnya.
Pesan rekaan (simulatif) kemudian terasa lebih masuk akal ketimbang pesan
faktual (objektif). Nyata atau fiktif tidak lagi menjadi penting.
Dalam bingkai hiperealitas ini, rumor menemukan bentuk baru. Tak lagi soal
kaburnya sumber informasi, tetapi misinformasi sebagai produk simulasi. Khalayak
semestinya bisa menilai kualitas dan integritas sumber informasi, tetapi
strategi visualisasi telah mengaburkan semuanya. Nampaknya, ‘bagaimana pesan
itu disampaikan’ menajdi lebih relevan ketimbang ‘siapa yang menyampaikan’. Kekaburan
informasi bukan karena ketidakjelasan asal muasalnya, tetapi karena ilusi
produk narasi dan teknologi yang mengemasnya.
Karena realitas itu dibentuk oleh media, sayangnya, kita seringkali gagal
menghadirkan realitas yang lain sebagai alternatif. Terlebih, jika sebagian
besar media yang ada kompak menghadirkan berita dengan sudut pandang yang relatif seragam. Itu semua
seolah berjalan alami saja. Begitu bangun tidur, kita nyalakan televisi,
dengarkan radio, baca koran, atau menyimak kabar online. Hari itu, kita mulai
membangun realitas dengan tangan media.
Begitulah kenyataannya, ketika media menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari hidup kita. Sebetulnya, ketika media menjadi bagian tak terpisahkan dari
hidup kita. Sebetulnya, kita tak harus menjadi antimedia untuk menemukan
kejernihan. Cukup bagaimana kita mendudukkan media dengan semestinya. Pertama,
karena realitas itu subjektif, maka sejatinya terdapat banyak realitas dari
satu peristiwa atau fenomena. Jika media adalah agen-agen pembentuk realitas
itu, maka ada sekian banyak media berarti sebanyak itu pula realitas bisa
disampaikan. Di sinilah, relevansi kenapa kita perlu melihat informasi dari
berbagai media, sehingga dimungkinkan adanya keseimbangan.
Kedua, selalu ada ideologi dalam setiap pesan media,
seperti dikatakan Stuart Hall. Kata-kata-kata atau pilihan bahasa tak pernah
turun dari langit begitu saja, tetapi lahir secara ideologis meski pembuatnya
sendiri kadang tak menyadarinya (unconsciously). Begitu juga dengan
sudut pandang yang dipilih. Ideologi itulah yang mengarahkan seleksi fakta dan
penonjolan informasi. Kesadaran bahwa media selalu ideologis semestinya
melahirkan khalayak yang kritis.
Ketiga, pada akhirnya, makna ada pada diri khalayak,
bukan pada media. Kritisisme itu bisa kita wujudkan dengan membangun makna yang
berbeda dari apa yang diinginkan media. Khalayak, kata Hall, bisa membuat makna
alternatif, sebagai counter makna yang ditawarkan media. Ini berarti,
beragamnya realitas bergantung pada khalayak sendiri.
Ini sejatinya adalah ikhtiar membangun keberdayaan. Jika kita belum
memiliki akses dalam produksi pesan, maka kita tetap punya kesempatan untuk
leluasa memaknai pesan. Dari pemaknaaan inilah, realitas bisa kita hadirkan
sesuai dengan yang kita inginkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar