Minggu, 06 September 2020

Realitas Subjektif

Realitas Subjektif[1][2][3]

(Hal-40) Sungguh berat beban para pengungsi itu. Mereka harus meninggalkan kampung halaman.  Beberapa diantaranya harus kehilangan sanak saudara. Tak ada pilihan selain tinggal di barak pengungsian yang pasti tak nyaman dalam hal apapun. Sudah begitu, mereka harus dicekam rasa takut, khawatir, akibat rumor yang justru diciptakan oleh sebuah media massa nasional.



Pada awalnya adalah motif sensasi, ingin mencari sudut pandang yang berbeda tentang liputan bencana. Perspektif mistis dengan segala ramalan yang tak bertanggungjawab akhirnya mendominasi isi media. Informasi terus menyebar dengan bantuan seluler (sms). Sambung menyambung menjadi nomor, kemudian membentuk realitas baru tentang bencana, mengalahkan realitas nyata (objektif) yang mereka alami sendiri.

Itulah uniknya hidup di era dominasi media massa, ketika realitas subyektif (constructed reality) menjadi lebih relevan. Lewat media, realitas itu bahkan dilebih-lebihkan (hyperreality). Antara yang nyata dan maya menjadi kabur. Antara fakta dan gosip semakin sulit dibedakan. Orang lebih mempercayai apa yang dilihatnya di televisi ketimbang apa yang mereka alami sendiri.

Kejadian itu bisa jadi tak terelakkan, karena beberapa alasan. Pertama, orang menyadari keterbatasannya, sehingga kemudian menggantungkan kebutuhan informasinya pada media massa. Media pun mengukuhkan perannya sebagai ‘the extension of man.’ Media telah menjadi perpanjangan indera manusia. Dari media, kita melihat dan mendengar. Dari media, kita tahu tentang dunia sekitar.

Kedua, teknologi tak saja menjadikan pesan tersebar secara luas (eksesif), namun juga menjadikan pesan tampil ekspresif. Di sinilah simulasi tanda terjadi, sehingga realitas dimungkinkan benar-benar diciptakan dan tak berhubu- (Hal-41)ngan sama sekali dengan fakta objektif. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai ‘simulacra’. Permainan grafis, tata suara, narasi, drama, dan olah efek visual lainnya telah menjadikan pesan tampil demikian memikat dan terasa riil, meskipun tak berakar pada kenyataan yang sesungguhnya.

Pesan rekaan (simulatif) kemudian terasa lebih masuk akal ketimbang pesan faktual (objektif). Nyata atau fiktif tidak lagi menjadi penting.

Dalam bingkai hiperealitas ini, rumor menemukan bentuk baru. Tak lagi soal kaburnya sumber informasi, tetapi misinformasi sebagai produk simulasi. Khalayak semestinya bisa menilai kualitas dan integritas sumber informasi, tetapi strategi visualisasi telah mengaburkan semuanya. Nampaknya, ‘bagaimana pesan itu disampaikan’ menajdi lebih relevan ketimbang ‘siapa yang menyampaikan’. Kekaburan informasi bukan karena ketidakjelasan asal muasalnya, tetapi karena ilusi produk narasi dan teknologi yang mengemasnya.

Karena realitas itu dibentuk oleh media, sayangnya, kita seringkali gagal menghadirkan realitas yang lain sebagai alternatif. Terlebih, jika sebagian besar media yang ada kompak menghadirkan berita dengan  sudut pandang yang relatif seragam. Itu semua seolah berjalan alami saja. Begitu bangun tidur, kita nyalakan televisi, dengarkan radio, baca koran, atau menyimak kabar online. Hari itu, kita mulai membangun realitas dengan tangan media.

Begitulah kenyataannya, ketika media menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita. Sebetulnya, ketika media menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Sebetulnya, kita tak harus menjadi antimedia untuk menemukan kejernihan. Cukup bagaimana kita mendudukkan media dengan semestinya. Pertama, karena realitas itu subjektif, maka sejatinya terdapat banyak realitas dari satu peristiwa atau fenomena. Jika media adalah agen-agen pembentuk realitas itu, maka ada sekian banyak media berarti sebanyak itu pula realitas bisa disampaikan. Di sinilah, relevansi kenapa kita perlu melihat informasi dari berbagai media, sehingga dimungkinkan adanya keseimbangan.

Kedua, selalu ada ideologi dalam setiap pesan media, seperti dikatakan Stuart Hall. Kata-kata-kata atau pilihan bahasa tak pernah turun dari langit begitu saja, tetapi lahir secara ideologis meski pembuatnya sendiri kadang tak menyadarinya (unconsciously). Begitu juga dengan sudut pandang yang dipilih. Ideologi itulah yang mengarahkan seleksi fakta dan penonjolan informasi. Kesadaran bahwa media selalu ideologis semestinya melahirkan khalayak yang kritis.

Ketiga, pada akhirnya, makna ada pada diri khalayak, bukan pada media. Kritisisme itu bisa kita wujudkan dengan membangun makna yang berbeda dari apa yang diinginkan media. Khalayak, kata Hall, bisa membuat makna alternatif, sebagai counter makna yang ditawarkan media. Ini berarti, beragamnya realitas bergantung pada khalayak sendiri.

Ini sejatinya adalah ikhtiar membangun keberdayaan. Jika kita belum memiliki akses dalam produksi pesan, maka kita tetap punya kesempatan untuk leluasa memaknai pesan. Dari pemaknaaan inilah, realitas bisa kita hadirkan sesuai dengan yang kita inginkan.***

 



[1]Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2]Majalah Tarbawi, Edisi 240 Th.12, Dzulhijjah 1432H,2 Desember 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar