Edi Santoso[3]
(Hal-44)
Mengandaikan bahwa teknologi memiliki dunianya sendiri, sehingga tak bisa
dikontrol, tentu saja merisaukan. Bagaimana bisa, manusia yang menciptakan alat
yang kemudian tak bis dikuasainya dan bahkan alat itu menguasainya. Kondisi
nyatanya tak seekstrim itu, tetapi bahwa ada dampak yang kadang tak kuasa kita
bendung itu nyata.
Menurut Don Ihde, penulis buku ‘Technology
and Lifeworld’, dampak teknologi sangat terkait dengan relasi antara teknologi
dengan kebudayaan manusia. Ketika terjadi adopsi teknologi, maka ada
interpretasi atas artefak teknologi. Inilah yang disebutnya sebagai proses
hermeneutis, penafsiran teknologi itu menjadi sangat konstektual-kultural.
Ketika nilai praktis dapat dimengerti, proses
transfer teknologi menjadi mudah. Pada beberapa suku pedalaman misalnya, dapat
mengkonversi peralatan berburu (pisau/kapak) dari batu menjadi peralatan
berbasis logam atau besi, karena nilai praktis yang dapat dimengerti. Lain
cerita saat mereka pertama kali melihat senapan modern (bedil/pistol). Mereka
tidak mengerti nilai praktis senapan, sehingga perlu adanya hermenutis sebelum
senapan menjadi penting dan berguna.
Nilai praktis memberikan persepsi yang
berbeda dalam melihat teknologi. Bagi beberapa nelayan di pedesaan dulu,
kehadiran listrik dilihat sebagai sarana yang mungkin bisa membantu mereka
dalam mencari ikan. Karena itu, mereka kemudian memanfaatkan listrik untuk
‘nyetrum’ ikan.
(Hal-45)
Sementara
bagi masyarakat pegunungan yang hidupnya komunal, impian utama listrik adalah
sarana penerangan, sehingga mereka selalu terfasilitasi untuk kumpul-kumpul.
Maka lahirlah inovasi-inovasi untuk memproduksi listrik, misalnya lewat
mikrohidro, melalui sumber daya alam yang mereka miliki.
Karena faktor budaya pula, pemanfaatan mesiu
berbeda-beda pada awalnya. Di Cina bubuk mesiu pertama kali digunakan untuk
petasan, karena mereka membutuhkannya dalam perayaan-perayaan. Sementara di
negara-negara Barat, mereka menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, karena lekat
dengan budaya peperangan. Karena mungkin kita masih merasa berlimpah sumber
energi berbasis fosil, pemanfaatan teknologi angin, panas matahari atau
gelombang laut tidak berkembang. Sementara di negara-negara lain, kincir angin,
solar sel, atau gelombang laut telah dimanfaatkan untuk banyak hal, mulai dari
irigasi sampai pelistrikan.
Menurut
Filsuf Habermas, teknologi telah menciptakan kesadaran teknis yang pada akhirnya menjebak manusia sendiri.
Sebuah jaring-jaring logika teknik yang kemudian menjadi determinan utama
kesadaran manusia. Aksi –intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang
berlaku dalam dunia teknologi. Akibatnya, pengejawantahan rasio menjadi
bersifat teknis semata. Kita kemudian hanya berpikir tentang efisiensi dan
fungsionalisasi.
Perspektif teknis mengarahkan manusia untuk
melihat sains dan teknologi sebatas sarana untuk mengendalikan atau
memanipulasi alam. Masyarakat modern pun tenggelam dan terkungkung oleh dimensi
teknis dari pengetahuan. Sehingga, kata Habermas, tujuan utama pencerahan
(emansipasi sosial) dari teknologi menjadi terlupakan.
Seringkali tidak imbang laju perkembangan
pemikiran dan kesadaran akan dampak teknologi. Wacana etik jauh tertinggal dari
wacana teknis dari teknologi itu sendiri. Setelah jutaan orang menjadi korban
persenjataan modern, orang baru berpikir tentang pengendalian senjata. Setelah
jutaan hektar tanah rusak akibat zat-zat kimiawi, kita baru berpikir serius
tentag ekses bahan sintetis.
Kesadaran instrumental memang harus diikuti
kesadaran reflektif. Kita menggunakan alat pada awalnya untuk memudahkan hidup.
ketika alat itu justru menciderai hidup, mungkin ada yang salah dalam
interpretasi kita atas teknologi. Karena itulah, fungsi teknologi semestinya
tidak hanya memudahkan kehidupan, tetapi juga harus memuliakan hidup.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar