Minggu, 06 September 2020

Interpretasi Teknologi

Interpretasi Teknologi[1][2]

Edi Santoso[3] 

(Hal-44) Mengandaikan bahwa teknologi memiliki dunianya sendiri, sehingga tak bisa dikontrol, tentu saja merisaukan. Bagaimana bisa, manusia yang menciptakan alat yang kemudian tak bis dikuasainya dan bahkan alat itu menguasainya. Kondisi nyatanya tak seekstrim itu, tetapi bahwa ada dampak yang kadang tak kuasa kita bendung itu nyata.



Menurut Don Ihde, penulis buku ‘Technology and Lifeworld’, dampak teknologi sangat terkait dengan relasi antara teknologi dengan kebudayaan manusia. Ketika terjadi adopsi teknologi, maka ada interpretasi atas artefak teknologi. Inilah yang disebutnya sebagai proses hermeneutis, penafsiran teknologi itu menjadi sangat konstektual-kultural.

Ketika nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer teknologi menjadi mudah. Pada beberapa suku pedalaman misalnya, dapat mengkonversi peralatan berburu (pisau/kapak) dari batu menjadi peralatan berbasis logam atau besi, karena nilai praktis yang dapat dimengerti. Lain cerita saat mereka pertama kali melihat senapan modern (bedil/pistol). Mereka tidak mengerti nilai praktis senapan, sehingga perlu adanya hermenutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna.

Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi. Bagi beberapa nelayan di pedesaan dulu, kehadiran listrik dilihat sebagai sarana yang mungkin bisa membantu mereka dalam mencari ikan. Karena itu, mereka kemudian memanfaatkan listrik untuk ‘nyetrum’ ikan.

(Hal-45) Sementara bagi masyarakat pegunungan yang hidupnya komunal, impian utama listrik adalah sarana penerangan, sehingga mereka selalu terfasilitasi untuk kumpul-kumpul. Maka lahirlah inovasi-inovasi untuk memproduksi listrik, misalnya lewat mikrohidro, melalui sumber daya alam yang mereka miliki.

Karena faktor budaya pula, pemanfaatan mesiu berbeda-beda pada awalnya. Di Cina bubuk mesiu pertama kali digunakan untuk petasan, karena mereka membutuhkannya dalam perayaan-perayaan. Sementara di negara-negara Barat, mereka menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, karena lekat dengan budaya peperangan. Karena mungkin kita masih merasa berlimpah sumber energi berbasis fosil, pemanfaatan teknologi angin, panas matahari atau gelombang laut tidak berkembang. Sementara di negara-negara lain, kincir angin, solar sel, atau gelombang laut telah dimanfaatkan untuk banyak hal, mulai dari irigasi sampai pelistrikan.

Menurut Filsuf Habermas, teknologi telah menciptakan kesadaran teknis  yang pada akhirnya menjebak manusia sendiri. Sebuah jaring-jaring logika teknik yang kemudian menjadi determinan utama kesadaran manusia. Aksi –intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam dunia teknologi. Akibatnya, pengejawantahan rasio menjadi bersifat teknis semata. Kita kemudian hanya berpikir tentang efisiensi dan fungsionalisasi.

Perspektif teknis mengarahkan manusia untuk melihat sains dan teknologi sebatas sarana untuk mengendalikan atau memanipulasi alam. Masyarakat modern pun tenggelam dan terkungkung oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Sehingga, kata Habermas, tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial) dari teknologi menjadi terlupakan.

Seringkali tidak imbang laju perkembangan pemikiran dan kesadaran akan dampak teknologi. Wacana etik jauh tertinggal dari wacana teknis dari teknologi itu sendiri. Setelah jutaan orang menjadi korban persenjataan modern, orang baru berpikir tentang pengendalian senjata. Setelah jutaan hektar tanah rusak akibat zat-zat kimiawi, kita baru berpikir serius tentag ekses bahan sintetis.

Kesadaran instrumental memang harus diikuti kesadaran reflektif. Kita menggunakan alat pada awalnya untuk memudahkan hidup. ketika alat itu justru menciderai hidup, mungkin ada yang salah dalam interpretasi kita atas teknologi. Karena itulah, fungsi teknologi semestinya tidak hanya memudahkan kehidupan, tetapi juga harus memuliakan hidup.***



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 289 Th.14, Rabiul Awwal 1434, 24  Januari  2013

[2] Diketik Ulang Eddy SYahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar