Minggu, 06 September 2020

Arogansi Teknologi

Arogansi Teknologi[1][2]

Edi Santoso[3]

 

(Hal-48) Tak diragukan lagi, capaian dan kontribusi teknologi bagi kehidupan manusia sangatlah dominan. Bagi sebagian orang, teknologi bahkan dianggap segalanya, sampai-sampai dalam beberapa hal mengambil peran Tuhan. Para Ilmuwan telah lama mendiskusikan bagaimana menciptakan kehidupan dengan dukungan teknologi.



Gagasan hidup abadi (immortal) pun tak pernah mati, terlebih temuan-temuan teknologi terkini seolah mengantar ke sana. David Dietle misalnya, menulis ‘5 Ways Science Could Make Us Immortal’. Dia mencatat beberapa perkembangan sains yang akan membawa manusia pada keabadian, seperti terapi gen untuk mencegah penuaan, tranformasi pemikiran (Mind Uploading), perbaikan sel dengan nanoteknologi, teknologi cloning, dan pemanfaatan teknologi sibernatik yang abadi.

Impian liar manusia memang tidak ada batasnya. Para ilmuwan meyakini tak ada yang tak mungkin. Tapi mungkinkah manusia menciptakan dirinya sendiri, atau mengendalikan kehidupan sepenuhnya? Bagi orang beriman, jawabannya jelas, tak ada perdebatan. Dan secara sains, juga tak perlu didebat, karena semua masih bersifat hipotetis, hanya bicara kemungkinan. Hanya saja, di luar harapan berlebih pada teknologi itu, ada baiknya kita renungkan sisi lain, betapa banyak hal yang belum bisa diselesaikan oleh teknologi.

Guy Berger menyebutnya sebagai Arogansi Teknologi (Techno-Arogant), semacam over estimasi atas apa yang teknologi bisa berikan pada kehidupan manusia. Capaian teknologi, faktanya, memang tidak selalu cemerlang. Arnold Pacey memberikan contoh dalam dunia kedokteran, betapa banyak yang masih menjadi PR bagi para peneliti bidang kesehatan. Di luar kesuksesan berbagai temuan untuk pengendalian panyakit atau pengobatan, misalnya dengan ditemukan antibiotik dan imunisasi untuk berbagai penyakit pada anak-anak, banyak penyakit yang belum menemukan penanganan yang tepat. Penanganan Kanker, AIDS, dan transplantasi organ (Hal-49) misalnya, belum bisa disebut sukses. Pacey menyebutnya sebagai contoh ‘teknologi setengah jalan’ (Halfway Technology).

Gary Mefe menyebut contoh lain, yakni kegagalan teknologi dalam konservasi alam. Penggunaan teknologi penetasan ikan salmon di Pantai Pasifik, Amerika Utara, ternyata menurunkan jumlah populasi ikan secara drastic. Termasuk dalam kegagalan teknologi adalah lemahnya prediksi atas dampak-dampak yang ditimbulkan.

Di satu sisi teknologi mencengangkan capaiannya, tetapi tanpa disadari, menyimpan masalah laten yang meresahkan. Misalnya isu produk transgenik. Baru-baru ini, perusahaan bioteknologi raksasa Amerika, Monsanto, yang memproduksi tanaman GMO (Transgenic Modified Organism) dipaksa oleh publik anti GMO untuk melakukan studi membuktikan efek buruk produk tersebut bagi kesehatan dan lingkungan. Monsanto pun mempercayakan studi tersebut pada peneliti Perancis, Dr Gilles Eric Seralini dari University of Caen. Hewan percobaan yang diberi tiga tipe jagung hasil modifikasi genetic dilaporkan mengalami gejala kerusakan organ liver dan ginjal.

Bukannya menyelesaikan masalah, teknologi justru seringkali menciptakan masalah baru. Maka, gagalnya sebuah system teknologi bisa mengakibatkan terjadinya malapetaka teknologi (technological disaster). Masalahnya berpangkal pada kesalahan system yang bersumber pada desain system yang tidak sesuai dengan kondisi di mana sistem itu bekerja. Hal ini terjadi karena perancangan sistem yang gagal mempertemukan system teknis dan system sosial. Inilah yang sering terjadi di Indonesia dan menjadi bencana yang mengakibatkan kerugian jiwa, seperti kecelakaan transportasi, kecelakaan industry, dan kecelakaan rumah tangga.

Bahkan dalam teknologi informasi yang sedang dalam masa-masa puncaknya, berbagai kegagalan selalu bisa kita catat. CNN misalnya, dalam setiap tahun selalu membuat rangkuman tentang teknologi-teknologi yang gagal. Tahun 2012, sebagai contoh, CNN menyebut Apple Maps sebagai kegagalan teknologi. Aplikasi pemetaan ini dinilai gagal, karena sering terjadi banyak kesalahan dalam memberikan arah lokasi yang diinginkan pengguna. Sehingga, banyak pengguna yang tersesat, seperti yang terjadi di Australia beberapa waktu lalu. Inilah yang menjadi alasan kenapa banyak wisatawan dan pendatang kemudian tidak menggunakan Apple Maps.

Teknologi pada akhirnya tak lebih dari ikhtiar manusia untuk memudahkan manusia. Maka segala impian hidup yang mudah dan nyaman, dengan dukungan teknologi, selalu abash saja. Namun, di luar segala harapan, kita harus sadar, bahwa selalu ada batas dari apa yang bisa kita upayakan. ***

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 286 Th.14, Muharram 1434, 29 November 2013

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar