Merekayasa Sejarah
Oleh Mahfudz Siddiq
EraRuhiyah. (Hal-42) Dalam sejarah dakwah menuju pembentukan institusi masyarakat dan negara
yang Islami, pemahaman atas konsep pemikiran dan transformasi operasional
selalu berjalan bertahap dan seimbang. Ini di dasari oleh gap antara
idealita dan realita yang tidak bisa diuah secara sim-salabim . Alam
semesta terus bergerak mengalami perubahan dan perkembangan, dengan tetap
berlandaskan prinsip bertahap dan seimang ini.
Indonesia untuk menyebut suatu Kawasan geografis dan demografis yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke mengalami perjalanan dan perkembangan
panjang dan rumit untuk menjadi sebuah negara bangsa (Nation state). Secara
Antropologis, bergerak dari masyarakat primitive menuju masyarakat berperadaban
(civilized). Secara sosiologis, ia bergerak dari masyarakat suku menuju
masyarakat kolektif. Secara religi, ia juga bergerak dari masyarakat
animis-paganis menuju masyarakat Muslim terbesar di dunia.
Fakta subtantifnya, proses pembentukan Indonesia sebagai suatu negara bangsa tetap diwarnai oleh pluralitas dan heterogenitas dalam berbagai aspek. Suku, Bahasa, Budaya, Agama, Aliran Politik hingga fragmentasi dalam entitas umat Islam itu sendiri. Pada titik tertentu perjalanan bangsa ini, dibangun konsensus politik nasional yang dikenal sebagai (ideologi) politik negara, konstitusi, wawasan nusantara dalam bingkai NKRI dan semangat kesatuan dalam keberagaman.
Dalam konteks dinamika umat Islam sebagai pemegang saham terbesar, juga
terjadi dinamika yang kompleks dan panjang. Ada agenda setting besar untuk
memarginalkan posisi politik umat sejak awal kemerdekaan. Pada pemilu pertama
tahun 1955 agenda ini makin dimatangkan dengan berbasis suara politik Islam
yang ternyata lebih kecil dari suara politik partai-partai non Islam.
Polarisasi Islamis versus Nasionalis ditajamkan Orde Baru kemudian melembagakan
polarisasi ini dalam kebijakan fusi partai. Dan setting sejarah pun pernah
memosisikan Islam bukan sekadar di pinggiran tetapi sebagai antitesa negara.
Kebangkitan Gerakan dakwah sejak era 80-an bergerak dari posisi umat
Islam seperti ini. Alam pikiran aktivis diisi dengan persepsi Islam vis a vis
Negara, dan komunitas negara dalam persepsi itu direpresentasikan oleh unsur-unsur
Nasionalis-Sekuler. Kondisi ini ternyata (Hal
43) tidak berdiri sendiri. Di banyak negeri Muslim ada realitas
serupa. Sehingga mind-set besar Gerakan Islam adalah sebagai antitesa negara
dan sebagai antitesa dari kekuatan kaum Nasionalis-Sekuler. Mind-set semacam
inilah yang mewarnai tafsir terhadap konsep pemikiran dan aksi dakwah serta
perjuangan politik banyak aktivis Gerakan Islam.
Ada satu rumus yang diajukan oleh Yusuf Qaradhawi, salah seorang tokoh
pemikir Gerakan Islam. Katanya, untuk bisa sukses dalam perjuangannya, Gerakan
Islam harus melakukan rekayasa sejarah. Maksudnya, Gerakan Islam tidak boleh
masuk dalam setting sejarah yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya. Karena
itu hanya perangkap dan jebakan yang akan terus mengkerdilkan Gerakan dakwah
dan posisi politik umat Islam.
Diantara rekayasa sejarah itu adalah mendekonstruksi polarisasi Islam
versus Nasionalis, Islam vis avis Negara, mendekonstruksi sebuah kotak
(perangkap) kecil yang bernama ‘Negara Islam’. Nah, Gerakan dakwah yang muncul
di era 80-an dan bertransformasi secara kelembagaan menjadi partai politik di
Indonesia saat ini, sedang melakukan hal itu.
Apakah ini hanya siasat atau akal-akalan politik? Tidak. Ini adalah dari
upaya Ta’shil (orisinalisasi) pemikiran politik Islam dan tathwir
(pengembangan) pada tataran implementasinya, secara bersamaan. Jadi ini perkara
subtantif! Indonesia harus dipandang sebagai warisan sah umat Islam, dengan
segala keragamannya. Umat Islam harus mengambil posisi kepemimpinan untuk
memajukan bangsa ini dengan semua komponen masyarakat yang ada di dalamnya. Kepemimpinan
umat adalah manajemen kekuasaan yang merangkul, mendayagunakan dan mengayomi.
Bukan kekuasaan yang meminggirkan, apalagi menafikan.
Itulah sebabnya, segala identitas kebangsaan, segala konsensus nasional
sebagai bangsa dan segala unsur keberagaman masyarakat Indonesia harus
dijadikan asset bagi gerakan dakwah untuk merekayasa negeri ini menjadi baldatun
thayyibatun wa Rabbun ghafuur. Mengkonsolidasi dan mengkapitalisasi segala
potensi positifnya, serta mengeliminasi segala potensi negatifnya.
Inilah kerja besar merekayasa sejarah. Bila ditinjau dari dari
perspektif sunnah Tadawul (Hukum pergiliran), sudah lebih dari 60 tahun
Indonesia diisi dengan sejumlah rejim kekuasaan dengan aneka ideologi politik
dan mazhab pembangunannya. Ternyata apa yang diinginkan oleh cita-cita
Nasional, sebagaimana tertuang dalam muqaddimah UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, tidak pernah benar-benar terwujud.
Baca Juga : Dosa Yang Terus Mengalir
Nasionalisme, sebagai paham kolektivisme masyarakat Indonesia yang
melembagakan dirinya dalam sebuah negara bangsa dengan cita-cita luhur,
dicampakkan sedemikian rupa oleh mereka yang telah mengklaim diri sebagai kaum
Nasionalis. Kini saatnya bagi Gerakan dakwah yang sungguh-sungguh bekerja untuk
memakmurkan kehidupan negeri ini, tanpa ragu menyatakan bahwa kami lebih
nasionalis daripada mereka yang telah gagal membuktikan nasionalismenya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar