Rabu, 24 April 2024

Merekayasa Sejarah

 

Merekayasa Sejarah

Oleh Mahfudz Siddiq

 

EraRuhiyah. (Hal-42) Dalam sejarah dakwah menuju pembentukan institusi masyarakat dan negara yang Islami, pemahaman atas konsep pemikiran dan transformasi operasional selalu berjalan bertahap dan seimbang. Ini di dasari oleh gap antara idealita dan realita yang tidak bisa diuah secara sim-salabim . Alam semesta terus bergerak mengalami perubahan dan perkembangan, dengan tetap berlandaskan prinsip bertahap dan seimang ini.

Merekayasa Sejarah


Indonesia untuk menyebut suatu Kawasan geografis dan demografis yang terbentang dari Sabang sampai Merauke mengalami perjalanan dan perkembangan panjang dan rumit untuk menjadi sebuah negara bangsa (Nation state). Secara Antropologis, bergerak dari masyarakat primitive menuju masyarakat berperadaban (civilized). Secara sosiologis, ia bergerak dari masyarakat suku menuju masyarakat kolektif. Secara religi, ia juga bergerak dari masyarakat animis-paganis menuju masyarakat Muslim terbesar di dunia.

Fakta subtantifnya, proses pembentukan Indonesia sebagai suatu negara bangsa tetap diwarnai oleh pluralitas dan heterogenitas dalam berbagai aspek. Suku, Bahasa, Budaya, Agama, Aliran Politik hingga fragmentasi dalam entitas umat Islam itu sendiri. Pada titik tertentu perjalanan bangsa ini, dibangun konsensus politik nasional yang dikenal sebagai (ideologi) politik negara, konstitusi, wawasan nusantara dalam bingkai NKRI dan semangat kesatuan dalam keberagaman.

Dalam konteks dinamika umat Islam sebagai pemegang saham terbesar, juga terjadi dinamika yang kompleks dan panjang. Ada agenda setting besar untuk memarginalkan posisi politik umat sejak awal kemerdekaan. Pada pemilu pertama tahun 1955 agenda ini makin dimatangkan dengan berbasis suara politik Islam yang ternyata lebih kecil dari suara politik partai-partai non Islam. Polarisasi Islamis versus Nasionalis ditajamkan Orde Baru kemudian melembagakan polarisasi ini dalam kebijakan fusi partai. Dan setting sejarah pun pernah memosisikan Islam bukan sekadar di pinggiran tetapi sebagai antitesa negara.

Kebangkitan Gerakan dakwah sejak era 80-an bergerak dari posisi umat Islam seperti ini. Alam pikiran aktivis diisi dengan persepsi Islam vis a vis Negara, dan komunitas negara dalam persepsi itu direpresentasikan oleh unsur-unsur Nasionalis-Sekuler. Kondisi ini ternyata (Hal 43) tidak berdiri sendiri. Di banyak negeri Muslim ada realitas serupa. Sehingga mind-set besar Gerakan Islam adalah sebagai antitesa negara dan sebagai antitesa dari kekuatan kaum Nasionalis-Sekuler. Mind-set semacam inilah yang mewarnai tafsir terhadap konsep pemikiran dan aksi dakwah serta perjuangan politik banyak aktivis Gerakan Islam.

Ada satu rumus yang diajukan oleh Yusuf Qaradhawi, salah seorang tokoh pemikir Gerakan Islam. Katanya, untuk bisa sukses dalam perjuangannya, Gerakan Islam harus melakukan rekayasa sejarah. Maksudnya, Gerakan Islam tidak boleh masuk dalam setting sejarah yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya. Karena itu hanya perangkap dan jebakan yang akan terus mengkerdilkan Gerakan dakwah dan posisi politik umat Islam.

Diantara rekayasa sejarah itu adalah mendekonstruksi polarisasi Islam versus Nasionalis, Islam vis avis Negara, mendekonstruksi sebuah kotak (perangkap) kecil yang bernama ‘Negara Islam’. Nah, Gerakan dakwah yang muncul di era 80-an dan bertransformasi secara kelembagaan menjadi partai politik di Indonesia saat ini, sedang melakukan hal itu.

Apakah ini hanya siasat atau akal-akalan politik? Tidak. Ini adalah dari upaya Ta’shil (orisinalisasi) pemikiran politik Islam dan tathwir (pengembangan) pada tataran implementasinya, secara bersamaan. Jadi ini perkara subtantif! Indonesia harus dipandang sebagai warisan sah umat Islam, dengan segala keragamannya. Umat Islam harus mengambil posisi kepemimpinan untuk memajukan bangsa ini dengan semua komponen masyarakat yang ada di dalamnya. Kepemimpinan umat adalah manajemen kekuasaan yang merangkul, mendayagunakan dan mengayomi. Bukan kekuasaan yang meminggirkan, apalagi menafikan.

Itulah sebabnya, segala identitas kebangsaan, segala konsensus nasional sebagai bangsa dan segala unsur keberagaman masyarakat Indonesia harus dijadikan asset bagi gerakan dakwah untuk merekayasa negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur. Mengkonsolidasi dan mengkapitalisasi segala potensi positifnya, serta mengeliminasi segala potensi negatifnya.

Inilah kerja besar merekayasa sejarah. Bila ditinjau dari dari perspektif sunnah Tadawul (Hukum pergiliran), sudah lebih dari 60 tahun Indonesia diisi dengan sejumlah rejim kekuasaan dengan aneka ideologi politik dan mazhab pembangunannya. Ternyata apa yang diinginkan oleh cita-cita Nasional, sebagaimana tertuang dalam muqaddimah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah benar-benar terwujud.

Baca Juga : Dosa Yang Terus Mengalir 

Nasionalisme, sebagai paham kolektivisme masyarakat Indonesia yang melembagakan dirinya dalam sebuah negara bangsa dengan cita-cita luhur, dicampakkan sedemikian rupa oleh mereka yang telah mengklaim diri sebagai kaum Nasionalis. Kini saatnya bagi Gerakan dakwah yang sungguh-sungguh bekerja untuk memakmurkan kehidupan negeri ini, tanpa ragu menyatakan bahwa kami lebih nasionalis daripada mereka yang telah gagal membuktikan nasionalismenya. ***

 

 

 

                     



[1] Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429  H, 11 September  2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar