Kamis, 03 September 2020

Umpan Balik

Umpan Balik[1][2]

Edi Santoso

(Hal-50) Di sebuah pertemuan ibu-ibu, kegaduhan tak terhindarkan. “Ibu-ibu, tak ada gunanya saya bicara jika ramai begini. Tolong didengarkan ya! Sekali lagi, tolong didengarkan!” ujar seorang ibu yang kebetulan bertugas menyampaikan ‘kultum’. Kondisi hening sejenak tapi tak lama kemudian gaduh kembali. Petugas ‘kultum’ itu semakin tak nyaman, wajahnya kian mengkerut. Gertakannya yang biasa ampuh di ruang kelas, di depan murid-muridnya, kini tak lagi mempan. Inilah ‘tragedi kecil’ komunikasi dalam kelompok.



Peristiwa serupa pasti sering kita alami atau saksikan sehari-hari. Di rumah misalnya, betapa banyak orang tua yang nyaris frustasi ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya. Gertakan dan ancaman tak lagi bertuah di rumah. Anak-anak sekarang keluh seorang ibu, semakin mudah membantah. Bahkan presiden pun sampai marah, ketika berbicara di rapat cabinet, para menterinya justru pada ngomong sendiri. Apa yang salah?

Komunikasi adalah proses memberi dan menerima, mengirim dan menangkap, timbal balik. Kegaduhan dan ‘pembangkangan’ adalah sinyal sebagai respon apa yang telah kita beri. Para pakar komunikasi interpersonal menyebutnya sebagai umpan balik (feed back).  Komunikator yang baik selalu sukses membaca umpan balik dan meresponnya dengan tepat. Kenapa orang ngantuk ketika kita berbicara? Kenapa orang acuh-tak acuh dengan kata-kata kita?

Jadi, kunci pertamanya adalah sejauhmana kita bisa membaca atau memaknai umpan balik. Khalaya ramai bisa karena banyak sebab, mungkin karena suasana ruangan yang tak nyaman, kondisi fisik mereka yang tak mendukung (mungkin karena capai atau lapar), atau karena kegagalan kita menjadi (Hal-51)pembicara yang baik. Dan komunikator yang bijak selalu menyalahkan dirinya sebelum yang lain. Jadi jika ada yang tidak beres, maka pastilah ada yang salah dengan kita.

Dengan melokalisir kesalahan pada kita, semua menjadi tanggungjawab kita. Karena suasana bisa diciptakan, peralatan bisa diusahakan, dan berbagai teknis bisa dicoba. Selalu ada gangguan (noise) itu benar adanya, karena itu kita harus mengantisipasinya. Kita bisa ‘memaksa’ orang untuk mendengarkan, tapi bukan dengan gertakan atau instruksi. Inilah kunci kedua, yakni merespon umpan balik secara tepat.

Mengahadapi anak-anak misalnya, kita sendiri alpa bahwa mereka memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia kita. Kita lupa bahwa mereka, anak-anak normal, tak akan bisa diam tanpa aktivitas. Maka melarang mereka untuk melakukan suatu kegiatan tanpa member alternatif hanya aka membuat teriakan kita makin keras. “Nak, jangan nonton tv!” si anak mungkin menurut, tapi tak lama kemudian menyalakan playstation. “Naak, jangan main game!” Teriak kita makin kencang. Coba kita ganti instruksi, Nak, jalan-jalan yuk.” Anak-anak mungkin akan lebih menurut, dan lupa nonton televisi dan main game.

Jika hidup ini sejatinya adalah proses komunikasi terus-menerus, maka membaca dan merespon umpan balik memiliki dimensi yang sangat luas. Umpan balik itu adalah penanda, baik eksplisit maupun tidak, yang ada di sekitar kita. Ada alam dengan segala fenomenanya, ada dinamika sosial dengan berbagai gejalanya. Itulah yang dilakukan orang-orang di daerah rawan bencana. Dari pengalaman bertahun-tahun, sehingga menjadi kearifan lokal. Mereka tahu bagaimana alam memberikan umpan balik, misalnya saat bencana akan terjadi suhu yang berubah atau kemunculan hewan-hewan tertentu misalnya, adalah sebagian tanda yang sudah dikenali. Mereka tetap bertahan di daerah rawan, karena yakin bisa berkomunikasi dengan alam.

Para pemimpin semestinya peka pada segala penanda sosial, lebih dari angka-angka laporan lembaga resmi. Korupsi, pengangguran, kriminalitas, kemacetan, tingginya angka kecelakaan, dan semakin maraknya penyakit sosial adalah umpan balik yang mendesak respon secepatnya secara tepat dan proporsional. Merespon dengan cara pencitraan, pastilah bukan jawabannya. Khalifah Umar memberikan contoh bagaimana seharusnya membaca realitas sosial dengan cara melihat rakyatnya dari dekat. Maka, tanpa pengawal Umar berkeliling negeri, melihat secara langsung dan alami bagaimana hidup rakyat sesungguhnya. Lewat jalan inilah, Khalifah bisa mendengar langsung tangis janda dan anak-anak yatim yang hidup dalam kelaparan.

Pada akhirnya kepekaan dan kecerdasan membaca umpan balik adalah sebentuk kearifan hidup. orang yang arif adalah mereka yang peka dengan segala penanda itu dan kemudian menyikapinya dengan proporsional. Pemimpin yang arif adalah mereka yang selalu cermat menyimak suasana, cerdas membaca dan merespon umpan balik orang-orang yang dipimpinnya.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 259 Th.13, Dzulqaidah 1432, 06 Oktober  2011

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar