Edi Santoso
(Hal-50) Di sebuah
pertemuan ibu-ibu, kegaduhan tak terhindarkan. “Ibu-ibu, tak ada gunanya saya
bicara jika ramai begini. Tolong didengarkan ya! Sekali lagi, tolong
didengarkan!” ujar seorang ibu yang kebetulan bertugas menyampaikan ‘kultum’.
Kondisi hening sejenak tapi tak lama kemudian gaduh kembali. Petugas ‘kultum’
itu semakin tak nyaman, wajahnya kian mengkerut. Gertakannya yang biasa ampuh
di ruang kelas, di depan murid-muridnya, kini tak lagi mempan. Inilah ‘tragedi
kecil’ komunikasi dalam kelompok.
Peristiwa serupa pasti sering kita alami atau
saksikan sehari-hari. Di rumah misalnya, betapa banyak orang tua yang nyaris
frustasi ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya. Gertakan dan ancaman tak
lagi bertuah di rumah. Anak-anak sekarang keluh seorang ibu, semakin mudah
membantah. Bahkan presiden pun sampai marah, ketika berbicara di rapat cabinet,
para menterinya justru pada ngomong sendiri. Apa yang salah?
Komunikasi adalah proses memberi dan
menerima, mengirim dan menangkap, timbal balik. Kegaduhan dan ‘pembangkangan’
adalah sinyal sebagai respon apa yang telah kita beri. Para pakar komunikasi
interpersonal menyebutnya sebagai umpan balik (feed back). Komunikator yang baik selalu sukses membaca
umpan balik dan meresponnya dengan tepat. Kenapa orang ngantuk ketika kita
berbicara? Kenapa orang acuh-tak acuh dengan kata-kata kita?
Jadi, kunci pertamanya adalah sejauhmana kita
bisa membaca atau memaknai umpan balik. Khalaya ramai bisa karena banyak sebab,
mungkin karena suasana ruangan yang tak nyaman, kondisi fisik mereka yang tak
mendukung (mungkin karena capai atau lapar), atau karena kegagalan kita menjadi
(Hal-51)pembicara
yang baik. Dan komunikator yang bijak selalu menyalahkan dirinya sebelum yang
lain. Jadi jika ada yang tidak beres, maka pastilah ada yang salah dengan kita.
Dengan melokalisir kesalahan pada kita, semua
menjadi tanggungjawab kita. Karena suasana bisa diciptakan, peralatan bisa
diusahakan, dan berbagai teknis bisa dicoba. Selalu ada gangguan (noise)
itu benar adanya, karena itu kita harus mengantisipasinya. Kita bisa
‘memaksa’ orang untuk mendengarkan, tapi bukan dengan gertakan atau instruksi.
Inilah kunci kedua, yakni merespon umpan balik secara tepat.
Mengahadapi anak-anak misalnya, kita sendiri
alpa bahwa mereka memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia kita. Kita
lupa bahwa mereka, anak-anak normal, tak akan bisa diam tanpa aktivitas. Maka
melarang mereka untuk melakukan suatu kegiatan tanpa member alternatif hanya
aka membuat teriakan kita makin keras. “Nak,
jangan nonton tv!” si anak mungkin menurut, tapi tak lama kemudian
menyalakan playstation. “Naak,
jangan main game!” Teriak kita
makin kencang. Coba kita ganti instruksi, Nak,
jalan-jalan yuk.” Anak-anak mungkin akan lebih menurut, dan lupa nonton
televisi dan main game.
Jika hidup ini sejatinya adalah proses
komunikasi terus-menerus, maka membaca dan merespon umpan balik memiliki
dimensi yang sangat luas. Umpan balik itu adalah penanda, baik eksplisit maupun
tidak, yang ada di sekitar kita. Ada alam dengan segala fenomenanya, ada
dinamika sosial dengan berbagai gejalanya. Itulah yang dilakukan orang-orang di
daerah rawan bencana. Dari pengalaman bertahun-tahun, sehingga menjadi kearifan
lokal. Mereka tahu bagaimana alam memberikan umpan balik, misalnya saat bencana
akan terjadi suhu yang berubah atau kemunculan hewan-hewan tertentu misalnya,
adalah sebagian tanda yang sudah dikenali. Mereka tetap bertahan di daerah
rawan, karena yakin bisa berkomunikasi dengan alam.
Para pemimpin semestinya peka pada segala
penanda sosial, lebih dari angka-angka laporan lembaga resmi. Korupsi,
pengangguran, kriminalitas, kemacetan, tingginya angka kecelakaan, dan semakin
maraknya penyakit sosial adalah umpan balik yang mendesak respon secepatnya
secara tepat dan proporsional. Merespon dengan cara pencitraan, pastilah bukan
jawabannya. Khalifah Umar memberikan contoh bagaimana seharusnya membaca
realitas sosial dengan cara melihat rakyatnya dari dekat. Maka, tanpa pengawal
Umar berkeliling negeri, melihat secara langsung dan alami bagaimana hidup
rakyat sesungguhnya. Lewat jalan inilah, Khalifah bisa mendengar langsung
tangis janda dan anak-anak yatim yang hidup dalam kelaparan.
Pada akhirnya kepekaan dan kecerdasan membaca
umpan balik adalah sebentuk kearifan hidup. orang yang arif adalah mereka yang
peka dengan segala penanda itu dan kemudian menyikapinya dengan proporsional.
Pemimpin yang arif adalah mereka yang selalu cermat menyimak suasana, cerdas
membaca dan merespon umpan balik orang-orang yang dipimpinnya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar