Senin, 31 Agustus 2020

Drama KPK

Drama KPK[1] 

(Hal-04)kekhawatiran banyak orang itu terbukti. Bahwa membabat korupsi di negeri ini perlu stamina yang luar biasa. Mula-mula kita merasa segalanya perlu payung hukum. Dan itu sudah lumayan. Lalu kita meyakini soal utamanya adalah kehendak yang kuat dari pemangku mandat di negeri itu. Dan perlahan sepertinya itu telah mewujud dalam kehendak kolektif pemerintah, DPR, LSM dan masyarakat. Bahwa semua ingin korupsi diberantas. Setidaknya dikurangi dalam porsi yang sangat radikal. Lalu rasanya perlu perangkat yang digdaya untuk melaksanakannya. Maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlahan menjadi tempat menaruh semua harapan.



Dari sana kita semua bermimpi Indonesia akan semakin membaik. Luka-luka kepribadian kita secara kolektif atas nama bangsa, yang terus memborok, perlahan seperti mendapat setetes obat. Ada mimpi tentang Indonesia yang sembuh. Meski belum sehat. Meski belum sempurna, tapi pemberantasan korupsi mulai menuai hasil. Menurut laporan Global Corruption Barometer yang dibuat Transparency International, kinerja KPK dan pengadilan Tipikor telah membuat kepercayaan ublik kepada kedua lembaga tersebut terus meningkat. Bahkan dalam satu surveynya, 70% responden menyatakan dengan adanya KPK dan pengadilan Tipikor, pemerintah menjadi lebih efektif dalam memberantas korupsi.

Tetapi setelah itu ada drama yang menyedihkan. Ketuanya diseret dalam kasus pembunuhan. Lalu ada pengakuan darinya bahwa pimpinan KPK yang lain ada yang menerima suap. Itu semua bukan pertanda yang baik. Drama di tubuh KPK sendiri seperti menampar semua yang sempat menaruh harapan. Gendering kematian lembaga itu sayup-sayup seperti telah digaungkan. Karenanya, dua lembaga swadaya Internasional Human Right Watch dan Transperancy International, secara khusus meminta presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk secara sungguh-sungguh menyelamatkan KPK.

Banyak pihak menduga bahwa ada upaya sistematis untuk memandulkan KPK. Benar atau salah memang tidak mudah untuk memastikannya. Tetapi setidaknya, drama-drama yang menggelayuti perjalanan KPK, telah mengubah secara signifikan persepsi masyarakat tentang harapannya pada KPK. Itu tidak sekedar persoalan citra yang mungkin bisa dipulihkan dengan berbagai cara. Ini hanya menjelaskan sebuah kecemasan psikologis, bahwa di negeri ini sebuah lembaga digdaya yang semula bisa menjadi salah satu tumpuan masa depan Indonesia, ternyata bisa juga terancam runtuh. Dan, bila di balik itu ada sebuah konspirasi, rekayasa untuk benar-benar melumpuhkan KPK, itu hanya menambahkan satu kepastian, bahwa di negeri ini para bandit masih begitu berkusa. *



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 211 Th.10, Ramadhan 1430 H, 03 September 2009 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar