Drama KPK[1]
(Hal-04)kekhawatiran
banyak orang itu terbukti. Bahwa membabat korupsi di negeri ini perlu stamina
yang luar biasa. Mula-mula kita merasa segalanya perlu payung hukum. Dan itu
sudah lumayan. Lalu kita meyakini soal utamanya adalah kehendak yang kuat dari
pemangku mandat di negeri itu. Dan perlahan sepertinya itu telah mewujud dalam
kehendak kolektif pemerintah, DPR, LSM dan masyarakat. Bahwa semua ingin
korupsi diberantas. Setidaknya dikurangi dalam porsi yang sangat radikal. Lalu
rasanya perlu perangkat yang digdaya untuk melaksanakannya. Maka Komisi
Pemberantasan Korupsi perlahan menjadi tempat menaruh semua harapan.
Dari sana kita semua bermimpi Indonesia akan
semakin membaik. Luka-luka kepribadian kita secara kolektif atas nama bangsa,
yang terus memborok, perlahan seperti mendapat setetes obat. Ada mimpi tentang
Indonesia yang sembuh. Meski belum sehat. Meski belum sempurna, tapi
pemberantasan korupsi mulai menuai hasil. Menurut laporan Global Corruption
Barometer yang dibuat Transparency International, kinerja KPK dan pengadilan
Tipikor telah membuat kepercayaan ublik kepada kedua lembaga tersebut terus
meningkat. Bahkan dalam satu surveynya, 70% responden menyatakan dengan adanya
KPK dan pengadilan Tipikor, pemerintah menjadi lebih efektif dalam memberantas
korupsi.
Tetapi setelah itu ada drama yang
menyedihkan. Ketuanya diseret dalam kasus pembunuhan. Lalu ada pengakuan
darinya bahwa pimpinan KPK yang lain ada yang menerima suap. Itu semua bukan
pertanda yang baik. Drama di tubuh KPK sendiri seperti menampar semua yang
sempat menaruh harapan. Gendering kematian lembaga itu sayup-sayup seperti
telah digaungkan. Karenanya, dua lembaga swadaya Internasional Human Right
Watch dan Transperancy International, secara khusus meminta presiden terpilih,
Susilo Bambang Yudhoyono, untuk secara sungguh-sungguh menyelamatkan KPK.
Banyak pihak menduga bahwa ada upaya
sistematis untuk memandulkan KPK. Benar atau salah memang tidak mudah untuk
memastikannya. Tetapi setidaknya, drama-drama yang menggelayuti perjalanan KPK,
telah mengubah secara signifikan persepsi masyarakat tentang harapannya pada
KPK. Itu tidak sekedar persoalan citra yang mungkin bisa dipulihkan dengan
berbagai cara. Ini hanya menjelaskan sebuah kecemasan psikologis, bahwa di
negeri ini sebuah lembaga digdaya yang semula bisa menjadi salah satu tumpuan
masa depan Indonesia, ternyata bisa juga terancam runtuh. Dan, bila di balik
itu ada sebuah konspirasi, rekayasa untuk benar-benar melumpuhkan KPK, itu
hanya menambahkan satu kepastian, bahwa di negeri ini para bandit masih begitu
berkusa. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar