Selasa, 01 September 2020

Instanisme

 

Instanisme[1] 

(Hal-04) Mungkin Anda juga tahu, di Swedia, belum lama ini, ada perusahaan yang mengeluarkan produk menarik: sebuah rumah bongkar yang unik. Agar mudah membayangkannya, kira-kira seperti lemari bongkar pasang. Tapi ini rumah, yang kuat dan kokoh. Hanya perlu enam hari untuk memasang bagian-bagian rumah tersebut hingga siap huni. Diperkirakan, produk ini akan mempengaruhi dunia properti di sana, mengingat jumlah pesanan terus meningkat. Rumah yang dibuat berlantai dua itu sungguh indah. Interior maupun eksteriornya sangat cantik. Alangkah cepatnya manusia meluncur menuju atmosfir “ínstanisasi” yang luar biasa.



Masalahnya, kini instanisasi tak hanya merasuki dunia teknologi dan perangkat hidup semata. Ia telah merambahi budaya dan sikap hidup. maka, lahirlah manusia-manusia pragmatis. Yang memilih jalan hidup cepat dan pintas, secepat merebus mie instan, atau menyeduh jahe instan. Seperti slogan gila sebuah iklan radio FM di Jakarta, “Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.”

Di Negara-negara miskin, gaya instan jadi pilihan cara mendulang pertumbuhan ekonomi. Modal? Utang luar negeri. SDM? Sama saja. Cara ini telah menjadikan Indonesia bangsa yang menurut Zaim Uchrowi sangat kapitalis, lebih kapitalis dari Amerika sekalipun. Di Negara kapitalisme tidak saja “guru yang baik” bagi materialism, tapi juga bagi konsumerisme yang stadiumnya kian akut. Orang membeli bukan lagi karena perlu atau sekadar suka, tapi orang membeli karena kalau tidak membeli merasa terbelakang.

Implikasinya bagi manusia Indonesia? Mungkin jawabannya adalah apa yang diumumkan UNDP (United Nation Development Programme), sebuah lembaga otonom PBB dalam bidang pembangunan manusia. Dalam laporan 1999-nya, Indonesia tercatat berada pada urutan 105 dalam soal pembangunan manusia, diantara 174 negara di dunia. Jauh dibawah Singapura yang berada di urutan 22 dan Brunei di urutan 25.

Semua ini berbanding lurus dengan besarnya jumlah ‘rakyat instan’ di Indonesia. Mereka, adalah 70 juta orang lebih yang hidup di bawah garis kemiskinan sebuah tragedi lost generation tengah mengancam Indonesia.

Rakyat instan selalu menjadi santapan lezat otoritarianisme para penguasa. Dengan euphoria yang dibangun: rakyat adalah kekuatan sejati, kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei. Rakyat-rakyat instan itulah yang kini sedang ‘bahagia’. Sebab mereka kini menjadi landasan utama bagi banyak keputusan politik yang besar. Semua orang bicara untuk dan atas nama rakyat, meski dalam suatu babakan drama politik yang ke atas tak berpucuk ke bawah tak berakar.

Memang, ketika komunitas masih terikat dalam city state (Negara kota), mereka bisa secara aklamasi bisa dengan mudah menentukan terlepas baik atau buruk apa yang mereka kehendaki bersama. Namun ketika manusia menjadi sebuah bangsa yang besar, dengan ratusan juta penduduknya, banyak berbagai-bagai lapis jarring membungkus kekuasaan.

Saya mencoba merindukan sebuah masyarakat yang semua system transformasinya sangat instan, namun segala subtansinya mengejar kompetisi dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Meski saya menyadari, dalam konstruksi da’wah tak banyak ruang untuk instanisme. Namun fenomena teknologi dan budaya hanyalah bagian kecil dari taqdir qauni Allah, yang bila dikawinkan dengan taqdir qauli-Nya, kerinduan itu bisa diharapkan. Semoga.*

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 003 Th.I,19  Jumadil Awal 1420 H, 31 Agustus 1999 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar