Instanisme[1]
(Hal-04) Mungkin
Anda juga tahu, di Swedia, belum lama ini, ada perusahaan yang mengeluarkan
produk menarik: sebuah rumah bongkar yang unik. Agar mudah membayangkannya,
kira-kira seperti lemari bongkar pasang. Tapi ini rumah, yang kuat dan kokoh.
Hanya perlu enam hari untuk memasang bagian-bagian rumah tersebut hingga siap
huni. Diperkirakan, produk ini akan mempengaruhi dunia properti di sana,
mengingat jumlah pesanan terus meningkat. Rumah yang dibuat berlantai dua itu
sungguh indah. Interior maupun eksteriornya sangat cantik. Alangkah cepatnya
manusia meluncur menuju atmosfir “ínstanisasi” yang luar biasa.
Masalahnya, kini instanisasi tak hanya
merasuki dunia teknologi dan perangkat hidup semata. Ia telah merambahi budaya
dan sikap hidup. maka, lahirlah manusia-manusia pragmatis. Yang memilih jalan
hidup cepat dan pintas, secepat merebus mie instan, atau menyeduh jahe instan.
Seperti slogan gila sebuah iklan radio FM di Jakarta, “Muda foya-foya, tua kaya
raya, mati masuk surga.”
Di Negara-negara miskin, gaya instan jadi
pilihan cara mendulang pertumbuhan ekonomi. Modal? Utang luar negeri. SDM? Sama
saja. Cara ini telah menjadikan Indonesia bangsa yang menurut Zaim Uchrowi
sangat kapitalis, lebih kapitalis dari Amerika sekalipun. Di Negara kapitalisme
tidak saja “guru yang baik” bagi materialism, tapi juga bagi konsumerisme yang
stadiumnya kian akut. Orang membeli bukan lagi karena perlu atau sekadar suka,
tapi orang membeli karena kalau tidak membeli merasa terbelakang.
Implikasinya bagi manusia Indonesia? Mungkin
jawabannya adalah apa yang diumumkan UNDP (United Nation Development
Programme), sebuah lembaga otonom PBB dalam bidang pembangunan manusia. Dalam
laporan 1999-nya, Indonesia tercatat berada pada urutan 105 dalam soal
pembangunan manusia, diantara 174 negara di dunia. Jauh dibawah Singapura yang
berada di urutan 22 dan Brunei di urutan 25.
Semua ini berbanding lurus dengan besarnya
jumlah ‘rakyat instan’ di Indonesia. Mereka, adalah 70 juta orang lebih yang
hidup di bawah garis kemiskinan sebuah tragedi lost generation tengah mengancam Indonesia.
Rakyat instan selalu menjadi santapan lezat
otoritarianisme para penguasa. Dengan euphoria yang dibangun: rakyat adalah
kekuatan sejati, kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi, suara rakyat
adalah suara Tuhan (vox populi vox dei. Rakyat-rakyat
instan itulah yang kini sedang ‘bahagia’. Sebab mereka kini menjadi landasan
utama bagi banyak keputusan politik yang besar. Semua orang bicara untuk dan
atas nama rakyat, meski dalam suatu babakan drama politik yang ke atas tak
berpucuk ke bawah tak berakar.
Memang, ketika komunitas masih terikat dalam city state (Negara kota), mereka bisa
secara aklamasi bisa dengan mudah menentukan terlepas baik atau buruk apa yang
mereka kehendaki bersama. Namun ketika manusia menjadi sebuah bangsa yang
besar, dengan ratusan juta penduduknya, banyak berbagai-bagai lapis jarring
membungkus kekuasaan.
Saya mencoba merindukan sebuah masyarakat
yang semua system transformasinya sangat instan, namun segala subtansinya
mengejar kompetisi dalam kebaikan (fastabiqul
khairat). Meski saya menyadari, dalam konstruksi da’wah tak banyak ruang
untuk instanisme. Namun fenomena teknologi dan budaya hanyalah bagian kecil
dari taqdir qauni Allah, yang bila
dikawinkan dengan taqdir qauli-Nya,
kerinduan itu bisa diharapkan. Semoga.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar