Selasa, 01 September 2020

Pada Suatu Masa

 

Pada Suatu Masa[1]

 

(Hal-04)Kita harus tetap optimis. Seburuk apapun kondisi bangsa ini. Bahwa perubahan itu harus dilakukan, dan sesudah itu Allah akan menjalankan pula janji pengubahannya.

Di panggung politik jalan perubahan itu ada. Tidak semua yang melenggag di ranah itu bisa sukses. Yang gagal banyak. Yang hancur banyak. Yang tergelincir lalu memilih jalan hina juga banyak.



Secara teori politik adalah jalan terdekat menuju kekuasaan. Sementara kekuasaan adalah  terdekat untuk melakukan perubahan yang mengikat, massif dan ada anggarannya. Tapi faktanya politik juga jalan terdekat menuju kehancuran. Sebagaimana kekuasaan juga jalan terdekat menuju penghancuran. Maka, tak ada yang mengerikan, dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang hancur dan berlindung di balik peraturan.

Pernah pada suatu masa, negeri ini dipimpin dengan bedil. Orang-orang yang tidak disukai mati dengan cara yang penuh misteri. Hak dan kebebasan dibatasi. Keberagaman disederhanakan dalam symbol yang memaksa. Terlalu banyak kaki tangan yang mencengkeram hak-hak sipil. Beras mungkin ada, minyak barangkali ada. Tapi taka a tempat untuk pikiran terbuka.

Pernah pada suatu waktu, negeri ini diurus dengan sangat keliru. Perusahaan bluechip milik Negara di jual murah. Seperti indosat yang menyedihkan. Setelah saham mayoritasnya dijual ke Singapura dengan harga 5 trilyun lebih sedikit, kini perusahaan itu di jual ke Qatar oleh Singapura dengan harga 16 Trilyun lebih. Dahulu para ahli sudah memberi saran. Bahwa privatisasi itu bisa dilakukan tidak harus selalu dijual ke pada asing. BUMN yang sifatnya strategis cukup dilakukan korporatisasi dengan kepemilikan di tangan pemerintah tapi pengelolaannya swasta.

Pernah suatu ketika, negeri ini dikelola dengan terlalu banyak aib. Sebab institusi pentingnya dihancurkan sendiri oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Kejaksaan Agung, Bank Sentral, Menteri, juga Dewan perwakilan rakyatnya. Di selingi bencana-bencana yang sangat langka. Tsunami yang membunuh ratusan ribu orang. Menyengsarakan ribuan lainnya. Gempa yang menyentak kesadaran dalam beberapa detik. Lalu lumpur abadi yang memupus segala harapan.

Kita harus tetap optimis. Separah apapun masalah di negeri ini. Tapi jujur saja kadang kita tidak benar-benar bisa menemukan energy optimism itu pada wajah-wajah politik di iklan-iklan. Siapapun memang boleh berjanji. Dengan artikulasi, script dan tentu saja lakon serta adegan. Tapi kita memerlukan lebih dari sekadar janji. Kita memerlukan integritas, komitmen dan kapasitas. Integritas adalah modal dasar. Komitmen adalah pengikatnya. Kapasitas adalah alat untuk melaksanakannya. Agar kelak sejarah menulis, bahwa pernah ada suatu masa, negeri ini mampu bangkit dan sukses melawan keterpurukan.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 187 Th.10, Ramadhan 1429 H, 11 September 2008 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar