Pada Siapa
Kita Pecaya[1]
(Hal-04) Bangsa ini
tertatih menuju bangkit. Menggeliat mencari-cari labuhan kepercayaan. Amerika
yang Kapitaliskah? Cina yang Komuniskah? Israel yang Zioniskah? Atau Eropa yang
Nasranikah?
Memang, tak semua orang yang menimbang
negeri-negeri itu dengan neraca ideologi. Tapi hampir semua kebangkitan selalu
berbasiskan ideologi. Mungkin itu sudah tradisi sejarah. Rahasianya adalah,
ideologi memberi suplai energi yang sangat besar bagi setiap kebangkitan, meski
harus berdarah-darah. Maka, Soekarno membiayai logika-logika politiknya dengan
meretas ideologi Nasakom. Sedang Soeharto memilih mensakralkan ideologi
Pancasila, atau doktrin trilogi pembangunan yang melahirkan kebangkrutan. Kebangkitan
industrialisasi kapitalis tetap kebangkitan ideologi juga, ideologi kapitalis
itu sendiri.
Nampaknya, bangsa-bangsa ‘besar’ di dunia ini
tak terlalu bergairah melirik ideologi Islam. Apalagi sebagai basis
kebangkitan. Bahkan, kian hari yang Nampak hanya kebencian yang membuncah. Di
Amerika, misalnya, baru saja tahun 2000 merambah perlahan, agenda penting FBI
adalah mewaspadai teroris 2000. Akhir bulan lalu, di Los Angeles, Rick Hahn,
mantan agen khusus FBI, membuka forum yang membahas situasi keamanan nasional
AS. Dalam forum itu diangkat isu kebijakan kontra terorisme. Anehnya, forum itu
diberi nama “Forum Muslim”.
Masih dari Amerika juga, departemen
pertahanan Amerika memperingatkan panitia penyelenggara reli Paris-Dakar
tentang ancaman teroris. Nasehat serupa juga diberikan Prancis. Buahnya, 3000
km etape di Nigeria dibatalkan. Salah satu Negara termiskin itu pun terpukul.
Untuk kekhawatiran atas teroris itu, tiga pesawat kargo raksasa Antonov buatan
Rusia dikerahkan untuk melakukan 18 kali penerbangan evakuasi, melintasi jarak
1.500 km diatas gurun sahara. Bagi kita, tak penting reli itu batal atau tidak.
Tapi masalah besarnya, siapa sebenarnya yang teroris.
Lain lagi berita dari Balkan. Tokoh penjagal
Serbia, Zeljko “Arkan” Raznatovic, tewas pertengahan Januari lalu. Tubuhnya
terhempas di lobi hotel intercontinental setelah
matanya tertembus peluru. Anehnya, oleh sebagian rakyat Serbia ia dianggap
sebagai pahlawan. Padahal penjahat perang itu telah membantai sadis 250 lebih
Muslim Kroasia di Vulkokra. Belum lagi di Bijeljna, Bosnia. Ia juga dalang dan
pelaku pemerkosaan sistematis di negeri itu.
Dunia memang sesak oleh “maling teriak
maling”. Dengan ringan pejabat Presiden Rusia, Vladimir Putin, memperingatkan
rakyatnya dari “bahaya aksi teroris” di negerinya. Teroris yang ia maksud tak
lain adalah para mujahidin Chechnya. Lalu, dengan apa kita menyebut kelakuan
pasukan Rusia yang terus-menerus membom Grozny, Ibu Kota Chechnya? Dengan apa
pula kita menafsirkan sikap Dewan Eropa, yang tidak akan merekomendasikan
Moskow untuk dibekukan keanggotaaannya dari hak asasi manusia? Bila masih ada
kata-kata, coba katakan apa untuk semua angkara murka mereka itu.
Maka, adalah fatal menjadikan bangsa ini
tumbal bagi konsepsi-konsepsi ideologis barat. Kecuali bila ingin menggali
kubur sendiri. Atau menyeret ummat ini ke pusaran kebangkitan yang hampa.
Padahal, sejak dulu para salafusshalih umat ini mewanti-wanti, bahwa kemuliaan
kita hanya ada pada Islam. Orang barat tak lebih mengerti tentang kita, apalagi
menghargai agama kita. Kini tak bisa ditawar lagi, umat ini harus percaya pada
diri sendiri. Dan, itu artinya kita harus banyak belajar lagi tentang agama
kita.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar