Selasa, 01 September 2020

Pada Siapa Kita Pecaya

Pada Siapa Kita Pecaya[1] 

(Hal-04) Bangsa ini tertatih menuju bangkit. Menggeliat mencari-cari labuhan kepercayaan. Amerika yang Kapitaliskah? Cina yang Komuniskah? Israel yang Zioniskah? Atau Eropa yang Nasranikah?



Memang, tak semua orang yang menimbang negeri-negeri itu dengan neraca ideologi. Tapi hampir semua kebangkitan selalu berbasiskan ideologi. Mungkin itu sudah tradisi sejarah. Rahasianya adalah, ideologi memberi suplai energi yang sangat besar bagi setiap kebangkitan, meski harus berdarah-darah. Maka, Soekarno membiayai logika-logika politiknya dengan meretas ideologi Nasakom. Sedang Soeharto memilih mensakralkan ideologi Pancasila, atau doktrin trilogi pembangunan yang melahirkan kebangkrutan. Kebangkitan industrialisasi kapitalis tetap kebangkitan ideologi juga, ideologi kapitalis itu sendiri.

Nampaknya, bangsa-bangsa ‘besar’ di dunia ini tak terlalu bergairah melirik ideologi Islam. Apalagi sebagai basis kebangkitan. Bahkan, kian hari yang Nampak hanya kebencian yang membuncah. Di Amerika, misalnya, baru saja tahun 2000 merambah perlahan, agenda penting FBI adalah mewaspadai teroris 2000. Akhir bulan lalu, di Los Angeles, Rick Hahn, mantan agen khusus FBI, membuka forum yang membahas situasi keamanan nasional AS. Dalam forum itu diangkat isu kebijakan kontra terorisme. Anehnya, forum itu diberi nama “Forum Muslim”.

Masih dari Amerika juga, departemen pertahanan Amerika memperingatkan panitia penyelenggara reli Paris-Dakar tentang ancaman teroris. Nasehat serupa juga diberikan Prancis. Buahnya, 3000 km etape di Nigeria dibatalkan. Salah satu Negara termiskin itu pun terpukul. Untuk kekhawatiran atas teroris itu, tiga pesawat kargo raksasa Antonov buatan Rusia dikerahkan untuk melakukan 18 kali penerbangan evakuasi, melintasi jarak 1.500 km diatas gurun sahara. Bagi kita, tak penting reli itu batal atau tidak. Tapi masalah besarnya, siapa sebenarnya yang teroris.

Lain lagi berita dari Balkan. Tokoh penjagal Serbia, Zeljko “Arkan” Raznatovic, tewas pertengahan Januari lalu. Tubuhnya terhempas di lobi hotel intercontinental setelah matanya tertembus peluru. Anehnya, oleh sebagian rakyat Serbia ia dianggap sebagai pahlawan. Padahal penjahat perang itu telah membantai sadis 250 lebih Muslim Kroasia di Vulkokra. Belum lagi di Bijeljna, Bosnia. Ia juga dalang dan pelaku pemerkosaan sistematis di negeri itu.

Dunia memang sesak oleh “maling teriak maling”. Dengan ringan pejabat Presiden Rusia, Vladimir Putin, memperingatkan rakyatnya dari “bahaya aksi teroris” di negerinya. Teroris yang ia maksud tak lain adalah para mujahidin Chechnya. Lalu, dengan apa kita menyebut kelakuan pasukan Rusia yang terus-menerus membom Grozny, Ibu Kota Chechnya? Dengan apa pula kita menafsirkan sikap Dewan Eropa, yang tidak akan merekomendasikan Moskow untuk dibekukan keanggotaaannya dari hak asasi manusia? Bila masih ada kata-kata, coba katakan apa untuk semua angkara murka mereka itu.

Maka, adalah fatal menjadikan bangsa ini tumbal bagi konsepsi-konsepsi ideologis barat. Kecuali bila ingin menggali kubur sendiri. Atau menyeret ummat ini ke pusaran kebangkitan yang hampa. Padahal, sejak dulu para salafusshalih umat ini mewanti-wanti, bahwa kemuliaan kita hanya ada pada Islam. Orang barat tak lebih mengerti tentang kita, apalagi menghargai agama kita. Kini tak bisa ditawar lagi, umat ini harus percaya pada diri sendiri. Dan, itu artinya kita harus banyak belajar lagi tentang agama kita.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 006 Th.1, 23 Dzulqa’idah 1420 H, 29 Februari 2000 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar