Masyarakat
Tanpa Teladan[1]
(Hal-04) Kita ini
miskin teladan. Tak punya tokoh yang bisa jadi panutan. Mencari contoh
orang-orang baik serasa mencari bayangan pada cermin yang retak-retak. Kita
memang punya Rasulullah, punya para sahabat, punya tabi’in dan para
salafusshalih lainnya. Tapi semua itu hari ini hanya ada di dalam buku. Atau
paling dalam semburat kata-kata, belum lagi berwujud perilaku nyata.
Kita ini miskin teladan. Orang-orang ‘besar’
yang mestinya menurunkan didikan baik justru banyak yang jadi biang kebobrokan.
Apa yang bisa diharapkan dari anggota dewan ‘yang terhormat’ dari F-PDI-P yang
melakukan pesta seks di Kediri? Atau enam belas lainnya di Medan yang menelan
suap 25 juta? Atau yang triping di
diskotik di Surabaya? Keteladanan secara lembaga tak jauh berbeda nasibnya.
Sulit kita dapatkan instansi yang bersih dan berwibawa. Mahkamah Agung, yang
mestinya menebar keadilan, kini justru sedang rebut soal pemalsuan putusan.
Kita ini miskin teladan. Tapi sebagian besar
masyarakat merasa masih punya contoh orang-orang ‘hebat’. Sebab, setiap pekan
mereka bisa menonton Cek& Ricek, Halo
Selebriti, Panaroma, Kisah seputar Selebriti (KISS), Kabar-Kabari, Serenada,
dll. Acara rutin TV-TV swasta yang menguliti kehidupan para artis, dari
soal dapur sampai tempat tidur itu seakan menjadi alternative teladan. Padahal,
seperti bahasa dasarnya, celebrate, mereka
umumnya orang-orang yang suka pesta, hidup dengan gaya glamour, dan karenanya
menjadi terkenal. Dunia itulah yang sejak 1977 sudah dijauhi oleh Yusuf Islam,
mantan penyanyi rock terkenal Inggris yang punya nama kecil Stephen Demitri
Georgiou.
Tak heran bila rakyat Filipina hari-hari ini
mengeluhkan presiden mereka yang artis itu. Konon, Joseph Estrada, tidak bisa
meninggalkan gaya hidupnya sebagai artis yang suka menenggak minuman keras. Belum
lagi soal tuduhan penggelapan uang oleh keluarganya sebesar 430,3 juta peso
atau sekitar 78,8 milyar. Sementara Amerika, Monica Lewinsky yang pernah punya
skandal menjijikkan dengan Bill Clinton, justru menangguk untung besar. Sebab,
orang kini memburu tas-tas kecil buatannya yang berbubuh tanda tangan, meski di
jual antara 110 hingga 130 US $. Bukti barunya di Manhattan setiap hari
dipadati pengunjung.
Kita ini miskin teladan. Digantikan dalam
iklan demi iklan, yang setahunya menghabiskan seratus delapan puluhan milyar
rupiah. Orang membeli produk tak selalu karena mutu atau perlu. Tapi karena ada
ikatan emosi psikologi antara dirinya dengan bintang iklan produk itu. Maka,
apalah artinya kalimat “peringatan pemerintah:
Merokok dapat merusak kesehatan” pada iklan rokok? Buktinya, setiap tahun,
57.000 orang di negeri ini mati karena rokok, total 3,5 juta yang tewas di
dunia karena nasib yang sama.
Semua “teladan” di atas mengajari orang untuk
menyukai yang remeh-remeh. Enggan bekerja keras dan mengambil risiko hidup.
karenanya, kita berharap semoga saja jargon Presiden Gusdur, “gitu saja kok
repot” yang laris di tiru masyarakat, tak berarti ia sedang mengajari rakyatnya
untuk menjadi kaum pragmatis dan pemalas.
Namun, semua itu tak serta merta harus
membuat kita binasa. Sebab secara fitrah kita masih punya rambu-rambu. Menjadi
baik pada batas tertentu tak harus berdasarkan ilmu yang rumit-rumit. Orang
bodoh pun bisa menata dirinya untuk menjadi baik, asal ia mau. Karenanya, tak
aneh bila ajaran-ajaran awal disampaikan Rasulullah adalah “Bila engkau tak punya rasa malu, maka berbuatlah sesuka kehendakmu.”
Tapi entahlah kini, bila rasa malu pun
ternyata sudah tak ada lagi pada diri kita.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar