Selasa, 01 September 2020

Masyarakat Tanpa Teladan

 Masyarakat Tanpa Teladan[1] 

(Hal-04) Kita ini miskin teladan. Tak punya tokoh yang bisa jadi panutan. Mencari contoh orang-orang baik serasa mencari bayangan pada cermin yang retak-retak. Kita memang punya Rasulullah, punya para sahabat, punya tabi’in dan para salafusshalih lainnya. Tapi semua itu hari ini hanya ada di dalam buku. Atau paling dalam semburat kata-kata, belum lagi berwujud perilaku nyata.



Kita ini miskin teladan. Orang-orang ‘besar’ yang mestinya menurunkan didikan baik justru banyak yang jadi biang kebobrokan. Apa yang bisa diharapkan dari anggota dewan ‘yang terhormat’ dari F-PDI-P yang melakukan pesta seks di Kediri? Atau enam belas lainnya di Medan yang menelan suap 25 juta? Atau yang triping di diskotik di Surabaya? Keteladanan secara lembaga tak jauh berbeda nasibnya. Sulit kita dapatkan instansi yang bersih dan berwibawa. Mahkamah Agung, yang mestinya menebar keadilan, kini justru sedang rebut soal pemalsuan putusan.

Kita ini miskin teladan. Tapi sebagian besar masyarakat merasa masih punya contoh orang-orang ‘hebat’. Sebab, setiap pekan mereka bisa menonton Cek& Ricek, Halo Selebriti, Panaroma, Kisah seputar Selebriti (KISS), Kabar-Kabari, Serenada, dll. Acara rutin TV-TV swasta yang menguliti kehidupan para artis, dari soal dapur sampai tempat tidur itu seakan menjadi alternative teladan. Padahal, seperti bahasa dasarnya, celebrate, mereka umumnya orang-orang yang suka pesta, hidup dengan gaya glamour, dan karenanya menjadi terkenal. Dunia itulah yang sejak 1977 sudah dijauhi oleh Yusuf Islam, mantan penyanyi rock terkenal Inggris yang punya nama kecil Stephen Demitri Georgiou.

Tak heran bila rakyat Filipina hari-hari ini mengeluhkan presiden mereka yang artis itu. Konon, Joseph Estrada, tidak bisa meninggalkan gaya hidupnya sebagai artis yang suka menenggak minuman keras. Belum lagi soal tuduhan penggelapan uang oleh keluarganya sebesar 430,3 juta peso atau sekitar 78,8 milyar. Sementara Amerika, Monica Lewinsky yang pernah punya skandal menjijikkan dengan Bill Clinton, justru menangguk untung besar. Sebab, orang kini memburu tas-tas kecil buatannya yang berbubuh tanda tangan, meski di jual antara 110 hingga 130 US $. Bukti barunya di Manhattan setiap hari dipadati pengunjung.

Kita ini miskin teladan. Digantikan dalam iklan demi iklan, yang setahunya menghabiskan seratus delapan puluhan milyar rupiah. Orang membeli produk tak selalu karena mutu atau perlu. Tapi karena ada ikatan emosi psikologi antara dirinya dengan bintang iklan produk itu. Maka, apalah artinya kalimat “peringatan pemerintah: Merokok dapat merusak kesehatan” pada iklan rokok? Buktinya, setiap tahun, 57.000 orang di negeri ini mati karena rokok, total 3,5 juta yang tewas di dunia karena nasib yang sama.

Semua “teladan” di atas mengajari orang untuk menyukai yang remeh-remeh. Enggan bekerja keras dan mengambil risiko hidup. karenanya, kita berharap semoga saja jargon Presiden Gusdur, “gitu saja kok repot” yang laris di tiru masyarakat, tak berarti ia sedang mengajari rakyatnya untuk menjadi kaum pragmatis dan pemalas.

Namun, semua itu tak serta merta harus membuat kita binasa. Sebab secara fitrah kita masih punya rambu-rambu. Menjadi baik pada batas tertentu tak harus berdasarkan ilmu yang rumit-rumit. Orang bodoh pun bisa menata dirinya untuk menjadi baik, asal ia mau. Karenanya, tak aneh bila ajaran-ajaran awal disampaikan Rasulullah adalah “Bila engkau tak punya rasa malu, maka berbuatlah sesuka kehendakmu.”

Tapi entahlah kini, bila rasa malu pun ternyata sudah tak ada lagi pada diri kita.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 008 Th.1, 25 Muharram 1421, 30 April 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar