Magma
Kebencian[1]
(Hal-06) Sebuah
ledakan bom adalah hamburan pesan. Di era Perang Dunia Kedua, hujan bom di laut
pasifik adalah pertaruhan untuk tetap bernafas, adu gengsi, dan penaklukan
tiada akhir. Bahkan ketika Jepang terjepit, hunjaman pesawat mereka di cerobong
kapal sekutu, dengan para pilot berani mati, adalah ledakan pesan yang heroic,
setidaknya dalam kaca militer. Pesannya jelas, para pelaku kamikaze itu
berharap bisa memberi kehidupan dengan mempersembahkan kematian yag dianggap
aneh dan tak disangka oleh Amerika dan konco-konconya.
Tetapi di zaman ketika penjahat tak lagi
jantan, sebuah gelegar bom adalah ledakan kesumat. Dari dan oleh siapa saja. Yang
ingin mengguncang stabilitas pemerintahan, ia ledakkan bom. Yang tak puas
dengan atasannya, ia ledakkan bom. Yang marah karena pacarnya lari dari Bali
dan menikahi perempuan asing, mengancam akan meledakkan bom. Yag ingin membunuh
karakter umat Islam, ia ledakkan bom. Begitulah. Bahkan yang ingin menikmati
kepuasan membunuh tanpa diketahui, ia ledakkan bom.
Hari ini ledakan bom adalah muntahan
magma-magma kebencian yang memuncak menembus langit. Dentuman-dentuman bom di
Tentena itu, atau ancaman-ancamannya yang menghantui Jakarta, juga ketakutan-ketakutan
beberapa kedutaan besar asing, adalah serangan terhadap Indonesia yang tengah
bergeliat menuju cita-cita jauhnya. Ya. Indonesia pasca reformasi adalah negeri
dengan kebangkitan yang bergairah dan kesegaran harapan pada banyak sisinya.
Tentu dengan kekurangan di sana-sini. Tapi demokratisasi, yang menjadi tuhan
dan kiblat ajaran dunia internasional, toh telah dipilih dan di jalani dengan
segenap partisipasi rakyat yang luar biasa. Sepanjang Indonesia merdeka, baru
sekali itu presiden dipilih langsung. Baru kali ini kepala daerah dipilih
langsung, bupati maupun gubernurnya. Di tengah hancurnya kredibilitas KPU,
masyarakat masih menyisakan kemauan untuk menyukseskan semua prosesi demokrasi
itu. Bahkan, pelaku peledakan bom itu, tidak ingin melihat Indonesia hidup
akrab dalam satu rumah besarnya, setelah bersama-sama membagi rasa, dalam
simpul bencana Aceh yang mengguncang.
Para rakyat di akar rumput punya cara sendiri
untuk dewasa menyikapi. Mereka memang ngeri dan pilu menyaksikan korban-korban
itu. Tapi mereka tidak merasa perlu untuk berspekulasi. Bila membeli beras dan
minyak tanah itu lebih penting bagi mereka. Bahasa kebencian mereka satu, bahwa
membunuh secara tidak sah, dengan bom di pasar atau dengan palu di lampu merah,
adalah kejahatan yang harus dibasmi. Justru para elitlah yang harus arif
bersikap. Para aparat harus bertindak tegas, jelas dan adil. Tegas, bahwa hokum
harus ditegakkan dengan sepenuh ketegasan. Jelas, artinya jangan asal tangkap,
tapi salah atau cepat menyimpulkan, tetapi hanya berdasarkan indikasi-indikasi
yang lemah. Kasus salah tangkap atau memaksakan seseorang menjadi tersangka,
sudah sering terjadi. adil, artinya, bahwa siapa yang tidak bersalah, harus
bebas dari tuduhan, apalagi hukuman.
Sebuah bom adalah ledakan konspirasi. Seorang
anak sekolah menengah di Jakarta pun bisa berpura-pura diculik setelah kabur
dan menjual mobil ayahnya. Bagaimana pula dengan seorang Jenderal? Intel asing
atau Melayunya? Pengusaha? Politisi? Bandit? Siapa saja yang menyimpan
kebencian mendidih di dalam nafsu busuknya, sangat mudah baginya untuk
melampiaskannya dalam ledakan bom. Di zaman di mana para penjahatnya pengecut
dan para pengecutnya belajar jadi penjahat.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar