Selasa, 01 September 2020

Magma Kebencian

Magma Kebencian[1] 

(Hal-06) Sebuah ledakan bom adalah hamburan pesan. Di era Perang Dunia Kedua, hujan bom di laut pasifik adalah pertaruhan untuk tetap bernafas, adu gengsi, dan penaklukan tiada akhir. Bahkan ketika Jepang terjepit, hunjaman pesawat mereka di cerobong kapal sekutu, dengan para pilot berani mati, adalah ledakan pesan yang heroic, setidaknya dalam kaca militer. Pesannya jelas, para pelaku kamikaze itu berharap bisa memberi kehidupan dengan mempersembahkan kematian yag dianggap aneh dan tak disangka oleh Amerika dan konco-konconya.



Tetapi di zaman ketika penjahat tak lagi jantan, sebuah gelegar bom adalah ledakan kesumat. Dari dan oleh siapa saja. Yang ingin mengguncang stabilitas pemerintahan, ia ledakkan bom. Yang tak puas dengan atasannya, ia ledakkan bom. Yang marah karena pacarnya lari dari Bali dan menikahi perempuan asing, mengancam akan meledakkan bom. Yag ingin membunuh karakter umat Islam, ia ledakkan bom. Begitulah. Bahkan yang ingin menikmati kepuasan membunuh tanpa diketahui, ia ledakkan bom.

Hari ini ledakan bom adalah muntahan magma-magma kebencian yang memuncak menembus langit. Dentuman-dentuman bom di Tentena itu, atau ancaman-ancamannya yang menghantui Jakarta, juga ketakutan-ketakutan beberapa kedutaan besar asing, adalah serangan terhadap Indonesia yang tengah bergeliat menuju cita-cita jauhnya. Ya. Indonesia pasca reformasi adalah negeri dengan kebangkitan yang bergairah dan kesegaran harapan pada banyak sisinya. Tentu dengan kekurangan di sana-sini. Tapi demokratisasi, yang menjadi tuhan dan kiblat ajaran dunia internasional,  toh telah dipilih dan di jalani dengan segenap partisipasi rakyat yang luar biasa. Sepanjang Indonesia merdeka, baru sekali itu presiden dipilih langsung. Baru kali ini kepala daerah dipilih langsung, bupati maupun gubernurnya. Di tengah hancurnya kredibilitas KPU, masyarakat masih menyisakan kemauan untuk menyukseskan semua prosesi demokrasi itu. Bahkan, pelaku peledakan bom itu, tidak ingin melihat Indonesia hidup akrab dalam satu rumah besarnya, setelah bersama-sama membagi rasa, dalam simpul bencana Aceh yang mengguncang.

Para rakyat di akar rumput punya cara sendiri untuk dewasa menyikapi. Mereka memang ngeri dan pilu menyaksikan korban-korban itu. Tapi mereka tidak merasa perlu untuk berspekulasi. Bila membeli beras dan minyak tanah itu lebih penting bagi mereka. Bahasa kebencian mereka satu, bahwa membunuh secara tidak sah, dengan bom di pasar atau dengan palu di lampu merah, adalah kejahatan yang harus dibasmi. Justru para elitlah yang harus arif bersikap. Para aparat harus bertindak tegas, jelas dan adil. Tegas, bahwa hokum harus ditegakkan dengan sepenuh ketegasan. Jelas, artinya jangan asal tangkap, tapi salah atau cepat menyimpulkan, tetapi hanya berdasarkan indikasi-indikasi yang lemah. Kasus salah tangkap atau memaksakan seseorang menjadi tersangka, sudah sering terjadi. adil, artinya, bahwa siapa yang tidak bersalah, harus bebas dari tuduhan, apalagi hukuman.

Sebuah bom adalah ledakan konspirasi. Seorang anak sekolah menengah di Jakarta pun bisa berpura-pura diculik setelah kabur dan menjual mobil ayahnya. Bagaimana pula dengan seorang Jenderal? Intel asing atau Melayunya? Pengusaha? Politisi? Bandit? Siapa saja yang menyimpan kebencian mendidih di dalam nafsu busuknya, sangat mudah baginya untuk melampiaskannya dalam ledakan bom. Di zaman di mana para penjahatnya pengecut dan para pengecutnya belajar jadi penjahat.*

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 111 Th.7, Jumadal Ula 1426, 23 Juni 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar