Selasa, 01 September 2020

Elegi 2000

Elegi 2000[1] 

(Hal-04) Jaman makin tua.  Dalam hitungan masehi bila tidak ada halangan seribu tahun kedua akan berganti ke awal seribu tahun ketiga. Ada harapan baru (minimal semangat baru). Tapi sederet luka lama masih menganga. Pengangguran, krisis ekonomi, pemerintahan baru yang muram, meningkatnya kriminalitas, kebobrokan moral, hanyalah sebagian kecil dari borok dan bopeng wajah sosial kita.



Yang paling mengerikan adalah munculnya ‘gerakan obyektifitas’. Sebuah gelombang baru pemahaman manusia tentang dirinya sendiri. Bahwa segalanya adalah manusiawi bila sesuai dengan kehendak kemanusiaannya. Meski unsure yang dominan adalah hawa nafsunya. Mereka memperkosa semena-mena teori obyektivitas Paul B. Horton, (1984): “obyektifitas adalah kemampuan untuk melihat dan menerima fakta sebagaimana adanya, bukan sebagai apa yang diharapkan.”  Maka lahirlah keyakinan bahwa segala kehendak harus dipandang apa adanya. Inilah yang kemudian menjadi ruh bagi gerakan revolusi ‘orang-orang gila’ itu.

Maka jangan heran bila banyak orang dengan gegabah mengatakan bahwa foto bugil di sampul popular dan matra itu tidak porno. Tapi sebuah seni yang indah, bila dipandang apa adanya, tanpa preferensi agama, moral, pribadi, apalagi politis. Atau sikap beberapa mahasiswa yang menganggap seks bebas itu biasa-biasa saja. Karena ia seperti kebutuhan makan, tak perlu diikat etika yang rumit. Atau seperti yang dilakukan sebuah biro di Amerika baru-baru ini. Melalui jaringan internet, biro itu menjual sel-sel telur para bintang dan model perempuan. Dalam penjualan perdananya, ditawarkan delapan model cantik. Harga satu sel telur antara 15.000 sampai 100.000 US $. Angka belum termasuk biaya lain-lain seperti proses pembuahan dan perawatan.

Jaman makin tua. Setengah dari 6 milyar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan. Dengan pendapatan rata-rata 3 dolar per hari, bahkan lebih buruk. Padahal di Paris, pemerintah menghabiskan lebih 140 miliar rupiah hanya untuk membersihkan kotoran anjing milik warga yang nge-pup sembarangan di jalan-jalan kota wisata dunia itu. Sementara masyarakat Inggris telah membelanjakan tujuh triliun lebih untuk kucing piaraan mereka sekaligus perhiasannya. Ironis memang.

Jaman makin tua. Indonesia menjadi penyumbang ketiga penyakit TBC di dunia. Menurut Prof. Anfasa Muluk, satu tahun ke depan jumlah penderita TBC di Indonesia bisa menjadi 100 juta orang, atau hamper setengah dari penduduk negeri ini. Sementara penyakit mental tak kalah mengerikan. Kepolisian Metro Jaya belum lama ini menggagalkan penyeludupan 54 ribu lebih VCD porno. Sebulan sebelumnya, mereka menangkap pembawa 990 kg kilo gram ganja kering, atau hampir satu ton. Padahal menurut seorang sumber di Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta, dari seluruh pasien yang berobat, hanya 1% yang dimungkinkan bisa sembuh.

Jaman makin tua. Kebiadaban belum berhenti. Kebrutalan merajalela. Apalagi kala sejarah kerusakan manusia menemukan kemasan yang necis, elegan dan mungkin ‘terhormat’. Karenanya, sekjen PBB Kofi Annan menyebut abad 20 abad paling kejam. Meski seharusnya tuan Kofi sadar, sebagian kekejaman itu adalah karya nyata organisasi yang dipimpinnya.

Dunia kian renta, menanti manusia-manusia pembangun. Walau seorang penyair sempat galau:

Bila seribu pembangun

Dibelakangnya ada seorang penghancur

Cukuplah sudah

Bagaimana jadinya bila seorang pembangun

Di belakangnya ada seribu penghancur *

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 005  Th.I, 08 Syawal 1420 H, 15 Januari 2000 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar