Elegi 2000[1]
(Hal-04) Jaman makin
tua. Dalam hitungan masehi bila tidak
ada halangan seribu tahun kedua akan berganti ke awal seribu tahun ketiga. Ada
harapan baru (minimal semangat baru). Tapi sederet luka lama masih menganga.
Pengangguran, krisis ekonomi, pemerintahan baru yang muram, meningkatnya
kriminalitas, kebobrokan moral, hanyalah sebagian kecil dari borok dan bopeng
wajah sosial kita.
Yang paling mengerikan adalah munculnya
‘gerakan obyektifitas’. Sebuah gelombang baru pemahaman manusia tentang dirinya
sendiri. Bahwa segalanya adalah manusiawi bila sesuai dengan kehendak
kemanusiaannya. Meski unsure yang dominan adalah hawa nafsunya. Mereka
memperkosa semena-mena teori obyektivitas Paul B. Horton, (1984): “obyektifitas adalah kemampuan untuk melihat
dan menerima fakta sebagaimana adanya, bukan sebagai apa yang diharapkan.” Maka lahirlah keyakinan bahwa segala kehendak
harus dipandang apa adanya. Inilah yang kemudian menjadi ruh bagi gerakan
revolusi ‘orang-orang gila’ itu.
Maka jangan heran bila banyak orang dengan
gegabah mengatakan bahwa foto bugil di sampul popular dan matra itu
tidak porno. Tapi sebuah seni yang indah, bila dipandang apa adanya, tanpa
preferensi agama, moral, pribadi, apalagi politis. Atau sikap beberapa
mahasiswa yang menganggap seks bebas itu biasa-biasa saja. Karena ia seperti
kebutuhan makan, tak perlu diikat etika yang rumit. Atau seperti yang dilakukan
sebuah biro di Amerika baru-baru ini. Melalui jaringan internet, biro itu
menjual sel-sel telur para bintang dan model perempuan. Dalam penjualan
perdananya, ditawarkan delapan model cantik. Harga satu sel telur antara 15.000
sampai 100.000 US $. Angka belum termasuk biaya lain-lain seperti proses
pembuahan dan perawatan.
Jaman makin tua. Setengah dari 6 milyar penduduk
dunia hidup dalam kemiskinan. Dengan pendapatan rata-rata 3 dolar per hari,
bahkan lebih buruk. Padahal di Paris, pemerintah menghabiskan lebih 140 miliar
rupiah hanya untuk membersihkan kotoran anjing milik warga yang nge-pup sembarangan di jalan-jalan kota
wisata dunia itu. Sementara masyarakat Inggris telah membelanjakan tujuh
triliun lebih untuk kucing piaraan mereka sekaligus perhiasannya. Ironis
memang.
Jaman makin tua. Indonesia menjadi penyumbang
ketiga penyakit TBC di dunia. Menurut Prof. Anfasa Muluk, satu tahun ke depan
jumlah penderita TBC di Indonesia bisa menjadi 100 juta orang, atau hamper
setengah dari penduduk negeri ini. Sementara penyakit mental tak kalah
mengerikan. Kepolisian Metro Jaya belum lama ini menggagalkan penyeludupan 54 ribu
lebih VCD porno. Sebulan sebelumnya, mereka menangkap pembawa 990 kg kilo gram
ganja kering, atau hampir satu ton. Padahal menurut seorang sumber di Rumah
Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta, dari seluruh pasien yang berobat, hanya 1%
yang dimungkinkan bisa sembuh.
Jaman makin tua. Kebiadaban belum berhenti.
Kebrutalan merajalela. Apalagi kala sejarah kerusakan manusia menemukan kemasan
yang necis, elegan dan mungkin ‘terhormat’. Karenanya, sekjen PBB Kofi Annan
menyebut abad 20 abad paling kejam. Meski seharusnya tuan Kofi sadar, sebagian
kekejaman itu adalah karya nyata organisasi yang dipimpinnya.
Dunia kian renta, menanti manusia-manusia
pembangun. Walau seorang penyair sempat galau:
Bila seribu pembangun
Dibelakangnya ada seorang
penghancur
Cukuplah sudah
Bagaimana jadinya bila seorang
pembangun
Di belakangnya ada seribu
penghancur *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar