Selasa, 01 September 2020

Undang-Undang yang Malang

 Undang-Undang yang Malang[1] 

(Hal-04) Dengan apa kita mengukur keadilan? Dengan apa kita menimbang kejujuran? Dengan undang-undang? Mungkin. Tapi segudang undang-undang dibuat, setumpuk peraturan disusun, akhirnya ‘untuk’ dilanggar juga. Di rimba jalan raya misalnya, alangkah seram ancaman bagi pelanggarnya. “mengemudikan kendaraan bermotor, tidak memiliki SIM di pidana kurungan maksimal 6 (enam) bulan atau denda maksimal Rp. 6.000.000 (pasal 59 ayat (1) UU No.14 1992). Tapi, pernahkah Anda mendengar, ada orang mengeluarkan uang enam juta karena tak punya SIM? Entahlah. Umumnya orang memilih jalan ‘perdamaian’, dengan lipatan uang di bawah tangan.



Di kalangan dokter ada kode etik profesi. Tidak boleh melakukan mal praktek, mendulang kekayaan dibalik wajah-wajah sekarat pasiennya. Atau menyalahgunakan keahliannya untuk tujuan tercela. Tapi masih banyak oknum dokter yang bandel. Di Jakarta utara ada dokter yang mengaborsi dua ratusan janin. Harian sore di Jakarta pernah memuat jumlah bonus yang diberikan pabrik obat kepada para dokter yang mau meresepkan obat-obat keluarannya. Bulan lalu, hakim Tayne Forbes dari pengadilan Preston, menjatuhi dr. Harold Frederick Shipman vonis lima belas kali hukuman seumur hidup, atau selama 810 tahun penjara. Dengan motif merebut warisan, dokter berwajah dingin itu terbukti membunuh 200 pasien selama 20 tahun (atau 10 orang per tahun).

Wartawan juga terikat etika. PWI punya empat ratus delapan puluhan kata pada pasal-pasal etika jurnalistik. Militer punya sumpah prajurit. Tapi anak dua jenderal dicokok aparat sedang membawa shabu-shabu dan senjata api. ‘pagar’, benar-benar banyak makan ‘tanaman’. Tragis, seperti tragisnya kisah spanduk-spanduk anti narkoba. Para Bandar narkoba tak kalah semangat ikut memasang spanduk-spanduk itu.

Dunia penerbitan undang-undang pembajakan. Pasal 44, Undang-Undang Hak Cipta, tahun 1987, mengancam para pembajak dengan pidana penjara paling lamatujuh tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta. Tapi semua orang tahu, pembajakan hak cipta di Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Anehnya, ketika baru-baru ini ada sosialisasi soal HAKI (Hak Atas Karya Intelektual), justru banyak pakar tak antusias. Alasannya lucu, mereka para khawatir para perajin tempe di Indonesia, kelak harus membayar royalti kepada pakar tempe Amerika yang sudah mematenkan penemuannya di bidang tempe.

Tak jarang undang-undang justru bisa berubah menjadi ‘jaket anti jerat hukum’ bagi para penjahat. Karena banyak undang-undang yang isinya tumpukan pasal karet. Bisa ke kanan atau ke kiri, tergantung penafsirnya.

Memang, masih banyak orang baik-baik. Tetapi ada dua tipe kejahatan yang bencananya massif: kejahatan pada profesi strategis (seperti dokter dan semisalnya), dan kejahatan oleh pemilik ‘kekuatan’ (seperti tentara yang bersenjata dan semisalnya). Meski dilakukan sedikit orang, secara psikologis bisa mengguncang ketenangan jutaan orang.

Kita perlu undang-undang. Ajaran Islam sendiri tak lain adalah kumpulan undang-undang. Tapi lebih dulu kita sangat berhajat pada “kesadaran diri” para penegak undang-undang. Kesadaran diri adalah kunci. Sebab, “bukanlah mata yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada,”(QS Al-Hajj: 46). Tak pelak lagi, harus ada proyek raksasa, yang mampu menggebrak kesadaran diri kita, memahat integritas diri kita, apapun jabatan kita.

Tak sulit mengawalinya. Tanya saja pada diri kita, pada lubuk hati kita yang paling dalam. Lalu buktikan kebenaran kata-kata Imam Hasan Al-hudhaibi, “Tegakkan Islam di hatimu, niscaya akan tegak di atas bumimu.”*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 007 Th.1, 25 Dzulhijjah 1420, 30 Maret 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar