Undang-Undang
yang Malang[1]
(Hal-04) Dengan apa
kita mengukur keadilan? Dengan apa kita menimbang kejujuran? Dengan
undang-undang? Mungkin. Tapi segudang undang-undang dibuat, setumpuk peraturan
disusun, akhirnya ‘untuk’ dilanggar juga. Di rimba jalan raya misalnya,
alangkah seram ancaman bagi pelanggarnya. “mengemudikan
kendaraan bermotor, tidak memiliki SIM di pidana kurungan maksimal 6 (enam)
bulan atau denda maksimal Rp. 6.000.000 (pasal 59 ayat (1) UU No.14 1992). Tapi,
pernahkah Anda mendengar, ada orang mengeluarkan uang enam juta karena tak
punya SIM? Entahlah. Umumnya orang memilih jalan ‘perdamaian’, dengan lipatan
uang di bawah tangan.
Di kalangan dokter ada kode etik profesi.
Tidak boleh melakukan mal praktek, mendulang kekayaan dibalik wajah-wajah
sekarat pasiennya. Atau menyalahgunakan keahliannya untuk tujuan tercela. Tapi
masih banyak oknum dokter yang bandel. Di Jakarta utara ada dokter yang
mengaborsi dua ratusan janin. Harian sore di Jakarta pernah memuat jumlah bonus
yang diberikan pabrik obat kepada para dokter yang mau meresepkan obat-obat
keluarannya. Bulan lalu, hakim Tayne Forbes dari pengadilan Preston, menjatuhi
dr. Harold Frederick Shipman vonis lima belas kali hukuman seumur hidup, atau
selama 810 tahun penjara. Dengan motif merebut warisan, dokter berwajah dingin
itu terbukti membunuh 200 pasien selama 20 tahun (atau 10 orang per tahun).
Wartawan juga terikat etika. PWI punya empat
ratus delapan puluhan kata pada pasal-pasal etika jurnalistik. Militer punya
sumpah prajurit. Tapi anak dua jenderal dicokok aparat sedang membawa
shabu-shabu dan senjata api. ‘pagar’, benar-benar banyak makan ‘tanaman’.
Tragis, seperti tragisnya kisah spanduk-spanduk anti narkoba. Para Bandar
narkoba tak kalah semangat ikut memasang spanduk-spanduk itu.
Dunia penerbitan undang-undang pembajakan.
Pasal 44, Undang-Undang Hak Cipta, tahun 1987, mengancam para pembajak dengan
pidana penjara paling lamatujuh tahun dan/atau denda paling banyak seratus
juta. Tapi semua orang tahu, pembajakan hak cipta di Indonesia termasuk yang
terburuk di dunia. Anehnya, ketika baru-baru ini ada sosialisasi soal HAKI (Hak
Atas Karya Intelektual), justru banyak pakar tak antusias. Alasannya lucu, mereka
para khawatir para perajin tempe di Indonesia, kelak harus membayar royalti
kepada pakar tempe Amerika yang sudah mematenkan penemuannya di bidang tempe.
Tak jarang undang-undang justru bisa berubah
menjadi ‘jaket anti jerat hukum’ bagi para penjahat. Karena banyak
undang-undang yang isinya tumpukan pasal karet. Bisa ke kanan atau ke kiri,
tergantung penafsirnya.
Memang, masih banyak orang baik-baik. Tetapi
ada dua tipe kejahatan yang bencananya massif: kejahatan pada profesi strategis
(seperti dokter dan semisalnya), dan kejahatan oleh pemilik ‘kekuatan’ (seperti
tentara yang bersenjata dan semisalnya). Meski dilakukan sedikit orang, secara
psikologis bisa mengguncang ketenangan jutaan orang.
Kita perlu undang-undang. Ajaran Islam
sendiri tak lain adalah kumpulan undang-undang. Tapi lebih dulu kita sangat
berhajat pada “kesadaran diri” para penegak undang-undang. Kesadaran diri
adalah kunci. Sebab, “bukanlah mata yang
buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada,”(QS Al-Hajj: 46). Tak
pelak lagi, harus ada proyek raksasa, yang mampu menggebrak kesadaran diri
kita, memahat integritas diri kita, apapun jabatan kita.
Tak sulit mengawalinya. Tanya saja pada diri
kita, pada lubuk hati kita yang paling dalam. Lalu buktikan kebenaran kata-kata
Imam Hasan Al-hudhaibi, “Tegakkan Islam
di hatimu, niscaya akan tegak di atas bumimu.”*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar