Rabu, 02 September 2020

Dunia Duga

Dunia Duga[1] 

(Hal-04) Banyak yang tidak kita tahu. Tapi sangat banyak yang kita duga. Sebab menjadi tahu lebih sulit dari sekadar menduga. Sebab menjadi berpengetahuan lebih berat dari menjadi penumpuk dugaaan. Pengetahuan sangat berbeda dengan dugaan. Hakikatnya beda.  Strukturnya beda. Faktanya beda. Pengetahuan memberikan asupan nalar pada kita. Dugaan menyuplai emosi egois kita. Penegetahuan cenderung mengarahkan. Dugaan cenderung menjerumuskan.



Begitupun, kita lebih menikmati apa yang sebenarnya tidak kita tahu, ketimbang apa yang seharusnya kita tahu. Kita asik dengan dunia duga-duga. Sebab kebanyakan kita merelakan hari-harinya dipandu oleh apa yang tidak penting untuk kehidupan kita: industri duga-duga.

Setiap hari kita menelan berita, tapi tidak setiap hari kita menambah pengetahuan. Setiap waktu kita mencari informasi baru, tapi kita tak bertambah ilmu. Di panggung kehidupan yang iramanya diatur arus informasi, kita tiba-tiba menjadi sekumpulan penonton yang dungu. Sebab kita tidak pernah sadar, bahwa kini setiap peristiwa ada behind the scene-nya.

Informasi punya kastanya. Benar, setengah benar, tidak benar dan palsu. Di masa ketika informasi berpindah ke tempat jauh hanya menggunakan kuda dan burung merpati, kita punya sedikit kabar, sedikit alat sebar. Kini setelah era industri media dan arus deras koneksi internet, kita punya mesin informasi yang lapar kabar.

Di batas ini kita akan kewalahan. Tak berdaya. Tapi kita terus menampakkan diri digdaya di hadapan makhluk yang bernama mesin informasi itu. Yang terus meraung minta disuplai, dijejali, dan digelontorkan ke dalamnya segala kabar dan berita. Maka apa-apa yang setengah benar, tidak benar bahkan palsu, bisa diubah menjadi kabar yang tampak benar. Kita akan terus mengalami kesenjangan yang menyedihkan. Kesenjangan antara bahan baku informasi yang bermutu, dengan kehausan informasi itu, lalu kehausan kita kepada produksi informasi dari mesin informasi itu. Begitupun banyak diantara kita yang belum sadar.

Itu sebabnya, pelanggaran kode etik di kalangan pewarta sendiri tahun ini naik lebih 300 persen. Salah satu lembaga independen di bidang kewartawanan, melaporkan bahwa tahun 2011 ini pelanggaran kode etik di kalangan pewarta meningkat tajam. Itupun hanya didasarkan pada jumlah pelanggaran yang diadukan. Bila tahun 2010 hanya berjumlah 128, tahun ini tercatat 442 pengaduan pelanggaran.  Lebih lanjut, survey yang mereka lakukan, hanya 20 persen pewarta yang membaca kode etik, sesuatu yang mengatur tata cara dan etika kepatutan dalam cara mereka bekerja.

Banyak yang tidak kita tahu. Tapi terlalu banyak yang kita duga. Membiarkan diri terus-menerus menikmati dugaan setiap hari, akan membunuh cita rasa pengetahuan kita. Lalu tunggu saatnya kita turut serta menjadi sampah.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 265 Th.13, Shafar 1433, 29 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar