Sabtu, 05 September 2020

MEMPERTANYAKAN PERTANYAAN

 

 MEMPERTANYAKAN PERTANYAAN[1][2][3]

(Hal-42) Pertanyaan itu perlu, bahkan kadang menjadi keharusan. Pertanyaan, dalam komunikasi, berarti sebuah umpan balik (feed back), yang akan memperjelas arti pesan. Pertanyaan akan menggambarkan penerimaan dan memperjelas makna yang berhasil ditangkap sang penanya. Maka, banyak guru yang memulai pembelajaran dengan meminta muridnya mengajukan pertanyaan. Para pendidik akan kebingungan jika murid-muridnya diam. Karena, sulit memastikan mereka sebetulnya mudeng (paham) atau mubeng (kepalanya berputar-putar, karena bingung).



Namun, tidak semua pertanyaan bersifat konstruktif. Ada beberapa jenis pertanyaan yang justru menjadi persoalan komunikasi. Akarnya adalah motif dari pertanyaan ini keluar. Ada pertanyaan yang hadir karena kesombongan. Ini biasanya penyakit ‘pecintan popularitas’ tau orang-orang ‘pemburu perhatian’. Pada forum-forum yang melibatkan banyak orang, para penanya ini akan selalu tampil. Sejatinya mereka tidak butuh jawaban, tetapi sekadar mencari perhatian. Pertanyaannya, biasanya panjang lebar dan tidak fokus, sekadar pamer pengetahuan, data atau artikulasi. Jika hadirin bertepuktangan, itu lebih dari cukup bagi mereka.

Ada pertanyaan yang muncul karena latah semata. Awalnya mungkin iseng. Tapi sepenuhnya sadar, pertanyaan ini mempunyai konsekuensi panjang. Seperti orang Yahudi yang mempertanyakan sapi betina yang harus disembelih: yang tua atau yang muda, warnanya apa, kuning seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat repot (Hal-43) mereka sendiri, sehingga nyaris tidak bisa dikerjakan.

Pertanyaan juga bisa muncul karena kebodohan. Niatnya bisa jadi tulus, untuk memperjelas duduk perkara. Tapi, dia tak cukup tahu bawa tak semua harus diperjelas. Pun dalam soal hukum. Bayangkan, kalau di negeri mayoritas Muslim ini kita selalu skeptik menyikapi kehalalan makanan. Suatu saat, kita disuguhi makan ayam goreng. Tak ada tanda-tanda haram, tapi kita mengkhawatirkan kehalalannya, sampai-sampai kita bertanya agak berlebihan. Dari manakah ayam ini berasal? Benarkah tidak bangkai? Bagaimana penyembelihannya? Sungguh, sebuah sikap yang tidak perlu, selain juga amat merepotkan.

Dan yang paling mengerikan adalah pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan untuk mempermaluka seseorang. Si penanya tahu atau yakin, orang yang dituju tidak akan bisa menjawab. Dia lemparkan pertanyaan di sebuah forum, dimana banyak mata menyaksikan, semata-mata untuk menjatuhkan martabat seseorang. Ada semacam kepuasan jika orang lain turun kredbilitas atau reputasinya di depan umum. Sungguh, pertanyaan-pertanyaan sadis, yang lahir dari hati yang kronis.

Pertanyaan-pertanyaan yang melebihi batasnya juga problematik. Pertanyaan tentang hakikat ketuhanan misalnya, tak akan menemukan jawaban tanpa keterlibatan wahyu. Sebagaimana kisah para filosof yang gagal menemukan Tuhan. Sayangnya, pertanyaan ketuhanan mereka yang tak bertaut pada keyakinan yang aksiomatik.

Pertanyaan-pertanyaan artifisial ini tak akan membawa cerah, tetapi justru menambah masalah. Pertanyaan-pertanyaan semu tidak akan menjadi tahu, melainkan berujung pada perdebatan yang menghabiskan waktu. Pertanyaan-pertanyaan yang tak memerlukan jawaban, apalagi perhatian.

Tentu saja, ini bukan nasihat untuk mematikan kritisisme atau anjuran untuk mengkerdilkan otak. Karena, pertanyaan sejatinya adalah jalan menuju  kedewasaan. Bukankah hidup ini merupakan dinamika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan? Dialektis: tidak tahu, tahu, tidak tahu, begitu seterusnya. Manusia tak akan mencapai kemajuan-kemajuan hidup jika berhenti bertanya.

Inilah lebih merupakan persoalan bagaimana kita menempatkan pertanyaan pada porsinya. Cukuplah nasihat Rasulullah saw berikut ini menjadi renungan kita:

Dari Abu Hurairah bin Sakhr radhiallahuanhu, dia berkata: saya mendengar Rasulullah bersabda: Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka (HR. Bukhori dan Muslim)

(Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Kamis, 06 Mei 2010, 06:00:23WIB)

 

 



[1] Majalah Tarbawi, edisi 227 Th.11, Jumadil Awal 1431 H, 6 Mei 2010 M

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar