MEMPERTANYAKAN
PERTANYAAN[1][2][3]
(Hal-42) Pertanyaan
itu perlu, bahkan kadang menjadi keharusan. Pertanyaan, dalam komunikasi,
berarti sebuah umpan balik (feed back), yang akan memperjelas arti
pesan. Pertanyaan akan menggambarkan penerimaan dan memperjelas makna yang
berhasil ditangkap sang penanya. Maka, banyak guru yang memulai pembelajaran
dengan meminta muridnya mengajukan pertanyaan. Para pendidik akan kebingungan
jika murid-muridnya diam. Karena, sulit memastikan mereka sebetulnya mudeng (paham)
atau mubeng (kepalanya berputar-putar, karena bingung).
Namun, tidak semua pertanyaan bersifat konstruktif. Ada
beberapa jenis pertanyaan yang justru menjadi persoalan komunikasi. Akarnya
adalah motif dari pertanyaan ini keluar. Ada pertanyaan yang hadir karena
kesombongan. Ini biasanya penyakit ‘pecintan popularitas’ tau orang-orang
‘pemburu perhatian’. Pada forum-forum yang melibatkan banyak orang, para
penanya ini akan selalu tampil. Sejatinya mereka tidak butuh jawaban, tetapi
sekadar mencari perhatian. Pertanyaannya, biasanya panjang lebar dan tidak
fokus, sekadar pamer pengetahuan, data atau artikulasi. Jika hadirin
bertepuktangan, itu lebih dari cukup bagi mereka.
Ada pertanyaan yang muncul karena latah semata. Awalnya
mungkin iseng. Tapi sepenuhnya sadar, pertanyaan ini mempunyai konsekuensi
panjang. Seperti orang Yahudi yang mempertanyakan sapi betina yang harus
disembelih: yang tua atau yang muda, warnanya apa, kuning seperti apa?
Pertanyaan-pertanyaan yang membuat repot (Hal-43) mereka sendiri, sehingga nyaris
tidak bisa dikerjakan.
Pertanyaan juga bisa muncul karena kebodohan. Niatnya
bisa jadi tulus, untuk memperjelas duduk perkara. Tapi, dia tak cukup tahu bawa
tak semua harus diperjelas. Pun dalam soal hukum. Bayangkan, kalau di negeri
mayoritas Muslim ini kita selalu skeptik menyikapi kehalalan makanan. Suatu
saat, kita disuguhi makan ayam goreng. Tak ada tanda-tanda haram, tapi kita
mengkhawatirkan kehalalannya, sampai-sampai kita bertanya agak berlebihan. Dari
manakah ayam ini berasal? Benarkah tidak bangkai? Bagaimana penyembelihannya?
Sungguh, sebuah sikap yang tidak perlu, selain juga amat merepotkan.
Dan yang paling mengerikan adalah pertanyaan-pertanyaan
yang dimaksudkan untuk mempermaluka seseorang. Si penanya tahu atau yakin,
orang yang dituju tidak akan bisa menjawab. Dia lemparkan pertanyaan di sebuah
forum, dimana banyak mata menyaksikan, semata-mata untuk menjatuhkan martabat
seseorang. Ada semacam kepuasan jika orang lain turun kredbilitas atau
reputasinya di depan umum. Sungguh, pertanyaan-pertanyaan sadis, yang lahir
dari hati yang kronis.
Pertanyaan-pertanyaan yang melebihi batasnya juga
problematik. Pertanyaan tentang hakikat ketuhanan misalnya, tak akan menemukan
jawaban tanpa keterlibatan wahyu. Sebagaimana kisah para filosof yang gagal
menemukan Tuhan. Sayangnya, pertanyaan ketuhanan mereka yang tak bertaut pada
keyakinan yang aksiomatik.
Pertanyaan-pertanyaan artifisial ini tak akan membawa
cerah, tetapi justru menambah masalah. Pertanyaan-pertanyaan semu tidak akan
menjadi tahu, melainkan berujung pada perdebatan yang menghabiskan waktu.
Pertanyaan-pertanyaan yang tak memerlukan jawaban, apalagi perhatian.
Tentu saja, ini bukan nasihat untuk mematikan kritisisme
atau anjuran untuk mengkerdilkan otak. Karena, pertanyaan sejatinya adalah
jalan menuju kedewasaan. Bukankah hidup
ini merupakan dinamika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan? Dialektis: tidak
tahu, tahu, tidak tahu, begitu seterusnya. Manusia tak akan mencapai
kemajuan-kemajuan hidup jika berhenti bertanya.
Inilah lebih merupakan persoalan bagaimana kita
menempatkan pertanyaan pada porsinya. Cukuplah nasihat Rasulullah saw berikut
ini menjadi renungan kita:
Dari Abu Hurairah bin Sakhr radhiallahuanhu, dia
berkata: saya mendengar Rasulullah bersabda: Apa yang aku larang hendaklah
kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan hendaklah kalian laksanakan
semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah
banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka
terhadap nabi-nabi mereka (HR. Bukhori dan Muslim)
(Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Kamis, 06 Mei
2010, 06:00:23WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar