Sabtu, 05 September 2020

YAKINLAH ORANG LAIN ADA

 YAKINLAH ORANG LAIN ADA[1][2][3]

(Hal-40) Banyak alasan untuk berkomunikasi. Salah satunya, untuk menunjukkan keberadaan diri (eksistensi). Perasaan ‘ada’ itu penting, karena itu yang menjadikan orang relevan untuk terus hidup. Sebuah keberartian di tengah-tengah kehidupan sosial. Melalui komunikasi, orang ingin menegaskan ‘Saya ada dan berarti’.



Itulah kenapa orang selalu mencari kanal komunikasi dalam berbagai bentuknya, terlepas dari yang bersangkutan bertipe extrovert atau introvert. Ada panggung terbuka yang menjadi incaran penggemar popularitas, juga tersedia ruang-ruang impersonal yang lebih ramah pada ‘para pemalu’. Hasrat komunikasi untuk sekadar eksis bahkan cenderung mengarah pada gejala pemuasan diri yang berlebihan (narsis).

Namun, karena alasan eksistensi pula, banyak orang merasa tersakiti oleh komunikasi. Karena. Komunikasi tak mengafirmasi kehadirannya. Bayangkan, anda berada dalam sebuah forum kecil yang semestinya terasa hangat dan dekat, tetapi orang-orang yang hadir atau pembicara utamanya tak menyapa anda atau bicara sekadarnya. Anda hadir tapi seolah-olah absen. Betapa menyesakkannya.

Lebih terasa lagi jika itu terjadi pada konteks komunikasi antarpribadi. Dua orang bertemu atau berpapasan. Salah seorang merasa dirinya telah dikenal oleh yang lainnya. Tetapi dia tak mendapatkan sapaan, bahkan senyuman pun tidak. Apalagi yang bersangkutan merasa sangat layak untuk sekadar mendapat anggukan penghormatan. Entah karena jabatan, status sosial atau karena pertimbangan umur. Terasa sakit, karena merasa keberadaaannya terabaikan.

(Hal-41) Harapan pengakuan eksistensi sangan berdimensi budaya. Pada masyarakat bertipikal komunal, pengakuan eksistensi orang seringkali terkesan artifisial. Nampak remeh, tapi penting. Bernuansa basa-basi, tetapi kalau tidak ada bisa menimbulkan masalah. Mungkin sekadar senyum, tetapi itu sangat berarti. Ada konvensi kultural yang menjelaskan bentuk-bentuk pengakuan eksistensi diri.

Setiap orang membutuhkan pengakuan eksistensi, meski dalam bentuk yang berbeda. Orangtua butuh pernyataan penghormatan dari yang lebih muda. Anak-anak muda membutuhkan pengakuan dari para tetua. Seorang suami ingin dihormati, sementara sang istri mungkin lebih membutuhkan kasih sayang dan perlindungan.

Dalam relasi orang-orang yang merasa dekat, pengakuan eksistensi harus nampak lebih verbal. Ungkapan-ungkapan konfirmatif akan banyak membantu. Ada orang yang menceritakan masalahnya kepada anda. Mungkin belum ada solusi, tetapi ungkapan, “Aku bisa merasakan apa yang kamu alami, aku turut prihatin” bisa menentramkan hatinya. Setidak-tidaknya eksistensinya sebagai seorang sahabat tetap terakui. Coba bandingkan kalau yang keluar justru ungkapan dekomfirmatif seperti,”Maaf aku juga banyak masalah, jangan membuatku tambah pusing” atau itu masalahmu, jangan bawa-bawa aku”.

Memang, komunikasi lebih merupakan seni menata rasa. Seorang pemimpin selalu mempertaruhkan kredibilitasnya, bahkan dalam persoalan yang nampaknya sepele, soal perasaan orang-orang yang dipimpinnya. Jika ada sekian orang yang dipimpin, maka ada sejumlah itu pula ragam rasa yang terlibat. Ada tuntutan untuk menghadirkan komunikasi yang peka dan bela rasa (compassion).

Katakanlah anda seorang pemimpin sebuah kelompok kecil. Ada saat anda harus mendengarkan keluh kesah anggota kelompok. Suatu waktu, para anggota itu melaporkan kondisinya masing-masing semacam curhat bersama. Tiba giliran salah seorang, dengan suatu alasan, anda ijin keluar forum dan merasa cukup dengan mengatakan,”diteruskan saja laporannya, yang lain bisa mendengarkan. Saya ada perlu sebentar.” Nampak sepele, tapi bagi anggota yang bersangkutan itu bisa menjadi masalah laten. Dia merasa keberadaannya sebagai anggota kelompok tak cukup diakui. Rasa hormatnya pada pimpinan pun terciderai.

Ini adalah pelajaran tentang komunikasi empatik. Bahkan ketika orang lain nampak tak punya masalah pun kita harus empati. Setidaknya empati bahwa ia ada. Kita harus yakinkan pada yang bersangkutan, bahwa dia ada, dan kita mengakuinya. Mengakui secara verbal dengan kata-kata ataupun secara noverbal berupa senyum atau anggukan kepala.

Membuat nyaman seseorang berarti telah menyelesaikan satu persoalan dalam komunikasi. Jika kita hargai orang lain, dia akan menghormati kita. Jika kita mengakui keberadaan orang, diapun akan apresiatif pada kita. Kita akan memperoleh atas apa yang kita lakukan.

( Masjid Kampus Arfaunnas UR, Selasa, 20 April 2010, 17:33:48 WIB)



 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 226 Th.11, Jumadil Awal 1431 H/ 22 April 2010 M. Hal. 40-41

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar