YAKINLAH ORANG LAIN ADA[1][2][3]
(Hal-40) Banyak
alasan untuk berkomunikasi. Salah satunya, untuk menunjukkan keberadaan diri
(eksistensi). Perasaan ‘ada’ itu penting, karena itu yang menjadikan orang
relevan untuk terus hidup. Sebuah keberartian di tengah-tengah kehidupan
sosial. Melalui komunikasi, orang ingin menegaskan ‘Saya ada dan berarti’.
Itulah kenapa orang selalu mencari kanal komunikasi dalam
berbagai bentuknya, terlepas dari yang bersangkutan bertipe extrovert atau
introvert. Ada panggung terbuka yang menjadi incaran penggemar
popularitas, juga tersedia ruang-ruang impersonal yang lebih ramah pada ‘para
pemalu’. Hasrat komunikasi untuk sekadar eksis bahkan cenderung mengarah pada
gejala pemuasan diri yang berlebihan (narsis).
Namun, karena alasan eksistensi pula, banyak orang merasa
tersakiti oleh komunikasi. Karena. Komunikasi tak mengafirmasi kehadirannya.
Bayangkan, anda berada dalam sebuah forum kecil yang semestinya terasa hangat
dan dekat, tetapi orang-orang yang hadir atau pembicara utamanya tak menyapa
anda atau bicara sekadarnya. Anda hadir tapi seolah-olah absen. Betapa
menyesakkannya.
Lebih terasa lagi jika itu terjadi pada konteks
komunikasi antarpribadi. Dua orang bertemu atau berpapasan. Salah seorang
merasa dirinya telah dikenal oleh yang lainnya. Tetapi dia tak mendapatkan
sapaan, bahkan senyuman pun tidak. Apalagi yang bersangkutan merasa sangat
layak untuk sekadar mendapat anggukan penghormatan. Entah karena jabatan,
status sosial atau karena pertimbangan umur. Terasa sakit, karena merasa
keberadaaannya terabaikan.
(Hal-41) Harapan
pengakuan eksistensi sangan berdimensi budaya. Pada masyarakat bertipikal
komunal, pengakuan eksistensi orang seringkali terkesan artifisial. Nampak
remeh, tapi penting. Bernuansa basa-basi, tetapi kalau tidak ada bisa
menimbulkan masalah. Mungkin sekadar senyum, tetapi itu sangat berarti. Ada
konvensi kultural yang menjelaskan bentuk-bentuk pengakuan eksistensi diri.
Setiap orang membutuhkan pengakuan eksistensi, meski
dalam bentuk yang berbeda. Orangtua butuh pernyataan penghormatan dari yang
lebih muda. Anak-anak muda membutuhkan pengakuan dari para tetua. Seorang suami
ingin dihormati, sementara sang istri mungkin lebih membutuhkan kasih sayang
dan perlindungan.
Dalam relasi orang-orang yang merasa dekat, pengakuan
eksistensi harus nampak lebih verbal. Ungkapan-ungkapan konfirmatif akan banyak
membantu. Ada orang yang menceritakan masalahnya kepada anda. Mungkin belum ada
solusi, tetapi ungkapan, “Aku bisa merasakan apa yang kamu alami, aku turut
prihatin” bisa menentramkan hatinya. Setidak-tidaknya eksistensinya sebagai
seorang sahabat tetap terakui. Coba bandingkan kalau yang keluar justru
ungkapan dekomfirmatif seperti,”Maaf aku juga banyak masalah, jangan membuatku
tambah pusing” atau itu masalahmu, jangan bawa-bawa aku”.
Memang, komunikasi lebih merupakan seni menata rasa.
Seorang pemimpin selalu mempertaruhkan kredibilitasnya, bahkan dalam persoalan
yang nampaknya sepele, soal perasaan orang-orang yang dipimpinnya. Jika ada sekian
orang yang dipimpin, maka ada sejumlah itu pula ragam rasa yang terlibat. Ada
tuntutan untuk menghadirkan komunikasi yang peka dan bela rasa (compassion).
Katakanlah anda seorang pemimpin sebuah kelompok kecil.
Ada saat anda harus mendengarkan keluh kesah anggota kelompok. Suatu waktu,
para anggota itu melaporkan kondisinya masing-masing semacam curhat bersama.
Tiba giliran salah seorang, dengan suatu alasan, anda ijin keluar forum dan
merasa cukup dengan mengatakan,”diteruskan saja laporannya, yang lain bisa
mendengarkan. Saya ada perlu sebentar.” Nampak sepele, tapi bagi anggota yang
bersangkutan itu bisa menjadi masalah laten. Dia merasa keberadaannya sebagai
anggota kelompok tak cukup diakui. Rasa hormatnya pada pimpinan pun terciderai.
Ini adalah pelajaran tentang komunikasi empatik. Bahkan
ketika orang lain nampak tak punya masalah pun kita harus empati. Setidaknya
empati bahwa ia ada. Kita harus yakinkan pada yang bersangkutan, bahwa dia ada,
dan kita mengakuinya. Mengakui secara verbal dengan kata-kata ataupun secara
noverbal berupa senyum atau anggukan kepala.
Membuat nyaman seseorang berarti telah menyelesaikan satu
persoalan dalam komunikasi. Jika kita hargai orang lain, dia akan menghormati
kita. Jika kita mengakui keberadaan orang, diapun akan apresiatif pada kita.
Kita akan memperoleh atas apa yang kita lakukan.
( Masjid Kampus Arfaunnas UR, Selasa, 20 April 2010,
17:33:48 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar