Sabtu, 05 September 2020

18 BUKAN OBAT YANG MUJARAB

 

18 BUKAN OBAT YANG MUJARAB[1][2][3]

(Hal-48) Jika setiap interaksi melibatkan komunikasi, maka aktivitas transaksi transaksi pesan ini ada di mana-mana (omnipresence). Nyaris tak ada aktivitas manusia yang tak melibatkan komunikasi. Tak heran jika banyak masalah yang biangnya adalah komunikasi. Itulah kenapa ‘miss komunikasi’ sedemikian popular. Tapi apakah setiap masalah bisa diselesaikan dengan komunikasi? Nanti dulu!



Memang banyak masalah yang bersumber dari kegagalan komunikasi, mulai dari keluarga sampai negara. Juga benar, terutama di era pencitraan (imagologi) saat ini, kalau kelihaian komunikasi banyak menjanjikan kesuksesan. Mulai dari sales pulpen sampai kandidat presiden mengandalkan kemampuan ini. Tapi apakah komunikasi merupakan obat mujarab (panasae) untuk segala masalah? Belum tentu!

Komunikasi lebih merupakan piranti, bukan subtansi. Sarana dan bukan tujuan. Karenanya, komunikasi seringkali menjadi solusi hanya pada bagian awal saja, tidak pada bagian selanjutnya. Seorang pemimpin mungkin memperoleh legitimasi melalui kesuksesan membangun citra pada awalnya. Tetapi pada bagian selanjutnya adalah pembuktian janji-janji. Retorika tidak akan menggantikan kinerja. Persuasi pada akhirnya akan tumpul tanpa prestasi.

Sejarah mencatat kehadiran orang-orang besar yang lihai berkomunikasi. Penampilannya memikat, retorikanya memukau, mampu mempersuasi jutaan orang. Kemampuan negosiasinya bahkan melewati batas-batas negara. Tetapi nasibnya kemudian terbukti tak mampu diselamatkan oleh jargon-jargonnya. Kekuasaannya justru tumbang oleh kata-katanya sendiri.

Sebagai piranti, komunikasi membantu kita dalam interaksi. Kita bisa mengenal dan dikenal orang. Kita bisa menyampaikan dan menangkap gagasan. Kita pun bisa (Hal-49) menyebarkan atau menyerap tata nilai melalui komunikasi. Tetapi kualitas interaksi itu selanjutnya bergantung pada banyak hal. Setiap orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Masalah yang kadang membutuhkan kehadiran orang lain. Masalah yang seringkali tidak selesai dengan senyum dan kata-kata sopan.

Salah satu rahasia sukses komunikasi adalah peluangnya dalam membangun impresi. Tetapi kesan hanya akan bertahan melalui tindakan. Seperti rayuan yang ampuh menundukkan hati. Laksana puisi dan syair yang mengaduk-aduk rasa. Tetapi hidup memiliki rasionalisasi sendiri. Kata-kata tidak cukup mengobati rasa lapar. Nyanyian tidak serta merta memberikan rasa aman. Menguaplah segala narasi indah, terkalahkan tuntutan hidup yang paling asasi.

Komunikasi mirip sebuah penghantar yang menghubungkan banyak orang. Semakin kecil hambatan semakin baik kualitas sebuah penghantar. Begitulah logika komunikasi efektif. Tetapi koneksi antar pribadi lebih merupakan infrastruktur kehidupan manusia secara komunal. Hidup jauh lebih rumit dari sekadar interkoneksi. Lebih kompleks dari sekadar keterhubungan.

Karena itulah, banyak yang mulai ragu pada pepatah lama orang Jawa: mangan ora mangan kumpul (makan tidak makan yang penting bersama-sama). Sulit membayangkan sebuah kebersamaan sementara perut kita lapar. Tuntutan hidup yang keras telah merubah pepatah itu menjadi ‘kumpul ora kumpul mangan’ (bersama-sama atau tidak yang penting makan).

Inilah barangkali kenapa demokrasi banyak digugat, setidaknya di negeri ini. Praktik demokrasi hanya mendorong riuhnya orang berwacana, tetapi tak kunjung melahirkan kesejahteraan. Dimana-mana orang berbicara, tetapi pada saat yang sama, di segala penjuru negeri masih banyak yang susah mendapatkan nasi. Semua berbicara, tetapi sedikit yang bekerja. Aneh memang, masih juga kita belum beranjak dari euforia kebebasan. Ironisnya kebebasan itu baru dimaknai bebas bicara, apa saja.

Demokratisasi di negeri ini nampaknya tidak ada yang mengalahkan. Tentu, tak sedikit buah positif dari fenomena ini. Orang tak lagi takut bersuara beda. Juga banyak saluran untuk menyampaikan gagasan. Tetapi kita berhenti pada kebebasan dan lupa bekerja. Kita lupa bahwa bukan ini tujuan utama reformasi. Kita tak sepenuhnya sadar bahwa komunikasi bukan obat mujarab untuk segala persoalan.

Inilah saatnya kita berintropeksi: Apa setelah komunikasi? Setelah intekoneksi, setelah kebebasan berbicara, setelah citra positif, setelah harmoni? Ada saatnya berbicara, ada waktunya bekerja. Setelah komunikasi menyelesaikan banyak hambatan, giliran kemauan baik untuk menyelesaikan masalah-masalah lainnya. Kita tentu tidak hendak menggantikan suasana konstruktif sebuah interaksi, tetapi mengingatkan, untuk menjadikannya sebagai modal penyelesaian agenda selanjutnya. Pada akhirnya kita berharap, kehadiran masyarakat kominikatif akan paralel dengan munculnya masyarakat yang sejahtera. Semoga!

(Bangkinang, Selasa, 21 April 2010, 10:00:44 WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 222 Th.11, Rabiul Awal 1431 H/ 25 Februari  2010, hal. 76-78

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar