Sabtu, 05 September 2020

SUATU WAKTU, DIAMLAH!

SUATU WAKTU, DIAMLAH![1][2][3] 

(Hal-44) Diam, dalam komunikasi, bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa merekatkan, bisa menjauhkan. Seperti kata pakar etika komunikasi J.Vernon Jensen, diam berpotensi merekatkan dan menghangatkan pertemanan, tetapi di lain waktu bisa pula memisahkannya.



Ini memang soal momentum: kapan kita harus bicara, kapan saatnya diam. Ketika orang menuntut atau mengharapkan kita bicara, tetapi kita jawab dengan aksi tutup mulut, maka ketegangan yang akan terjadi. Pada umumnya orang harus saling bicara, terutama diantara yang saling kenal, apalagi diantara sahabat dekat. Kalau kemudian ada yang melakukan ‘silent treatment’, maka dipastikan ketegangan akan meningkat. Itulah kenapa, dalam agama, haram hukumnya mendiamkan saudara lebih dari tiga hari.

Kewajiban bicara melekat pada pemegang otoritas tertentu. Dia bisa jadi seorang pemimpin yang selalu dinanti sikap, penjelasan dan arahan-arahannya, ada kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan semacam statemen resmi dari seorang pemimpin. Kebijakan harus dikomunikasikan, tidak bisa disimpan dalam kepala semata. Jika seorang pemimpin sering diam, kredibilitasnya akan diragukan.

Aksi diam juga harus dijauhkan dari orang yang mengetahui duduk perkara. Ini bisa jadi menyangkut persoalan hukum atau sosial. Saksi mata akan banyak membantu jika dia tak hemat bicara. Saksi ahli akan dihargai jika bisa mengurai sebuah persoalan, mungkin dengan panjang lebar. Begitu pula saksi hidup, akan memberikan banyak arti ketika bersedia memberikan testimoni. Di sini, kesediaan untuk (Hal-45) bicara akan mengurangi ketidakpastian (uncertainty), sehingga berkembangnya rumor dan fitnah bisa dihindari. Tetapi di luar itu, aksi diam seringkali sangat kita butuhkan. Diam, kata Robert Fulghum-penulis buku-buku best seller-, menjadi bagian penting dari upaya menciptakan hidup yang nyaman (a big part of a satisfying life). Banyak masalah hidup yang selesai dengan diam. Sebaliknya, kekeruhan hubungan antar manusia seringkali muncul karena mereka tak mau berhenti untuk bicara.

Mengapa kita kadang harus diam? Karena kita menghormati orang lain yang berusaha mengatakan sesuatu. Ini semacam penghargaan pada seorang komunikator. Beri kesempatan dia atau mereka untuk bicara. Yakinkanlah bahwa kita mendengarkan ucapan-ucapannya. Buatlah orang itu nyaman, merasa penting bersama segala informasi yang disampaikannya.

Tak semua komunikasi membutuhkan respon verbal dalam konteks komunikasi sebagai kanal psikologis, ketika orang ingin mencurahkan isi hatinya, keluh kesahnya, tanggapan berupa saran atau solusi tak selalu dibutuhkan. Dia sebetulnya sudah tahu apa yang mesti dilakukannya. Dia sebetulnya hanya ingin menumpahkan beban yang ada di dadanya. Maka, cukup dengarkan saja. Diam saja, sampai dia rasakan dadanya yang lebih ringan.

Kita juga harus diam, ketika kata-kata tidak diperlukan. Misalnya, ketika konflik mereda, saat dua orang orang dekat saling memandang dan memegang tangan, tak perlu lagi berkata-kata. Diam, dalam konteks ini, bisa jadi lebih efektif untuk membuat orang merasa lebih dekat.

Diam, bagi seorang pemimpin juga bisa menjadi lebih ketika dia tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan dan masuk akal. Apalagi jika itu dilakukannya untuk melawan pendapat umum. Pernyataannya tak akan menyelesaikan masalah, tetapi, justru menambah runyam persoalan. Retorik politik yang tak disusun dengan akal sehat hanya akan menurunkan kredibilitasnya.

Bagi para cendikia, tidaklah menjadi aib ketika dia mengatakan ‘tidak tahu’. Tak ada orang yang tahu segala-galanya. Maka bicara pada bidang tertentu, dan diam dalam wilayah yang lain bisa jadi merupakan wujud kesantunan para ilmuwan. Masing-masing kapasitas memiliki porsinya sendiri.

Diam juga merupakan rentang untuk berpikir dan merenung. Ada saatnya kita mencerna baik-baik pesan yang datang. Tak usah buru-buru ditanggapi, apalagi dengan letusan emosi. Salah merespon sama saja dengan menciptakan masalah baru. Ada dampak dari setiap kata yang terucap. Dan ingat, kata-kata yang keluar tak akan bisa ditarik kembali. Diamlah sejenak, pertimbangkan betul kata-kata balasannya. Jika tak perlu ditanggapi, maka ‘terus diam’ bisa jadi lebih baik.

Dalam dunia wacana yang menjadikan ‘panggung-panggung’ penuh cahaya, ‘aksi diam’ memang tak populer. Tapi yakinlah, ditengah-tengah hiruk pikuk ada saatnya kita perlu diam. Tak semua masalah selesai dengan bicara. Suatu waktu, diamlah!

 

( Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Jum’at, 23 April 2010, 08:50:54 WIB)

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 224, Rabiul Akhir 1431 H, 25 Maret 2010 M. Hal.44-45

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar