SUATU
WAKTU, DIAMLAH![1][2][3]
(Hal-44) Diam,
dalam komunikasi, bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa merekatkan, bisa
menjauhkan. Seperti kata pakar etika komunikasi J.Vernon Jensen, diam
berpotensi merekatkan dan menghangatkan pertemanan, tetapi di lain waktu bisa
pula memisahkannya.
Ini memang soal momentum: kapan kita harus bicara, kapan
saatnya diam. Ketika orang menuntut atau mengharapkan kita bicara, tetapi kita
jawab dengan aksi tutup mulut, maka ketegangan yang akan terjadi. Pada umumnya
orang harus saling bicara, terutama diantara yang saling kenal, apalagi
diantara sahabat dekat. Kalau kemudian ada yang melakukan ‘silent
treatment’, maka dipastikan ketegangan akan meningkat. Itulah kenapa, dalam
agama, haram hukumnya mendiamkan saudara lebih dari tiga hari.
Kewajiban bicara melekat pada pemegang otoritas tertentu.
Dia bisa jadi seorang pemimpin yang selalu dinanti sikap, penjelasan dan
arahan-arahannya, ada kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan semacam statemen
resmi dari seorang pemimpin. Kebijakan harus dikomunikasikan, tidak bisa
disimpan dalam kepala semata. Jika seorang pemimpin sering diam,
kredibilitasnya akan diragukan.
Aksi diam juga harus dijauhkan dari orang yang mengetahui
duduk perkara. Ini bisa jadi menyangkut persoalan hukum atau sosial. Saksi mata
akan banyak membantu jika dia tak hemat bicara. Saksi ahli akan dihargai jika
bisa mengurai sebuah persoalan, mungkin dengan panjang lebar. Begitu pula saksi
hidup, akan memberikan banyak arti ketika bersedia memberikan testimoni. Di
sini, kesediaan untuk (Hal-45)
bicara akan mengurangi ketidakpastian (uncertainty), sehingga
berkembangnya rumor dan fitnah bisa dihindari. Tetapi di luar itu, aksi diam
seringkali sangat kita butuhkan. Diam, kata Robert Fulghum-penulis buku-buku best
seller-, menjadi bagian penting dari upaya menciptakan hidup yang nyaman (a
big part of a satisfying life). Banyak masalah hidup yang selesai dengan
diam. Sebaliknya, kekeruhan hubungan antar manusia seringkali muncul karena
mereka tak mau berhenti untuk bicara.
Mengapa kita kadang harus diam? Karena kita menghormati
orang lain yang berusaha mengatakan sesuatu. Ini semacam penghargaan pada
seorang komunikator. Beri kesempatan dia atau mereka untuk bicara. Yakinkanlah
bahwa kita mendengarkan ucapan-ucapannya. Buatlah orang itu nyaman, merasa
penting bersama segala informasi yang disampaikannya.
Tak semua komunikasi membutuhkan respon verbal dalam
konteks komunikasi sebagai kanal psikologis, ketika orang ingin mencurahkan isi
hatinya, keluh kesahnya, tanggapan berupa saran atau solusi tak selalu
dibutuhkan. Dia sebetulnya sudah tahu apa yang mesti dilakukannya. Dia
sebetulnya hanya ingin menumpahkan beban yang ada di dadanya. Maka, cukup
dengarkan saja. Diam saja, sampai dia rasakan dadanya yang lebih ringan.
Kita juga harus diam, ketika kata-kata tidak diperlukan.
Misalnya, ketika konflik mereda, saat dua orang orang dekat saling memandang
dan memegang tangan, tak perlu lagi berkata-kata. Diam, dalam konteks ini, bisa
jadi lebih efektif untuk membuat orang merasa lebih dekat.
Diam, bagi seorang pemimpin juga bisa menjadi lebih
ketika dia tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan dan masuk akal. Apalagi
jika itu dilakukannya untuk melawan pendapat umum. Pernyataannya tak akan
menyelesaikan masalah, tetapi, justru menambah runyam persoalan. Retorik
politik yang tak disusun dengan akal sehat hanya akan menurunkan
kredibilitasnya.
Bagi para cendikia, tidaklah menjadi aib ketika dia
mengatakan ‘tidak tahu’. Tak ada orang yang tahu segala-galanya. Maka bicara
pada bidang tertentu, dan diam dalam wilayah yang lain bisa jadi merupakan
wujud kesantunan para ilmuwan. Masing-masing kapasitas memiliki porsinya
sendiri.
Diam juga merupakan rentang untuk berpikir dan merenung.
Ada saatnya kita mencerna baik-baik pesan yang datang. Tak usah buru-buru
ditanggapi, apalagi dengan letusan emosi. Salah merespon sama saja dengan
menciptakan masalah baru. Ada dampak dari setiap kata yang terucap. Dan ingat,
kata-kata yang keluar tak akan bisa ditarik kembali. Diamlah sejenak, pertimbangkan
betul kata-kata balasannya. Jika tak perlu ditanggapi, maka ‘terus diam’ bisa
jadi lebih baik.
Dalam dunia wacana yang menjadikan ‘panggung-panggung’
penuh cahaya, ‘aksi diam’ memang tak populer. Tapi yakinlah, ditengah-tengah
hiruk pikuk ada saatnya kita perlu diam. Tak semua masalah selesai dengan
bicara. Suatu waktu, diamlah!
( Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Jum’at, 23
April 2010, 08:50:54 WIB)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar