Sabtu, 05 September 2020

SUBJEKTIFITAS YANG OBJEKTIF

 SUBJEKTIFITAS YANG OBJEKTIF [1][2][3]

Objektifitas membawa makna yang dalam, namun juga membingungkan. Seolah menjadi mitos, tetapi juga membawa bias. Disebut benar jika objektif. Dalam hal apapun, termasuk dalam dunia media massa (jurnalisme). Media massa, kata kodet etik, harus objektif. Tetapi apakah itu objektif? Bisakah jurnalis atau penulis bersikap objektif?



Objektifas sejatinya merupakan gagasan ideal tentang ukuran pasti atau realitas. Para jurnalis dinilai objektif, ketika mereka bisa menghadirkan fakta apa adanya, tanpa opini. Berkembanglah jurnalisme objektif, sering juga disebut jurnalisme fakta, yang bertolak pada landasan kejujuran, netralitas dan akurasi. Jurnalisme fakta mengharamkan interpretasi.

Sebagai sebuah ideologi, jurnalisme objektif ini mendasarkan pada pandangan empiris atas dunia, yang memisahkan fakta dan nilai, dan percaya bahwa eksistensi fakta sebagai hal yang terpisah di luar sana. Berita didefinisikan sebagai wujud yang terpisah (independen) dari diri jurnalis. Berita adalah fakta yang ada ‘di luar sana’ yang menunggu dicari dan ditulis, serta kemudian dipublikasikan oleh media.

Tetapi, bisakah fakta dipisahkan dari nilai? Tidak mungkin, kata Stepen Ward, profesor etika jurnalisme. Karena, semua pengetahuan, bahkan termasuk data-data sains tidak bisa menjadi bebas nilai. Bahkan gagasan ini, menurutnya, sesungguhnya merupakan penipuan, karena seorang jurnalis tak lain adalah ‘aktor-aktor’ yang pasti memiliki bias dalam laporannya. Tidak saja bias karena faktor personal (ideologi, pengalaman) tapi juga karena tekanan eksternal.

Objektifitas menjadi bias ketika menjadi selubung ketidakpedulian pada kebenaran. Justru ketika mereka mengatasnamakan kebenaran. Maka, sejujurnya kita sulit mengerti tentang slogan salah satu media ‘kebenaran itu tidak memihak’. Jurnalis seolah-olah terbebas dari dosa, bahkan merasa mulia, setelah mematuhi kaidah pemberitaan berimbang, meliput dua pihak yang berselisih tanap mempedulikan kebenaran dari fakta yang disampaikan pihak-pihak tersebut. Jurnalis seolah lari dari tanggungjawab atas kebenaran fakta peristiwa, dengan dalih biarkan khalayak sendiri yang memaknainya.

Objektifitas pun bias ketika justru mengabaikan konteks dan subtansi. Hutchin Comission, suatu kelompok peneliti di Amerika Serikat yang bekerja selama bertahun-tahun menghasilkan dokumen yang menggariskan kewajiban jurnalisme, memperingatkan adanya bahaya menerbitkan laporan yang “secara faktual benar tapi secara subtansial salah”. Komisi ini memberikan contoh, saat itu banyak cerita seputar orang-orang minoritas yang justru menguatkan stereotipe yang keliru, karena media gagal untuk menampilkan konteks atau menegaskan identitas ras atau etnisitas tanpa alasan yang tepat.

Era jurnalisme profesional telah menyuguhkan informasi berlimpah ruah, menembus batas-batas geografis, dengan standar konvensional yang dibanggakan. Tetapi, kata Charlotte Dennet, ada satu hal yang seringkali dilupakan media arus utama, yakni ‘konteks’. Dalam peristiwa 9/11 misalnya, terang mantan reporter Middle East Sketch, publik Amerika Serikat dibuat bingung di tengah melimpahnya informasi, karena media arus utama tak menghadirkan konteks peristiwanya.

Objektifitas dalam jurnalisme tetaplah relevan, jika dimaknai sebagai komitmen profesionalisme, bukan sebagai wujud pengingkaran atas realita keberpihakan media. Profesionalisme ini terkait dengan kepatuhan pada nilai-nilai dasar dalam proses jurnalisme seperti kejujuran dan akurasi. Di sini, objektifitas lebih menggambarkan kedisiplinan dalam proses mencari fakta. Sementara keberpihakan kita artikan sebagai komitmen pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh jurnalis.

Jurnalisme tak cukup mengumpulkan dan merangkai fakta, tetapi juga harus memberikan makna, tak hanya mengabarkan peristiwa, tetapi juga perspektif. Tak hanya menyusun alur cerita yang masuk akal dan mengalir, tetapi juga memberikan konteks sebuah persoalan.

Tak ada yang salah dengan subjektifitas, terutama jika dimaknai sebagai penegasan identitas. Jurnalis atau penulis akan lebih relevan keberadaannya jika mampu membuat terang sebuah permasalahan. Keberpihakan tidak terhindarkan, bahkan harus, yakni pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.

Tidak ada realitas yang objektif. Karena, realitas sejatinya adalah apa yang kita yakini kebenarannya. Kitalah yang mendefinisikan peristiwa dan menilai seseorang. Maka biarkanlah berita subjektif secara perspektif, tetapi objektif dalam proses. Subjektifitas yang objektif.

 

(Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Selasa, 20 April 2010, 15:07:53 WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 225 Th.11, Rabiul Akhir 1431 H, 8 April 2010, hal. 44-45

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar