SUBJEKTIFITAS YANG OBJEKTIF [1][2][3]
Objektifitas membawa makna yang dalam, namun
juga membingungkan. Seolah menjadi mitos, tetapi juga membawa bias. Disebut
benar jika objektif. Dalam hal apapun, termasuk dalam dunia media massa
(jurnalisme). Media massa, kata kodet etik, harus objektif. Tetapi apakah itu
objektif? Bisakah jurnalis atau penulis bersikap objektif?
Objektifas sejatinya merupakan gagasan ideal
tentang ukuran pasti atau realitas. Para jurnalis dinilai objektif, ketika
mereka bisa menghadirkan fakta apa adanya, tanpa opini. Berkembanglah
jurnalisme objektif, sering juga disebut jurnalisme fakta, yang bertolak pada
landasan kejujuran, netralitas dan akurasi. Jurnalisme fakta mengharamkan
interpretasi.
Sebagai sebuah ideologi, jurnalisme objektif
ini mendasarkan pada pandangan empiris atas dunia, yang memisahkan fakta dan
nilai, dan percaya bahwa eksistensi fakta sebagai hal yang terpisah di luar
sana. Berita didefinisikan sebagai wujud yang terpisah (independen) dari diri
jurnalis. Berita adalah fakta yang ada ‘di luar sana’ yang menunggu dicari dan
ditulis, serta kemudian dipublikasikan oleh media.
Tetapi, bisakah fakta dipisahkan dari nilai?
Tidak mungkin, kata Stepen Ward, profesor etika jurnalisme. Karena, semua
pengetahuan, bahkan termasuk data-data sains tidak bisa menjadi bebas nilai.
Bahkan gagasan ini, menurutnya, sesungguhnya merupakan penipuan, karena seorang
jurnalis tak lain adalah ‘aktor-aktor’ yang pasti memiliki bias dalam
laporannya. Tidak saja bias karena faktor personal (ideologi, pengalaman) tapi
juga karena tekanan eksternal.
Objektifitas menjadi bias ketika menjadi
selubung ketidakpedulian pada kebenaran. Justru ketika mereka mengatasnamakan
kebenaran. Maka, sejujurnya kita sulit mengerti tentang slogan salah satu media
‘kebenaran itu tidak memihak’. Jurnalis seolah-olah terbebas dari dosa, bahkan
merasa mulia, setelah mematuhi kaidah pemberitaan berimbang, meliput dua pihak
yang berselisih tanap mempedulikan kebenaran dari fakta yang disampaikan
pihak-pihak tersebut. Jurnalis seolah lari dari tanggungjawab atas kebenaran
fakta peristiwa, dengan dalih biarkan khalayak sendiri yang memaknainya.
Objektifitas pun bias ketika justru
mengabaikan konteks dan subtansi. Hutchin Comission, suatu kelompok peneliti di
Amerika Serikat yang bekerja selama bertahun-tahun menghasilkan dokumen yang
menggariskan kewajiban jurnalisme, memperingatkan adanya bahaya menerbitkan
laporan yang “secara faktual benar tapi secara subtansial salah”. Komisi ini
memberikan contoh, saat itu banyak cerita seputar orang-orang minoritas yang
justru menguatkan stereotipe yang keliru, karena media gagal untuk menampilkan
konteks atau menegaskan identitas ras atau etnisitas tanpa alasan yang tepat.
Era jurnalisme profesional telah menyuguhkan
informasi berlimpah ruah, menembus batas-batas geografis, dengan standar
konvensional yang dibanggakan. Tetapi, kata Charlotte Dennet, ada satu hal yang
seringkali dilupakan media arus utama, yakni ‘konteks’. Dalam peristiwa 9/11
misalnya, terang mantan reporter Middle East Sketch, publik Amerika Serikat
dibuat bingung di tengah melimpahnya informasi, karena media arus utama tak menghadirkan
konteks peristiwanya.
Objektifitas dalam jurnalisme tetaplah
relevan, jika dimaknai sebagai komitmen profesionalisme, bukan sebagai wujud
pengingkaran atas realita keberpihakan media. Profesionalisme ini terkait
dengan kepatuhan pada nilai-nilai dasar dalam proses jurnalisme seperti
kejujuran dan akurasi. Di sini, objektifitas lebih menggambarkan kedisiplinan
dalam proses mencari fakta. Sementara keberpihakan kita artikan sebagai
komitmen pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh jurnalis.
Jurnalisme tak cukup mengumpulkan dan
merangkai fakta, tetapi juga harus memberikan makna, tak hanya mengabarkan
peristiwa, tetapi juga perspektif. Tak hanya menyusun alur cerita yang masuk
akal dan mengalir, tetapi juga memberikan konteks sebuah persoalan.
Tak ada yang salah dengan subjektifitas,
terutama jika dimaknai sebagai penegasan identitas. Jurnalis atau penulis akan
lebih relevan keberadaannya jika mampu membuat terang sebuah permasalahan.
Keberpihakan tidak terhindarkan, bahkan harus, yakni pada nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya.
Tidak ada realitas yang objektif. Karena,
realitas sejatinya adalah apa yang kita yakini kebenarannya. Kitalah yang
mendefinisikan peristiwa dan menilai seseorang. Maka biarkanlah berita
subjektif secara perspektif, tetapi objektif dalam proses. Subjektifitas yang
objektif.
(Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR,
Selasa, 20 April 2010, 15:07:53 WIB)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar