Sabtu, 05 September 2020

19 BERAWAL DARI MATA

19 BERAWAL DARI MATA[1][2][3]

( Hal-40) Persepsi akan memulai bagaimana gaya komunikasi kita. Ketika indera, mata, telinga, hidung dan kulit menangkap stimuli. Kemudian kita membuat kesimpulan: baik-buruk, menaik-membosankan, bersahabat-bermusuhan, prospektif-hopeless. Ujungnya kita menentukan sikap komunikasi: konfrontatif-afirmatif, empatik-egois, atau kritis-permisif.



Persoalannya nampak sederhana. Semua berawal dari mata. Tapi disinilah akan dipilih sebuah sikap. Suatu waktu gaya bicara kita meledak-ledak penuh emosi, lain kesempatan intonasinya sungguh datar, nyaris tanpa semangat. Pada suatu ketika kita menikmati monolog, mendominasi seluruh pembicaraan, tapi pada saat di mana kita mewajibkan hadirnya dialog, saling berbagi informasi.

Mata tidak berdusta, tetapi pikiran mungkin salah menganalisa. Disinilah kemungkinan bias terjadi. Kita sering salah menilai orang karena penampilannya.  Ini adalah ekses berpikir indeksial, yakni memakai sebuah tanda dengan mengaitkannya dengan sesuatu yang seolah tak terpisah. Misalnya berbusana bagus identik dengan orang kaya tau berpendidikan, berdasi adalah eksekutif, berkacamata biasanya orang cerdas, atau cantik selalu orang baik.

Mata tidak salah, tetapi kesimpulan bisa membawa masalah. Maka, ada baiknya kita merunut sebab biasnya sebuah kesimpulan. Persepsi, di mana kita mengartikan sebuah tanda, kata Lyn Turner, setidaknya dipengaruhi oleh lima faktor yaitu, budaya, gender, fisik, teknologi, dan konsep diri. Budaya biasanya terkait dengan judgment moral atau etik. Orang Jawa misalnya, akan memaknai kesopanan (Hal-41) dari intonasi bicara. Akan dianggap sopan, jika intonasi kita tidak lebih tinggi dari lawan bicara. Itulah kenapa orang Jawa sering salah sangka terhadap orang Batak.

Laki-laki dan perempuan, menurut hasil penelitian, juga memiliki kecendrungan persepsi yang berbeda. Ada cara pandang feminim dan maskulin. Feminim sangat mengapresiasi penampilan, menghargai sopan santun, menyukai empati. Sedangkan maskulin, meskipun suka dengan penampilan, tapi lebih mengutamakan fungsi. Ini semata soal konstruksi sosial yang diterima sejak usia kanak-kanak.

Persepsi tidak datang dari langit. Penilaian-penilaian kita akan dipengaruhi pengalaman. Inilah kenapa, faktor fisik seperti usia mempengaruhi persepsi. Penilaian-penilaian kita akan dipengaruhi pengalaman. Inilah kenapa, faktor fisik seperti usia mempengaruhi persepsi. Rentang usia mewakili bidang pengalaman. Maka, pandangan terus berubah seiring perjalan waktu. Semakin tua, semakin bijak.

Hubungan persepsi dan teknologi bisa dijelaskan oleh ungkapan populer McLuhan,’medium is message’. Kita memiliki persepsi khusus media-media berbasis teknologi tertentu. Televisi misalnya, sudah melekat padanya image sebagai piranti hiburan. Maka apapun isi acaranya, seringkali kita tangkap sebagai hiburan belaka.  

Sementara itu, pengaruh konsep diri pada persepsi akan lebih mudah disadari. Setiap orang memiliki keyakinan, pandangan, atau penilaian terhadap dirinya sendiri. Jika merasa diri kita sebagai orang sabar, pengertian, maka kita akan cenderung memiliki persepsi positif pada orang lain, siapapun orangnya, dalam kondisi apapun. Jika kita merasa sebagai orang bijak, maka mestinya tidak buru-buru membuat kesimpulan, tak cepat reaktif menanggapi stimuli.

Jika persepsi merupakan fondasi komunikasi antar pribadi, maka mispersepsi (perceptual error) adalah musuh kita bersama. Salah satu penyakit manusia adalah terlalu gegabah menyimpulkan sesuatu. Orang kata Friz Heider, seringkali menjadi naive psycologist, kita suka naif menerka-nerka orang lain beserta kondisinya. Sayangnya kita tidak selalu cermat, terutama dalam memahami konteks dan alasan prilaku orang. Misalnya ketika suatu waktu kita berpapasan dengan orang yang kita kenal, tapi tidak ada senyum seperti biasanya, belum tentu yang bersangkutan punya masalah dengan kita.

Maka, berbaik sangka itu lebih baik. Lihatlah berapa banyak korban prasangka buruk. Jika kepercayaan tidak lagi ada, terbayang betapa keringnya komunikasi suami-istri. Jika rasa hormat itu hilang, betapa tak pantasnya komunikasi guru-murid. Jika kredibilitas rendah, betapa meresahkannya komunikasi antara pemimpin dan bawahannya.

Realitas ini mestinya menjadi pelajaran buat kita sebagai objek persepsi. Jika kita bisa mengurangi kemungkinan mispersepsi, kenapa tidak? Tak ada salahnya berpenampilan baik, bertutur kata sopan dan tak hemat senyum, jika ini adalah prasyarat munculnya persepsi positif. Dengan begitu kita kita bisa berharap, komunikasi antar pribadi kita lebih hangat, impresif dan efektif.

( Sekretariat Masjid Arfaunnas, Universitas Riau, Jum’at, 30 April 2010, 17:08:25 WIB)



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 223 Th. 11, Rabiul Awwal 1431 H, 11 Maret 2010.

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar