( Hal-40) Persepsi
akan memulai bagaimana gaya komunikasi kita. Ketika indera, mata, telinga,
hidung dan kulit menangkap stimuli. Kemudian kita membuat kesimpulan: baik-buruk,
menaik-membosankan, bersahabat-bermusuhan, prospektif-hopeless. Ujungnya
kita menentukan sikap komunikasi: konfrontatif-afirmatif, empatik-egois, atau
kritis-permisif.
Persoalannya nampak
sederhana. Semua berawal dari mata. Tapi disinilah akan dipilih sebuah sikap.
Suatu waktu gaya bicara kita meledak-ledak penuh emosi, lain kesempatan
intonasinya sungguh datar, nyaris tanpa semangat. Pada suatu ketika kita
menikmati monolog, mendominasi seluruh pembicaraan, tapi pada saat di mana kita
mewajibkan hadirnya dialog, saling berbagi informasi.
Mata tidak berdusta,
tetapi pikiran mungkin salah menganalisa. Disinilah kemungkinan bias terjadi.
Kita sering salah menilai orang karena penampilannya. Ini adalah ekses berpikir indeksial, yakni
memakai sebuah tanda dengan mengaitkannya dengan sesuatu yang seolah tak
terpisah. Misalnya berbusana bagus identik dengan orang kaya tau berpendidikan,
berdasi adalah eksekutif, berkacamata biasanya orang cerdas, atau cantik selalu
orang baik.
Mata tidak salah, tetapi
kesimpulan bisa membawa masalah. Maka, ada baiknya kita merunut sebab biasnya
sebuah kesimpulan. Persepsi, di mana kita mengartikan sebuah tanda, kata Lyn
Turner, setidaknya dipengaruhi oleh lima faktor yaitu, budaya, gender, fisik,
teknologi, dan konsep diri. Budaya biasanya terkait dengan judgment moral
atau etik. Orang Jawa misalnya, akan memaknai kesopanan (Hal-41) dari intonasi
bicara. Akan dianggap sopan, jika intonasi kita tidak lebih tinggi dari lawan
bicara. Itulah kenapa orang Jawa sering salah sangka terhadap orang Batak.
Laki-laki dan perempuan,
menurut hasil penelitian, juga memiliki kecendrungan persepsi yang berbeda. Ada
cara pandang feminim dan maskulin. Feminim sangat mengapresiasi penampilan,
menghargai sopan santun, menyukai empati. Sedangkan maskulin, meskipun suka
dengan penampilan, tapi lebih mengutamakan fungsi. Ini semata soal konstruksi
sosial yang diterima sejak usia kanak-kanak.
Persepsi tidak datang dari
langit. Penilaian-penilaian kita akan dipengaruhi pengalaman. Inilah kenapa,
faktor fisik seperti usia mempengaruhi persepsi. Penilaian-penilaian kita akan
dipengaruhi pengalaman. Inilah kenapa, faktor fisik seperti usia mempengaruhi
persepsi. Rentang usia mewakili bidang pengalaman. Maka, pandangan terus
berubah seiring perjalan waktu. Semakin tua, semakin bijak.
Hubungan persepsi dan
teknologi bisa dijelaskan oleh ungkapan populer McLuhan,’medium is message’.
Kita memiliki persepsi khusus media-media berbasis teknologi tertentu. Televisi
misalnya, sudah melekat padanya image sebagai piranti hiburan. Maka
apapun isi acaranya, seringkali kita tangkap sebagai hiburan belaka.
Sementara itu, pengaruh
konsep diri pada persepsi akan lebih mudah disadari. Setiap orang memiliki
keyakinan, pandangan, atau penilaian terhadap dirinya sendiri. Jika merasa diri
kita sebagai orang sabar, pengertian, maka kita akan cenderung memiliki
persepsi positif pada orang lain, siapapun orangnya, dalam kondisi apapun. Jika
kita merasa sebagai orang bijak, maka mestinya tidak buru-buru membuat kesimpulan,
tak cepat reaktif menanggapi stimuli.
Jika persepsi merupakan
fondasi komunikasi antar pribadi, maka mispersepsi (perceptual error) adalah
musuh kita bersama. Salah satu penyakit manusia adalah terlalu gegabah
menyimpulkan sesuatu. Orang kata Friz Heider, seringkali menjadi naive
psycologist, kita suka naif menerka-nerka orang lain beserta kondisinya. Sayangnya
kita tidak selalu cermat, terutama dalam memahami konteks dan alasan prilaku
orang. Misalnya ketika suatu waktu kita berpapasan dengan orang yang kita
kenal, tapi tidak ada senyum seperti biasanya, belum tentu yang bersangkutan
punya masalah dengan kita.
Maka, berbaik sangka itu
lebih baik. Lihatlah berapa banyak korban prasangka buruk. Jika kepercayaan
tidak lagi ada, terbayang betapa keringnya komunikasi suami-istri. Jika rasa
hormat itu hilang, betapa tak pantasnya komunikasi guru-murid. Jika
kredibilitas rendah, betapa meresahkannya komunikasi antara pemimpin dan
bawahannya.
Realitas ini mestinya
menjadi pelajaran buat kita sebagai objek persepsi. Jika kita bisa mengurangi
kemungkinan mispersepsi, kenapa tidak? Tak ada salahnya berpenampilan baik,
bertutur kata sopan dan tak hemat senyum, jika ini adalah prasyarat munculnya persepsi
positif. Dengan begitu kita kita bisa berharap, komunikasi antar pribadi kita
lebih hangat, impresif dan efektif.
(
Sekretariat Masjid Arfaunnas, Universitas Riau, Jum’at, 30 April 2010, 17:08:25
WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar