Interaksi, Variasi dan Harmoni[1][2][3]
(Hal-40) Kalau kita sepakat bahwa masalah utama komunikasi ada pada makna, maka
akar persoalannya ada pada interaksi. Karena, makna selalu lahir dari
interaksi, dalam konteks komunikasi apapun, baik komunikasi massa,
interpersonal ataupun kelompok. Ruang makna kita ditentukan oleh dengan siapa
kita berbicara, media apa yang kita konsumsi atau dalam kelompok mana kita bergaul.
Dalam komunikasi interpersonal misalnya, selalu
ada korelasi antara apa yang kita rasakan dengan siapa yang menjadi teman
bicara kita. Ada teman yang selalu menjadi variabel pengaruh. Begitu pula
komunikasi massa, media selalu berkontribusi dalam pilihan tindakan kita.
Jika komunikasi adalah proses yang
terus-menerus, maka sejatinya kita beralih dari satu bentuk komunikasi ke
bentuk lainnya. Ada saat berbincang secara personal dengan orang lain. Ada
waktu untuk berinteraksi dengan lingkungan, juga ada kesempatan untuk menyimak
informasi dan hiburan dari media massa. Jika ini semua terjadi secara
proporsional, maka akan muncul keseimbangan. Karena masing-masing konteks
komunikasi menyediakan kebutuhan yang berbeda.
Komunikasi interpersonal mengafirmasi
kebutuhan psikologis individu: perhatian, kesungguhan, kedekatan, dan empati.
Inilah jenis komunikasi yang paling sering dan tentu saja, paling awal
dilakukan dalam sejarah pertumbuhan manusia. Komunikasi kelompok muncul seiring
bertambahnya jumlah manusia. Mulailah muncul kebutuhan bahwa pesan ada pesan
yang harus disampaikan pada beberapa orang sekaligus. Kebutuhan yang menegaskan
bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Perubahan yang paling drastis terjadi ketika
teknologi elektronik memfasilitasi arus informasi. Telekomunikasi menjadikan
kebutuhan bertemu secara fisik tak lagi relevan. Dari sinilah fase
impersonalitas dalam komunikasi di (Hal-41) mulai.
Bahkan di perkampungan, suasana sore, ketika orang saling bercengkrama di bawah
pohon waru, semakian sulit ditemukan. Indahnya bulan purnama tidak lagi memikat
anak-anak untuk bermain petak umpet di luar rumah. Mereka sudah merasa cukup
terhibur dengan berbagai perangkat hiburan di dalam rumah.
Ketidakseimbangan interaksi mulai terjadi. Komunikasi
interpersonal nampak semakin mewah karena kian jarang di lakukan. Bagi orang
yang merasa sibuk, pertemuan fisik secara langsung dianggap buang-buang waktu,
meskipun mereka tak merasakan hal yang sama ketika berjam-jam bertukar informasi
di dunia maya. Bagi anak-anak dan remaja, tak hanya televisi yang menyandera,
bahkan beraneka videogame pun menguras waktu dan energi mereka. Bukannya
berinteraksi dengan manusia sungguhan, mereka justru menguras tenaga untuk
berkomunikasi dengan tokoh-tokoh rekaan (virtual) di dunia permainan.
Itu belum termasuk dunia online yang kian
memikat dengan daya jangkau (konektifitas) dan kemampuan konvergensinya. Kecepatan
dan kepraktisan semakin masuk akal untuk menggantikan kedekatan dan kehangatan.
Ditambah biaya akses yang semakin murah, lengkap sudahlah komunikasi virtual
saat ini.
Inilah saatnya kita menata ulang ruang
interaksi kita. Karena, sekali lagi, interaksi akan menentukan bagaimana
pemaknaan kita. Jika kita mengeluh dengan isi televisi yang semakin jauh dari
semangat edukasi, kenapa kita tidak mengurangi dominasinya? Jika kita khawatir
pengaruh buruk teman pada anak-anak kita, kenapa kita tidak risau dengan dampak
negatif televisi yang telah menjadi teman akrab anak-anak kita? Jika konten
kekerasan dalam video game kian mengkhawatirkan, kenapa kita tidak
pernah menyeleksi isi permainan si buah hati?
Saatnya kearifan bermedia kita tradisikan. Tempatkan
semua pada proporsinya. Perlu variasi ragam komunikasi. Di keluarga, sediakan
selalu waktu berkomunikasi secara personal, dengan anak, saudara, suami atau
istri. Arahkan anak untuk beraktifitas konstruktif, sehingga perhatiannya tak
melulu tertuju pada televisi. Ruang-ruang publik, meski sebagian semakin tidak
representatif dan kurang atraktif, bisa dimanfaatkan. Aktifitas luar ruang yang
terkontrol tak hanya menyehatkan secara fisik, tetapi juga secara sosial bagi
mereka.
Di bulan puasa, ini akan menjadi tantangan
tersendiri. Dengan alasan berhemat energi, terutama anak-anak dan remaja
menghabiskan waktunya di depan televisi. Padahal, selain tak serta merta
Islami, isi televisi juga selalu membawa jebakan adiksi. Sinetron yang
bersambung-sambung itu, bahkan hingga usai lebaran, sering membuat orang
ketagihan. Jangan heran jika anak-anak nanti
malas bersilaturrahmi, karena tidak ingin ketinggalan cerita di layar
kaca.
Dengan semangat membersihkan diri, semoga
Ramadhan juga menjadi momen untuk menyehatkan interaksi kita, pada siapa dan
apapun, termasuk dengan media. Sehingga, dihari fitri nanti, kita juga akan
mendapatkan harmoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar