Nurani
(Hal-04) Jakarta, 1 Mei 1999
Ada kenangan unik yang
tersisa dari pemilu. Setidaknya bagi saya. Bukan soal penghitungan suara yang
banyak di tuding curang. Bukan pula soal nasib partai-partai yang mungkin tak
dapat lagi ikut pemilu. Saya tertarik dengan ramainya orang bicara soal nurani,
pada hari-hari menjelang pencoblosan. Dalam tajuknya, Republika menulis,
”Hari ini kita melaksanakan Pemilihan Umum. Ucapkanlah Bismillahirrahmanirrahim sebelum Anda menusuk. Pilihlah partai sesuai hati nurani Anda sebagai seorang Muslim.”
Tak ada kata-kata lain
kecuali kalimat itu. Sementara Presiden BJ Habibie berkata:
”Jadikanlah hati nurani sebagai penentu dalam pencoblosan.”
Nurani? Mengapa setiap
hari orang bicara nurani. Dimanakah nurani Edi Wuryantoro saat menuduh Dwi
Sumaji alias Iwik membunuh Udin? Kemana nurani para pembantai rakyat Aceh
semasa DOM? Digadaikan kemana nurani para penghisap darah rakyat selama Orde
Baru? Inga’ Inga’, sejak tahun 1967, Orde Baru telah mengorupsi 10 M US
$ dari total 30 US $ pinjaman Bank Dunia. Maka, tidak aneh bila tahun lalu
Indonesia menjadi negara terkorup di Asia versi Lembaga riset Hong Kong, PERC (
Political and Economic Risk Consultancy).
Baca Juga: Membangunkan KekuatanZakat Indonesia
Aneh. Selama ini, apa
saja dipolitisir, termasuk nurani. Namun hari ini saya menyaksikan upaya
menuranikan politik. Nurani digugah, ”Suara Anda benar-benar menentukan nasib
bangsa.” padahal, nurani pemilih masih bergantung kepada nurani penghitung
suara, nurani pembawa berita acara, nurani Jacob Tobing, Nurani Rudini, nurani
siapa saja yang turut mempengaruhi hasil pemilu.
Banyak retorika yang
harus dikembalikan kepada nurani. Bagi seorang Mukmin nurani adalah titian Rabbani.
Al Qur’an menyebutnya dengan fitrah.
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada fitrah yang telah ditetapkan
Allah. Tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
firah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah itu, ...
(QS. Ar Rum: 30)
Bila nurani telah mati,
segala perangkat kejujuran takkan begitu berarti. Kecuali bila perangkatnya
seperti tinta pemilu yang sulit dihilangkan. Betapa sulit dibayangkan bila
semua transaksi dan interaksi sosial harus diamankan dengan tinta. Seluruh jari
tangan dan kaki pasti tidak mencukupi. Lalu seperti apa rupa manusia?
Karenya, ”Suarakan
suaramu!” harus terus dilanjutkan dengan, ”Suarakan Nuranimu!” Dan,
itu artinya pekerjaan berat menanti. Apa pasal? Di Indonesia yang populasi
penduduknya amat besar dan budaya feodalistik yang sangat dominan, melakukan
transformasi pendidikan nurani tak kan semudah membalikkan telapak tangan.
Baca Juga: MasihkahDapat Hidup Nyaman Di Kota Besar ?
Apalagi bila tipologi
pemilih Indonesia adalah wajah asli kepribadian mereka. Seperti kata Eep
Saefulloh Fatah, hanya 10 persen pemilih yang kategorinya kalkulatif rasional,
sisanya adalah masyarakat feodal dan orang yang teralienasi secara politik.
”Mereka ini tidak punya bangunan argumentasi rasional ketika menentukan
pilihannya. Ikatan yang sifatnya personal, emosional, bahkan irrasional akan
gambang mengikat mereka,” papar Eep.
Cukup sampai di sini?
Tidak. Nurani yang kita inginkan bukan sebatas nurani kemanusiaan, tapi
nurani keislaman. Bila nurani tidak on line, dengan niat dan misi
ibadah, ia hanya akan menjadi komoditas politik semata.
Semoga Indonesia baru menjadi kenyataan. Barakallahu li wa lakum fi nuraniku dan nuranikum.*
Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar