Selasa, 01 April 2025

Nurani

  

Nurani

 

Nurani
Nurani

(Hal-04) Jakarta, 1 Mei 1999

Ada kenangan unik yang tersisa dari pemilu. Setidaknya bagi saya. Bukan soal penghitungan suara yang banyak di tuding curang. Bukan pula soal nasib partai-partai yang mungkin tak dapat lagi ikut pemilu. Saya tertarik dengan ramainya orang bicara soal nurani, pada hari-hari menjelang pencoblosan. Dalam tajuknya, Republika menulis,

”Hari ini kita melaksanakan Pemilihan Umum. Ucapkanlah Bismillahirrahmanirrahim sebelum Anda menusuk. Pilihlah partai sesuai hati nurani Anda sebagai seorang Muslim.”

Tak ada kata-kata lain kecuali kalimat itu. Sementara Presiden BJ Habibie berkata:

”Jadikanlah hati nurani sebagai penentu dalam pencoblosan.”

Nurani? Mengapa setiap hari orang bicara nurani. Dimanakah nurani Edi Wuryantoro saat menuduh Dwi Sumaji alias Iwik membunuh Udin? Kemana nurani para pembantai rakyat Aceh semasa DOM? Digadaikan kemana nurani para penghisap darah rakyat selama Orde Baru? Inga’ Inga’, sejak tahun 1967, Orde Baru telah mengorupsi 10 M US $ dari total 30 US $ pinjaman Bank Dunia. Maka, tidak aneh bila tahun lalu Indonesia menjadi negara terkorup di Asia versi Lembaga riset Hong Kong, PERC ( Political and Economic Risk Consultancy).  

Baca Juga: Membangunkan KekuatanZakat Indonesia 

Aneh. Selama ini, apa saja dipolitisir, termasuk nurani. Namun hari ini saya menyaksikan upaya menuranikan politik. Nurani digugah, ”Suara Anda benar-benar menentukan nasib bangsa.” padahal, nurani pemilih masih bergantung kepada nurani penghitung suara, nurani pembawa berita acara, nurani Jacob Tobing, Nurani Rudini, nurani siapa saja yang turut mempengaruhi hasil pemilu.

Banyak retorika yang harus dikembalikan kepada nurani. Bagi seorang Mukmin nurani adalah titian Rabbani.  Al Qur’an menyebutnya dengan fitrah.

”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada fitrah yang telah ditetapkan Allah. Tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut firah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah itu, ...

(QS. Ar Rum: 30)

Bila nurani telah mati, segala perangkat kejujuran takkan begitu berarti. Kecuali bila perangkatnya seperti tinta pemilu yang sulit dihilangkan. Betapa sulit dibayangkan bila semua transaksi dan interaksi sosial harus diamankan dengan tinta. Seluruh jari tangan dan kaki pasti tidak mencukupi. Lalu seperti apa rupa manusia?

Karenya, ”Suarakan suaramu!” harus terus dilanjutkan dengan, ”Suarakan Nuranimu!” Dan, itu artinya pekerjaan berat menanti. Apa pasal? Di Indonesia yang populasi penduduknya amat besar dan budaya feodalistik yang sangat dominan, melakukan transformasi pendidikan nurani tak kan semudah membalikkan telapak tangan.

Baca Juga:  MasihkahDapat Hidup Nyaman Di Kota Besar ? 

Apalagi bila tipologi pemilih Indonesia adalah wajah asli kepribadian mereka. Seperti kata Eep Saefulloh Fatah, hanya 10 persen pemilih yang kategorinya kalkulatif rasional, sisanya adalah masyarakat feodal dan orang yang teralienasi secara politik.

”Mereka ini tidak punya bangunan argumentasi rasional ketika menentukan pilihannya. Ikatan yang sifatnya personal, emosional, bahkan irrasional akan gambang mengikat mereka,” papar Eep.

Cukup sampai di sini? Tidak. Nurani yang kita inginkan bukan sebatas nurani kemanusiaan, tapi nurani keislaman. Bila nurani tidak on line, dengan niat dan misi ibadah, ia hanya akan menjadi komoditas politik semata.

Semoga Indonesia baru menjadi kenyataan. Barakallahu li wa lakum fi nuraniku dan nuranikum.*


Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar