Maafkan Kami, Jika Belum Banyak Berbagi
Oleh Sulthan Hadi
Maafkan Kami, Jika Belum Banyak Berbagi
(Hal-29) Ramadhan
tidak hanya kita kenal sebagai bulan ibadah. Ia juga simbol kedermawanan. Allah
Swt memperlihatkan kemurahan-Nya di dalam hari-harinya dengan limpahan
rahmat-Nya, maghfirah-Nya, dan pembebasan-Nya dari api neraka, dan menjadikan
yang terbaik di antara manusia, yang paling pemurah dan paling banyak berbagi.
Prestasi itu kemudian disematkan kepada Rasulullah Saw, karena kemurahannya
yang berlipat-lipat ketika Ramadhan datang.
(Hal-30) Dalam
kalimat yang indah, Ibnu Abbas ra melukiskan pribadi beliau,
“Nabi Saw
adalah manusia yang paling pemurah, dan sifat murah hatinya semakin bertambah
pada bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril menemuinya untuk mengajarkan Al
Qur’an kepadanya. Dan biasanya jibril mendatanginya setiap malam pada bulan
Ramadhan untuk mengajarinya Al Qur’an. Sungguh, keadaan Rasulullah Saw ditemui
Jibril sangat dermawan dalam kebaikan, melebihi angin yang berhembus.”
(HR
Bukhari dan Muslim)
Sejatinya, Rasulullah
memang manusia pemurah. Tak ada dirham yang pernah menginap di rumahnya,
kecuali beliau sedekahkan. Tapi Ramadhan datang kepada manusia dengan semangat,
motivasi dan pahala berbagi yang begitu besar. Maka sifat murah hati Rasulullah
pun kian berlipat, sehingga berhimpunlah dua kemurahan dalam diri beliau;
kemurahan Ramadhan dan kemurahan diri beliau sendiri.
Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat
Rasulullah Saw menjadi
contoh yang sempurna dalam kedermawanan di bulan puasa, yang ketika memberi,
rasa gembiranya jauh lebih besar, dari orang yang menerima pemberiannya. Betapa
kita sangat butuh menjadikannya petunjuk dan akhlaknya panduan di setiap
detik kehidupan kita, khususnya di
hari-hari yang pernuh berkah, Ramadhan.
Berbagi dan bersedekah di
hari-hari itu, memang menjadi amal yang sangat istimewa. Bersama ibadah-ibadah
yang lain, ia akan menjadi sebab surga yang dijanjikan itu akan kita gapai,
insha Allah. Sebagaimana di jelaskan Rasulullah dalam sabdanya,
“Di surga
itu ada kamar-kamar yang terlihat atasnya dari dalamnya, terlihat pula dalamnya
dari atasnya.” Untuk siapa kamar-kamar itu ya Rasulullah?” Beliau
menjawab,”Untuk orang yang baik ucapannya, memberi makan, selalu berpuasa, dan
shalat di tengah malam saat manusia sedang tertidur.”
(HR Ahmad
dan Tirmidzi)
Kita tahu, bahwa semua kebiasaan istimewa itu hanya ada di sisi Ramadhan. Berbagi dan bersedekah adalah ibadah yang melekat dalam Ramadhan. Bahkan di antara makna puasa yang diwajibkan kepada kita, adalah munculnya sensitifitas orang-orang berpunya akan kebutuhan fakir miskin, dan kesediaannya untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Ketika seorang salaf ditanya, (Hal-31) “Mengapa puasa disyariatkan?”
Maka Ia menjawab,”Agar orang kaya merasakan rasa lapar, sehingga ia tidak
melupakan orang yang lapar.” Karena itu, banyak diantara salafushalih yang
selalu memberi buka orang yang puasa, memenuhi kebutuhan mereka, meski mereka
harus tetap menahan lapar di waktu malam.
Ibnu Umar ra, ketika
sedang berpuasa, ia tidak mau berbuka kecuali bersama orang-orang miskin. Jika
keluarganya tak mengundang orang-orang miskin itu datang ke rumahnya, ia
menolak makan di malam itu. Jika ada seorang peminta-minta yang datang saat ia
sedang menghadapi makanannya, ia mengambil sedikit untuk dirinya lalu
memberikan makanan itu untuk si peminta-minta. Ketika kembali dan mendapati
makanan yang lain telah dimakan keluarganya, esok harinya ia tetap berpuasa
tanpa memakan sesuatu apapun.
Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Seorang salafushalih yang lain, suatu hari ketika sedang berpuasa ia sangat tertarik dengan suatu makanan. Menjelang berbuka, ia letakkan makanan itu di hadapannya.
Namun ia
tiba-tiba ia mendengar seorang peminta-minta di luar rumahnya berkata, “Siapa
yang mau meminjamkan Kekasihnya Yang Maha Menepati janji lagi Maha Kaya?” Lelaki
shalih ini serta menjawab,”Aku, hamba-Nya yang miskin dari kebaikan.” Ia pun
segera berdiri mengambil piring besar berisi makanannya, lalu ia memberinya si
peminta-minta, sedang dia sendiri menghabiskan malam itu dalam keadaan lapar.
Mereka telah tahu, bahwa
Ramadhan datang kepada mereka untuk mengajari mereka berbagi, untuk mengajari
mereka bagaimana cara melepaskan diri dari kungkungan hawa nafsu. Inilah
Abdurrahman bin Auf ra, yang ketika makanan berbukanya dihidangkan untuknya, ia
menangis. Keluarganya bertanya,”Apa yang membuat engkau menangis ?” Ia
menjawab,”Aku teringat Mus’ab bin Umair, yang di hari kematiannya kami tidak
menemukan sesuatu untuk mengkafaninya kecuali hanya selembar burdah.
(Hal-32) Jika
kami tutupi kepalanya, tersingkaplah kedua kakinya, dan jika kami tutupi kedua
kakinya, tersingkaplah kepalanya. Namun hari ini, kami menikmati beragam
makanan seperti ini. Aku khawatir kalau makanan ini adalah kebaikan-kebaikan
yang dipercepat untuk kami.”
Ramadhan, pernah hadir di
tengah orang-orang seperti mereka, yang memiliki semangat berbagi yang begitu
tinggi, memiliki persaudaraan yang sangat kuat dengan orang-orang yang tidak
memiliki hubungan darah dengan mereka. Mereka merasakan seolah diri mereka
adalah satu tubuh; yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang
tua, hidup dengan penuh kasih sayang, berinteraksi dengan cinta, hidup mereka
jernih dan kehidupan mereka menyatu, tidak ada benci, tidak hasad, dan tidak
ada dengki.
Seorang di antara mereka
merasa sakit karena sakit yang diderita saudaranya. Dia terhibur manakala
saudaranya merasakan kesenangan; dia memenuhi kebutuhannya, menutupi
kekurangannya, dan selalu mencari tahu kesulitan saudaranya agar ia bisa
membantunya.
Baca Juga: Profesional
Seorang laki-laki kepada
Ibnu Abbas ra saat ia sedang i’tikaf, yang meminta bantuannya untuk sebuah
kebutuhan. Ibnu Abbas pun berdiri, (Hal-33) untuk keluar bersamanya. Orang-orang
yang i’tikaf bersama menegurnya,”Engkau kan sedang i’tikaf!” Dijawab Ibnu
Abbas,”Sungguh, aku berusaha demi bisa membantu kebutuhan saudaraku, lebih aku
sukai daripada i’tikaf dua bulan di
masjid Rasulullah Saw.”
Indah sekali jiwa-jiwa
yang dermawan itu. Betapa mereka begitu mementingkan orang lain. Dan betapa
besar kecintaan mereka, aga kita pun lebih dermawan supaya Allah juga
memberikan lebih banyak lagi kepada kami. Sebab Allah Swt telah berfirman,
“Dan
kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan paling besar
pahalanya.”
(QS Al
Muzammil: 20)
Allah juga berfirman,
“Jika
kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan
balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha pembalas jasa lagi Maha
Penyantun.”
(QS At
Taghabun: 17)
Namun hari ini, Ramadhan
datang kepada kelompok manusia seperti kita. Kepada kaum yang tidak terlalu
mengenalnya kecuali sebagai bulan untuk berlapar-lapar di siang hari dan makin
sekenyang-kenyangnya di waktu malam. Di bulan ini mungkin kita lebih kita kenali
adalah bermacam resep masakan dan tatacara makan.
(Hal-34) Ramadhan
menjumpai sebagian dari kita sebagai orang-orang yang lebih mementingkan diri
sendiri. Yang terkadang lebih suka saling bermusuhan dari bersaudara, lebih
suka bertengkar dari memperlihatkan ketulusan, lebih senang saling marah dan
cekcok. Seolah belum sampai kepada mereka sabda Rasulullah,
“Amal-amal
diangkat pada setiap Senin dan Kamis, lalu mengampuni siapa saja yang Dia
kehendaki, kecuali orang yang ada permusuhan antara dirinya dengan saudaranya,
seraya berfirman,”lihatlah kepada kedua orang ini hingga mereka berdamai.”
Baca Juga: KarenaSyaitan itu Musuh …
Inilah luka-luka kita di hadapan Ramadhan. Inilah kenyataan dari kehidupan kita saat ini. Inilah kita. Tapi kita masih punya harap, semoga kita tetap mendapatkan kesempatan di antara hari-hari Ramadhan yang bisa mengubah keadaan kita, untuk lebih peduli, lebih bisa saling memberi. Semoga Ramadhan bisa menjadi stasiun di mana kita akan keluar dengan wajah yang berbeda dari wajah saat kita bertemu bulan itu di hari pertamanya. Semoga Allah mengabulkan semua keinginan ini.*
Majalah Tarbawi, Edisi 257, Th.13 Ramadhan 1432 H, 11 Agustus 2011 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar