Seperti Apa Kita Ramadhan Ini ?
Oleh M Lili Nur Aulia
Seperti Apa Kita Ramadhan Ini ?
(Hal-15) Ramadhan,
tamu mulia itu, akhirnya datang. Sujud syukur ke hadirat Allah Swt yang masih
memberi kita umur untuk hidup di antara bulan suci ini. Nikmat yang harus
disyukuri, tapi kesyukuran itu seharunya tidak berdiri sendiri, tapi langkah
nyata mengisinya dengan memaksimalkan amal-amal shalih.
(Hal-16) Sayangnya, masih banyak kondisi dirinya memprihatinkan di saat Ramadhan datang. Berbagai alasan dikemukakan. Padahal, itu sangat merugikan kita sendiri.
Kita belum siap menerima. Pernahkah kita berpikir bila kita datang ke rumah seseorang, lalu orang tersebut mengatakan mereka belum siap menerima kita? Padahal orang itu berulang-ulang meminta kita untuk bisa datang dan menjanjikan sesuatu yang baik untuk diberikan. Inilah logikanya.
Kita tahu, betapa kemuliaan Ramadhan yang tak
mungkin bisa dibandingkan dengan kemuliaan hidup kita sekalipun. Keberadaan satu
malam yang lebih baik dari seribu bulan itu saja, sudah melewati kemuliaan dan
keutamaan hidup kita yang tak mungkin memiliki rentang usia selama itu. Tapi sayangnya,
saat-saat ini kita merasa belum menerima dengan selayaknya. Kehadiran Ramadhan
tidak kita sambut dengan sambutan semestinya, tanpa persiapan yang seharusnya
kita lakukan.
Jika Rasulullah Saw dan para sahabat menyambutnya dengan melatih diri dangan meningkatkan ketaatan, memperbanyak ibadah, meninggikan amal-amal shalih, menebar banyak shadaqah di bulan sebelumnya, barangkali kita tidak begitu. Sehingga kita dalam kondisi belum siap mengisi hari-hari mulia itu dengan amal yang seharusnya.
Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat
Kita juga membaca bagaimana
para sahabat dan salafushalih menjadikan Ramadhan sebagai musim ketaatan di
mana mereka berlomba-Lomba karena mencium bau surga. Jiwa mereka terbang ke
langit, kening mereka sujud dalam keheningan malam. Tapi kita tidak semuanya
sangat siap menyambut dan menerima Ramadhan.
Kita masih sibuk. Kita tidak mengerti, karena sampai hari ini ketika kita sudah ada di antara hari-hari mulia Ramadhan, kita masih merasa sulit berbagi waktu untuk tafakkur, berdzikir, beribadah secara lebih baik. Kita masih merasakan dalam kondisi sibuk yang sulit terbagi lagi.
Meskipun, di antara anggapan sibuk kita itu, kita masih sempat menyaksikan siaran hiburan, masih sempat juga beristirahat santai dan berjalan-jalan ke berbagai tempat yang mungkin tidak ada hubungannya dengan ibadah yang harus kita lakukan. Kita membaca bagaima Umar bin Khattab radhiallahu’anhu yang menghidupkan malam Ramadhan dengan menyalakan lampu-lampu minyak di Masjid. Dia lah yang membawa lampu itu dan kemudian mengumpulkan masyarakat untuk melakukan shalat tarawih dan membaca Al Qur’an.
“Semoga Allah Swt memberi
cahaya pada kuburmu wahai Ibnul Khattab, sebagaimana engkau memberi cahaya di Masjid
dengan Al Qur’an, “ demikian salah satu do’a dari Ali bin Abi Thalib kepada
Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma. Meski kita mengetahui hal itu,
tapi kita beralasan kesibukanlah yang menjadikan ibadah kita tidak optimal di
bulan ini.
Kita letih, perlu istirahat. Sebagian kita tidak mau sungguh-sungguh menambah amal di Ramadhan, dengan alasan letih. Bagi orang-orang beriman yang telah letih melatih diri menyambut Ramadhan dengan baik, sebenarnya mereka akan lebih terbiasa untuk meningkatkan amal ibadahnya di bulan Ramadhan.
Tapi sebagian kita belum melatih
diri, hingga merasa peningkatan ibadah saat bulan Ramadhan begitu energi dan
tenaga, setelah sepanjang siang berpuasa dan bekerja. Maka, di siang hari, kita
merasa perlu istirahat lebih banyak karena harus bangun lebih awal untuk makan
sahur. Di malam hari, kita harus tidur lebih awal, juga karena harus lebih awal
bangun pagi untuk makan sahur.
Alangkah anehnya. Jadinya, kita merasa letih bila harus menambah jam-jam beribadah di bulan Ramadhan. Kita merasa perlu beristirahat yang cukup, agar segala tugas dan agenda tetap berjalan normal.
Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Kita merasa, cukup menahan lapar dan haus di siang hari, dan menambah
ibadah semampunya di malam hari, karena tubuh kita memerlukan waktu untuk
rileks. Begitulah alasan-alasan yang nampak rasional, yang membuat kita
melakukan ibadah seperlunya.
Harusnya kita mendengarkan bagaimana Imam Ibnul Jauzi menyinggung kita yang lalai. Dalam kitab Ru’uusul Qawaariir, ia mempertanyakan,”Kelalaian apakah ini, padahal kalian bisa melihat? Ketidaksadaran apakah ini, bisa kalian melupakan perbekalan, sementara kalian sedang bepergian?
Berapa banyak orang-orang terdahulu sebelum kalian telah
meninggal, apakah kalian tidak (Ha-18) berpikir?
Tidakkah kalian menyaksikan bagaimana Allah menempatkan mereka pada posisi yang
merugikan? Mereka tidak mampu memberikan satu wasiat pun dan tidak juga bisa
kembali kepada keluarganya.”
Ramadhan seharusnya menjadi bulan yang melimpah kesempatan untuk kita mengambil bekal sebanyak-banyaknya. Kita belum mau bertaubat. Kita tahu, salah satu sebutan untuk Ramadhan adalah syahru taubah atau bulan taubat. Kehadirannya, memang rentang waktu yang istimewa untuk bertaubat, beristigfar, memohon ampun atas kesalahan yang sudah kita lakukan.
Akan tetapi, anugerah Allah Swt kepada kita untuk bisa kembali menikmati Ramadhan, belum kuat mendorong kita untuk bisa kembali menikmati Ramadhan, belum kuat mendorong kita menuntaskan dan menghentikan beragam kelalaian dan dosa yang kita lakukan sebelum ini. Berat sekali melakukannya. Kita belum bisa menangis atas dosa-dosa yang kita lakukan. Padahal dalam kitab Bahrud Dumuu’, Ibnul Jauzi rahimahullah, berkata:
“Wahai, orang-orang yang
menyia-nyiakan usianya, sampai kapan engkau akan menunda taubat? Tidak ada
alasan bagimu untuk menundanya! Sampai kapan orang akan berkata kepadamu:’Hai
orang yang terfitnah dan tertipu? Kasihan sekali kamu ini! Bulan-bulan kebaikan
telah berlalu, namun kamu masih menghitung bulan-bulan itu. Apakah kamu tahu
amalan itu diterima atau ditolak? Apakah kamu tahu bahwa dirimu adalah orang
yang menyambung silaturahim atau yang memutuskannya? Apakah kamu tahu kelak
akan meniti kebahagiaan atau pada mukamu tergambar penyesalan? Adalah salah seorang
penghuni neraka atau istana?”
(Hal-19) kita
menunda untuk Ramadhan tahun depan. Waktu hidup, hanya Allah yang mengetahuinya.
Kita tahu dan sadar akan hal itu. Namun kadang kita mencanangkan akan merubah
diri dan meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah saat Ramadhan tahun depan
datang. Kita berkata, di masa itulah, barangkali kita akan bisa lebih fokus
beribadah dan bisa melakukan penyambutan Ramadhan lebih baik dari sekarang. Begitulah
cara kita menghibur diri, padahal itu semua karena kelalaian kita.
Baca Juga: Profesional
Seharusnya kita merenungi lebih lama, tentang akibat orang-orang yang menunda-nunda kebaikan. Diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, dari Ibnu Abbas ra, berkata: “Barangsiapa yang memiliki harta yang sudah bisa menyampaikannya untuk berhaji ke Baitullah atau mewajibkannya zakat, tapi tidak juga melaksanakannya, pasti ia akan minta raj’ah (dikembalikan lagi ke dunia) sesudah mati.”
Ada seorang berkata: “ Wahai Ibnu
Abbas bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya yang minta dikembalikan lagi ke
dunia adalah orang kafir.” Ibnu Abbas menjawab, “Aku akan bacakan kepadamu ayat
Al Qur’an tentang hal itu.” Lalu ia membaca surat Al Munafiqun ayat 9 sampai
ayat 11.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka
itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah
Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara
kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan
(kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah
dan aku termasuk orang-orang yang shalih?’ Dan Allah sekali-kali tidak akan
menangguhkan (kematian) seorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Jauhkan semua alasan di atas dan alasan lain yang
bisa dimunculkan untuk mentolerir kekurangan kita dari amal ibadah yang
seharusnya di bulan ini. Nilai Ramadhan, takkan terbayarkan dengan apapun yang
kita miliki. Salah satu filosofi yang dipegang orang-orang shalih adalah, bahwa
mereka khawatir bila kebaikan dan amal-amal shalih yang meeka lakukan, tidak
diterima di sisi Allah Swt. Lalu, mereka berlomba untuk bisa melakukan yang
paling baik dalam hidupnya, di setiap Ramadhan yang mereka lewati.
Majalah Tarbawi, Edisi 257, Th.13 Ramadhan 1432 H, 11 Agustus 2011 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar