Minggu, 25 Februari 2024

Maknai “Mencium” Ramadhan Sejak Sekarang

 

Maknai “Mencium” Ramadhan Sejak Sekarang[1]

Oleh M Lili Nur Aulia

 

[Hal-19] Orang-orang Shalih selalu merindukan bulan Ramadhan. Mereka bahkan merindukan Ramadhan, dari jarak yang sangat jauh hingga berharap sepanjang tahun Ramadhan. Mereka merindukan Ramadhan seperti penciuman Nabi Ya’qub alaihissalam terhadap bau Yusuf alaihissalam.

Kita tentu ingin sekali memiliki gemuruh rindu menerima sesuatu yang dicinta, yang sudah lama dinanti. Merasakan bau Ramadhan dari jarak yang masih jauh, lalu termasuk orang-orang yang melakukan persiapan optimal untuk memasuki bulan yang dirindukan.



[Hal-20] Kerinduan itu mereka tuangkan dalam sikap yang mendorong mereka mempersiapkan secara baik, bulan yang di rindu itu. Diantara mereka ada yang mengatakan,

“Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban adalah adalah bulan menyiram. Ramadhan adalah bulan saat pohon berbuah. Bila engkau ingin memetik buah di bulan Ramadhan. Anda harus menanamnya di bulan Rajab dan menyiraminya di bulan Sya’ban.”

Ungkapan indah ini sebenarnya mengacu pada hadits Rasulullah Saw yang mengutamakan banyak ibadah di bulan Sya’ban, melebihi bulan lainnya, kecuali bulan Ramadhan.

Semoga kita mulai menanam di bulan Rajab. Lalu kita sekarang berada di fase menyiram pohon, agar bisa berbuah dan dipetik di bulan berikutnya, bulan Ramadhan. Fase menyiram yang membutuhkan keseriuasan, ketelatenan, kesungguhan, kehati-hatian. Artinya juga merasakan kehadiran Ramadhan sejak sekarang. Menghayati bagaimana kita bisa menjalani puasa dengan baik, melakukan ragam kebaikan setiap hari, memperbanyak amalan shalat dan puasa, melatih hati untuk benar-benar terjaga dari semua aktifitas yang menjatuhkannya dari Allah Swt.

Sirami dengan Sungguh-Sungguh Bertaubat

“Seorang hamba yang melakukan perjalanan menuju Allah, ada diantara sikap untuk menyaksikan apa saja karunia yang Allah berikan kepadanya. Sementara di sisi lain ia juga membandingkan antara karunia itu dengan kekeliruan yang dilakukan oleh jiwa dan dalam amalnya.”

(Ini perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah)

Memulai pertaubatan secara menyeluruh, sangat baik bila diawali dengan perenungan tentang kesyukuran atas karunia dan nikmat Allah Swt. Perenungan seperti ini akan mengantarkan gambaran prilaku yang sangat jauh dari pada seharusnya. Hingga mengantarkan kita untuk bertaubat kepada Allah Swt dengan sebenar-benarnya.

Tentu saja buka sekedar taubat seperti yang biasa kita lakukan dengan mengatakan, “saya bertaubat.” Renungkanlah sudah berapa Ramadhan yang kita lewati dalam penggalan usia kita ini? Mengapa selalu saja kita gagal memanfaatkan kesempatan dan kenikmatan yang Allah Swt berikan itu? Berapa banyak Ramadhan berlalu dan dosa-dosa kita juga terampuni oleh Allah Swt karena kurang optimalnya kita memanfaatkan bulan Ramadhan? Berapa kali Ramadhan kita lewati, dan kita belum pernah merasakan mendapat Lailatul Qadar?

Sekali taubat tidak hanya dengan mengucapkan “saya taubat” atau ucapan istigfar tanpa menyadar kesalahan dan memohon ampun kepada Allah Swt dengan tekad kuat meninggalkan kesalahan. Taubat juga tidak hanya pada lingkup kesalahan kita melihat sesuatu yang tidak diridhai Allah, membicarakan sesuatu yang dilarang Allah dan semacamnya. Tapi taubat  yang dimaksud menjelang Ramadhan, harus lebih luas dari itu. Taubat dari kehidupan yang kita jalani seluruhnya. Taubat dari cara berpikir kita yang tidak sesuai perintah Allah Swt. Taubat dari keinginan dan mimpi-mimpi yang bukan mendekatkan pada Allah Swt. Taubat dari menyia-nyiakan waktu sepanjang hidup. Taubat  [Hal-21] dari interaksi ekonomi atau hubungan sosial kita yang tidak diridhai Allah Swt. Taubat hati dari beragam keinginan, lintasan, yang bernilai maksiat kepada Allah Swt. Taubat karena sering menunda amal kebaikan. Taubat dari sikap ujub, sombong, dengki, riya dan sebagainya. Taubat dari rasa malas menjalani ibadah. Taubat dari kehidupan kita, ya semuanya.

Sirami dengan Konsistensi Lisan dan Amal

Bicara itu mudah. Mengkhayal itu lebih mudah lagi. Tapi bekerja, beramal, melaksanakan yang dikatakan itu harus meskipun berat. Barangkali banyak diantara kita yang belum banyak beramal, belum banyak berusaha serius, tapi kemudian mengadu karena tidak bisa khusyu’. Mengadu karena kekasatan hati. Mengeluh karena dirinya dilanda kelemahan (Futur). Jawabannya,  adalah kurang beramal, kurang berkorban untuk mencapai sesuatu, dan ini artinya, bekerjalah, beramallah terus. Jangan berhenti.

Perhatikanlah bagaimana keseriusan bicara Abu Muslim Al Khaulani, seorang yang hidup di zaman Rasulullah, tapi tak sempat bertemu Rasulullah saw Karena kedatangannya ke Madinah, di dahului wafatnya Rasulullah saw. Ia merasa kedukaan yang sangat mendalam, lalu bertekad pada dirinya untuk bisa menyaingi prestasi para sahabat Rasulullah saw dalam hal ibadah. Tak hanya menyesal dan bertekad. Ia lalu menggantung seutas cambuk di tempat shalat di rumahnya. Cambuk itu digunakan bila ia mulai letih melakukan shalat. Ia mengatakan,

“Ayo bangun kakiku.” Ketika berdiri ia bergumam,” Apakah para sahabat Nabi Muhammad bisa memperoleh keutamaan tanpa kesertaan aku di antara mereka? Sekalipun tidak. Demi Allah, saya akan berdesakan dengan mereka dalam keutamaan itu. Sehingga mereka sadar bahwa mereka meninggalkan orang bermental pejuang di generasi setelah mereka.”

(Abu Muslim Al Khaulani)

Sudah tidak terhitung kita memiliki keinginan, tekad, dan niat baik. Tapi kebanyakan keinginan, tekad, dan niat baik itu hilang begitu saja. Tidak ada yang mengingatkannya, tidak ada juga usaha kita untuk mewujudkannya. Karenanya, rencana kebaikan itu harus harus diucapkan atau ditulis, untuk mengingatkan sekaligus meperkuat dorongan kita melakukannya.

Ambillah pelajaran dari apa yang diucapkan Anas bin Nadhr radhiallahu anhu. Ia tidak terlibat perang Badar dan mendengar bahwa Allah Swt menurunkan firman-Nya,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, yang berhijrah di jalan Allah, mereka itu adalah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

(QS. Al-Baqarah [2]: 218)

Setelah mendengar firman Allah swt tersebut, Anas bin Nadhr radhiallahu anhu mengatakan,

“Demi Allah, seandainya Allah swt menjadikanku hadir dalam satu peperangan, pasti Dia akan melihat apa yang aku lakukan.”

Anas bin Nadhr akhirnya disempatkan Allah swt untuk terlibat dalam perang Uhud. Di di sana ia benar-benar menunjukkan tekadnya yang begitu kuat hingga akhirnya Allah memilihnya sebagai salah satu syuhada yang gugur di perang Uhud.

Kaitkan analogi ini dengan tekad [Hal-22] yang harus kita miliki menjelang bulan Ramadhan. Katakan atau tulis,

“Demi Allah, Bila Allah menyampaikan usiaku hingga bulan Ramadhan ….. kalian akan saksikan sendiri apa yang aku perbuat, …”

Sirami dengan Sama Sekali Tak Berargumentasi dalam Amal

Sudah lumrah, jika seseorang bertekad melakukan suatu kebaikan, akan bisikan atau anggapan yang membuat orang tersebut tidak jadi melakukan kebaikan tersebut. Umumnya juga, bisikan dan anggapan itu logis. Dengan segala argument logika bisikan itu bisa saja dibenarkan. Tapi sebenarnya, itu datang dari syetan yang ingin menunda atau menghambat seseorang melakukan amal shalih.

Buang semua candu alasan yang membuat lalai. Kita memerlukan langkah awal yang tulus, bersih, jauh dari semua bentuk tipu daya yang membuat kita menunda amal baik, yang membuat kita terpedaya oleh niat dan keinginan, hanya tertipu oleh harapan-harapan tapi kosong dari usaha melakukan kebaikan. Jauh dari jerih payah dan pengorbanan untuk menerapkan upaya mencapai keinginan baik. Allah menggambarkan dua bentuk golongan manusia yang menipu dan memperdaya.

“Mereka yang memperdaya Allah, sesungguhnya memperdaya diri mereka sendiri.”

(QS. An-Nisa []: 142-143)

Contoh argument membius itu adalah, alasan dengan mengatakan akan meningkatkan kebaikan secara bertahap dan sedikit demi sedikit menambahkan kuantitas dan kualitas dalam beribadah, dalam dzikir, dalam tilawah dan semacamnya. Mungkin saja alasan seperti itu bisa digunakan di luar bulan-bulan yang berada jauh dari bulan Ramadhan.  Sedangkan untuk bulan ini, menjelang bulan Ramadhan, tidak ada waktu untuk melakukan kebertahapan dalam ibadah. Jangan gunakan alasan yang bisa memunculkan ketenangan yang menjadikan sikap santai atau mengurangi keseriusan. Jangan rela dengan berbagai ungkapan yang bisa membius, yang sangat mungkin datang dari syaitan. Lakukanlah segera. Sekarang.

Muhammad Husein Ya’qub  dalam kitab Asrar Muhibbin fi Ramadhan mengatakan,

“Tiga prinsip yang dilakukan para salafushalih dalam mempersiapkan diri menyongsong Ramadhan. Yaitu Obsesi yang tinggi, jangan beralasan, lakukan segera.”

Sirami dengan Kesungguhan Seperti Persiapan Perang

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Hati-hatilah, hati-hatilah dengan dua hal. Pertama, jika datang kewajiban waktu yang tak mungkin di tunda, sementara engkau tidak siap melakukan kewajiban itu atau tidak bisa melakukannya. Berarti engkau akan mendapatkan hukuman karena tidak melakukannya, dan juga tidak mendapatkan pahala yang harusnya bisa engkau peroleh dengan melakukannya.

Dan kedua, hati-hatilah terhadap situasi tidak melakukan perintah di awal perintah karena itu berlawanan dengan keinginanmu. Lalu hatimu menjadi terbalik.”

Dari sinilah berarti kita menyadari, perlunya mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan. Agar kita tidak terlambat atau menunda-nunda beragam amal kebaikan di bulan itu. Juga agar kita tidak terhalang  untuk menambah ketaatan saat Ramadhan telah tiba.

[Hal-23] Ibarat menyongsong sebuah peperangan, suasana menjelang bulan Ramadhan adalah fase melewati persiapan yang sangat serius. Persiapan dengan menata seluruh perbekalan, mempersiapkan kekuatan mental, hingga persiapan memakai pakaian perang untuk menyongsong musuh. Analogi ini hanya diperlukan untuk menggambarkan bahwa kita akan memasuki fase peristiwa yang sangat penting, lebih penting dari peristiwa apapun. Lebih penting dari kehidupan kita sendiri dan nilai “kekalahan” kita di dalamnya bisa jadi merupakan “kematian.” Rasulullah saw, saat menyongsong perang Uhud pernah diminta oleh sejumlah sahabat untuk bertahan di Madinah. Tapi beliau mengatakan,

“Tidaklah seorang Nabi bila telah mengenakan pakaian perangnya lalu ia lepas kembali, sampai Allah Swt mempertemukannya dengan musuhnya.”

(HR. Ahmad)

Maka, persiapan menyambut Ramadhan itu harus dilakukan sekarang dan jangan pernah mundur kembali. Lakukanlah jangan pernah menunda. Jangan pernah lagi mengatakan,”saya akan berusaha”, “Saya akan mencoba”, Saya akan melihat waktu yang tepat”.  Lakukan, sekarang. Lucuti semua penyakit-penyakit hati yang ada dalam hati. Tinggalkan semua kemaksiatan yang telah dilakukan secara lahir maupun bathin. Bangkit dari kelalaian. Selamatkan diri dari apapun yang bisa menghalangi kita dari Ridha Allah Swt. Jauhi semua yang bisa menambah jarak kita semakin jauh dari surga.

Sirami dengan Jiwa yang Prioritaskan Allah Kapanpun Dimanapun

Menata hati untuk menjadikan Allah Swt di atas segalanya. Mengutamakan taat dan tunduk kepada Allah Swt meskipun dalam kondisi yang sulit sekalipun. Contoh sederhananya, memprioritaskan shalat di awal waktu dengan berjamaah dalam situasi apapun, atau mengutamakan tidak marah di saat ingin marah karena Allah Swt, atau juga menjauhi prilaku kurang [Hal-23] baik meskipun hal itu kita sukai atau sudah menjadi kebiasaan, karena Allah Swt.

Ada banyak cara yang bisa memotifasi sikap seperti ini. Antara lain berusaha mencari rahasia di balik ketaatan dan ketundukan yang kita lakukan. Tidak sekedar melakukannya sebagai rutinitas, tapi meraba dan merasakan nilai di balik amal-amal shalih itu. Baca Al-Qur’an dengan tidak melupakan tadabbur kandungannya, mengucapkan lafazh atau bacaan shalat dengan menghayati artinya, melakukan puasa sunnah dengan menghadirkan keteduhan hati karena Allah Swt, dan sebagainya.

Salah satu kaidah ulama terkait pahala adalah,

idzaa qawiya ad daa’i, wa tamma at tarku azumal ajru, wa idzaa dha’ufud daa’i wa tammal fi’lu azumal wizru.”

“Bila dorongannya kuat untuk melakukan kesalahan, tapi akhirnya kesalahan itu ditinggalkan, maka pahalanya akan besar. Sebagaimana bila dorongan untuk melakukan kesalahan itu kecil, tapi kemudian kesalahan itu dilakukan, akan besar juga dosanya.”

Karenanya, setiap kita penting mengekang diri dari kesalahan sejak sekarang, agar tidak terjerumus dalam kesalahan di bulan Ramadhan. Sebab, bila di bulan Ramadhan seseorang masih melakukan kemaksiatan, ia akan mendapatkan dosa yang lebih besar di banding bulan lainnya. Alasannya, di bulan Ramadhan dorongan dan pengaruh untuk melakukan kemaksiatan lebih kecil. Tapi bila di tengah kondisi ketaatan masal itu, masih ada orang yang melakukan kemaksiatan, tentu dosa dan bobot kesalahannnya akan semakin berat.

Sirami dengan Menambah Bobot Ibadah

Abu Darda radhiallahu anhu mengatakan kepada Subaih,

“Ya Subaih, biasakanlah beribadah. Karena ibadah itu dilakukan dengan kebiasaan. Dan sesungguhnya tak ada yang lebih berat melakukan ibadah diatas muka bumi ini melebihi orang kafir.”

Memperbanyak puasa sunnah, menambah beberapa rakaat shalat sunnah seperti yang dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah, memanjangkan rakkat dengan membaca ayat yang lebih panjang dalam shalat sunnah. Memperpanjang saat ruku, memperpanjang saat sujud, memperpanjang dzikir kepada Allah, memperbanyak tilawah Al Qur’an dan sebagainya.

Termasuk melatih menghadirkan pikiran dan rasa untuk beribadah sebelum waktunya. Apakah anda bisa melihat diri Anda ketika sedang sujud? Berusahalah membayangkan pemandangan itu. Saat kening Anda terletak di atas tanah. Hidung Anda menyentuh tanah. Lalu badan anda mengarah ke bumi. Khusu tunduk tak ada yang anda lihat melalui kedua mata Anda kecuali tanah. Dua tangan yang menekan di atas tanah, dan dua siku. Penggambaran ini penting untuk mengantarkan konsentrasi dan kehadiran hati dalam melakukan ibadah.

Menghadirkan perasaan sebelum melakukan ibadah shalat seperti ini, subtansinya ada dalam hadits Rasulullah Saw,

“Jika kalian mendirikan shalat, janganlah datangi shalat dengan berlari. Tapi datangilah dengan berjalan dengan tenang. Dan pada posisi apa kalian bisa melakukan shalat berjamaah, shalatlah, dan apa yang tertinggal dari shalat berjamaah, tunaikanlah.”

(Al Hadits)

Dalam riwayat lain Rasulullah [Hal-24] mengatakan,

“jika kalian mendatangi shalat, datangilah dengan tenang dan diam.”

(Al Hadits)

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

“Salah satu manfaat dari hadits ini adalah terkait upaya menghadirkan hati dan menghimpun pikiran dalam ibadah yang dilakukan.”

Jika Usia Kita Sampai ke Bulan Ramadhan

Sampainya Ramadhan itu adalah kenikmatan. Dahulu ada dua orang yang masuk Islam di hadapan Rasulullah Saw. Tak lama kemudian, salah satu dari mereka mati syahid dalam satu peperangan. Sementara yang satu lagi, baru meninggal satu tahun kemudian. Thalhah bin Ubaidillah bermimpi dan mengatakan,

“Dalam mimpi aku melihat yang meninggal belakangan, yang lebih dahulu dimasukkan ke dalam surga, sebelum yang mati syahid pertama.”

Lalu esok harinya Thalhah menyampaikan mimpinya itu kepada Rasulullah Saw, Rasul Bersabda,

“Bukankah yang meninggal belakangan itu telah berpuasa di bulan ramadhan, dan shalat 6000 rakaat ini dan itu, lalu melakukan Shalat Sunnah?”

Dalam riwayat lain Rasul mengatakan,

“Bukankah ia telah memasuki bulan Ramadhan dan ia puasa. Lalu ia puasa dan sujud dalam satu tahun itu? “

Lalu Rasulullah mengatakan,

“sesungguhnya jarak keduanya lebih jauh dari jarak antara langit dan bumi, …”

(HR. Ahmad)

Apakah jika usia kita sampai ke bulan Ramadhan, kita siap menjadikan karunia Allah Swt itu dengan amal-amal yang mengantarkan kita pada Ridha-Nya? ***

 

 

 

 



x

[1] Majalah Tarbawi Edisi 233 Th.12, Sya’ban 1431 H, 12 Juli 2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar