Rasakan Hari
Ini Seakan Sudah Ramadhan[1]
Oleh M Lili
Nur Aulia
(Hal-19) orang-
orang Shalih selalu merindukan bulan Ramadhan. Mereka bahkan merindukan
Ramadhan, dari jarak yang sangat jauh hingga berharap sepanjang tahun adalah
Ramadhan. Mereka merindukan Ramadhan seperti penciuman Nabi Ya’qub alaihissalam terhadap bau Yusuf alaihissalam.
Kita tentu
ingin sekali memiliki gemuruh rindu menerima sesuatu yang dicinta, yang sudah
lama dinanti. Merasakan bau Ramadhan dari jarak yang masih jauh, lalu termasuk
orang-orang yang melakukan persiapan optimal untuk memasuki bulan yang
dirindukan.
(Hal-20) kerinduan yang dituangkan dalam sikap yang mendorong mereka mempersiapkan secara baik, bulan yang dirindu itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, “Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban bulan menyiram. Ramadhan adalah saat pohon berbuah. Bila engkau ingin memetik buah di bulan Ramadhan, anda harus menanamnya di bulan Rajab dan menyiraminya di bulan Sya’ban.”
Ungkapan
indah ini sebenarnya mengacu pada Hadist Rasulullah SAW yang mengutamakan
banyak amal ibadah di bulan Sya’ban melebihi bulan lainnya, kecuali bulan
Ramadhan.
Semoga kita
sudah mulai menanam di bulan Rajab. Lalu, kita sekarang berada pada fase menyiram pohon, agar bisa
berbuah dan dipetik pada bulan berikutnya, bulan Ramadhan. Fase menyiram yang
membutuhkan keseriusan, ketelatenan, kesungguhan dan kehati-hatian. Artinya
juga merasakan kehadiran Ramadhan sejak sekarang. Menghayati bagaimana kita
menjalani puasa dengan baik, melakukan ragam kebaikan setiap hari, memperbanyak
amalan shalat dan puasa, melatih hati untuk benar-benar terjaga dari semua
aktifitas yang menjauhkannya dari Allah SWT.
Sirami dengan Sungguh-Sungguh Bertaubat
“Seorang
hamba yang melakukan perjalanan menuju Allah, ada diantara sikap untuk selalu
menyaksikan apa saja karunia yang Allah berikan kepadanya. Sementara di sisi
lain ia juga membandingkan antara karunia itu dengan kekeliruan yang dilakukan
oleh jiwa dan dalam amalnya.”
Itu
perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah, memulai
pertobatan menyeluruh, sangat baik bila diawali dengan perenungan tentang
kesyukuran atas karunia dan nikmat Allah SWT. Perenungan seperti ini akan
mengantarkan gambaran prilaku yang sangat jauh daripada yang seharusnya. Hingga
mengantarkan kita untuk untuk bertaubat kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya.
Tentu saja,
bukan sekedar taubat seperti biasa kita lakukan dengan mengatakan, “saya
bertaubat.” Renungkanlah sudah berapa Ramadhan kita lewati dalam penggalan usia
kita ini? Mengapa selalu saja kita gagal memanfaatkan kesempatan dan kenikmatan
Allah SWT berikan itu? Berapa banyak Ramadhan berlalu dan dosa-dosa kita juga
tidak terampuni oleh Allah SWT karena kurang optimalnya kita memanfaatkan bulan
Ramadhan? Berapa kali Ramadhan kita lewati, dan kita belum pernah merasakan
mendapat Lailatul Qadar?
Sekali lagi,
taubat tidak hanya dengan mengucapkan, “saya bertaubat.” Atau ucapan istigfar
tanpa menyadari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah SWT dengan tekad kuat
meninggalkan kesalahan. Taubat juga tidak hanya pada lingkup kesalahan kita
melihat sesuatu yang tidak diridhai Allah, membicarakan sesuatu yang dilarang
Allah dan semacamnya. Tapi taubat yang dimaksud menjelang Ramadhan, harus lebih
luas dari itu. Taubat dari kehidupan yang kita jalani seluruhnya. Taubat dari
cara berpikir kita yang tidak sesuai perintah Allah SWT. Taubat dari keinginan
dan mimpi-mimpi yang bukan mendekatkan pada Allah SWT. Taubat dari
menyia-nyiakan waktu sepanjang hidup. Taubat (Hal-21) dari interaksi ekonomi
atau hubungan sosial kita yang tidak diridhai Allah SWT. Taubat hati dari
beragam keinginan, lintasan, yang bernilai maksiat kepada Allah SWT. Taubat
karena sering menunda amal kebaikan. Taubat dari sikap ujub sombong, dengki,
riya dan sebagainya. Taubat dari rasa malas menjalani ibadah. Taubat dari
seluruh kehidupan kita, ya semuanya.
Sirami dengan Konsistensi Lisan dan Amal
Bicara itu
mudah. Mengkhayal lebih mudah lagi. Tapi bekerja, beramal, melaksanakan yang
dikatakan itu harus, meskipun berat. Barangkali banyak diantara kita yang belum
banyak beramal, belum banyak berusaha serius, tapi kemudian mengadu karena
tidak bisa khusyu’. Mengadu karena kekasatan hati. Mengeluh karena dirinya
dilanda kelemahan (futur). Jawabannya,
adalah kurang beramal, kurang berkorban untuk mencapai sesuatu, dan ini
artinya, bekerjalah, beramallah terus. Jangan berhenti.
Perhatikanlah
bagaimana keseriusan bicara Abu Muslim Al Khaulani, seorang yang hidup di zaman
Rasulullah SAW tapi tak sempat bertemu Rasulullah SAW, karena kedatangannya ke
Madinah, didahului wafatnya Rasulullah SAW. Ia merasakan kedukaan yang sangat
mendalam, lalu bertekad pada dirinya untuk bisa menyaingi prestasi para Sahabat
Rasulullah SAW dalam hal ibadah. Tak hanya menyesal dan bertekad. Ia lalu
menggantungkan seutas cambuk di tempat shalat di rumahnya. Cambuk itu digunakan
bila ia mulai letih melakukan shalat. Ia mengatakan, “Ayo bangun kakiku.”
Ketika berdiri ia bergumam, “Apakah para sahabat Nabi Muhammad bisa memperoleh
keutamaan tanpa kesertaan aku di antara mereka? Sekalipun tidak. Demi Allah,
saya akan berdesakan dengan mereka dalam keutamaan itu. Sehingga mereka sadar
bahwa mereka meninggalkan orang yang bermental pejuang di generasi setelah mereka.
Sudah tidak
terhitung kita memiliki keinginan, tekad, dan niat baik. Tapi kebanyakan
keinginan, tekad, dan niat baik itu hilang begitu saja. Tidak ada yang
mengingatkannya, tidak ada juga usaha kita untuk mewujudkannya. Karenanya,
rencana kebaikan itu harus diucapkan atau ditulis, untuk mengingatkan dan
sekaligus memperkuat dorongan kita melakukannya.
Ambillah
pelajaran dari apa yang diucapkan Anas bin Nadhr radhiallahu anhu. Ia tidak terlibat dalam perang Badar dan
mendengar bahwa Allah SWT menurunkan firman-Nya,
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, yang berhijrah, yang berjihad di jalan Allah, mereka
adalah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun dan
Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah [2]:
218)
Setelah
mendengar firman Allah tersebut, Anas bin Nadhr mengatakan, “Demi Allah
seandainya Allah SWT menjadikanku hadir dalam satu peperangan, pasti Dia akan
melihat apa yang aku lakukan.” Anas bin Nadhr akhirnya disempatkan Allah SWT
untuk terlibat dalam perang Uhud. Dan di sana ia benar-benar menunjukkan
tekadnya yang begitu kuat hingga akhirnya Allah memilihnya sebagai alah satu
syuhada yang gugur di perang Uhud.
Kaitkan
analog ini dengan tekad (Hal-22) yang harus kita miliki menjelang bulan
Ramadhan. Katakan atau tulis, “Demi Allah, Bila Allah SWT menyanpaikan usiaku
hingga bulan Ramadhan..... kalian akan saksikan sendiri apa yang aku perbuat.
Sirami dengan Sama Sekali Tak Berargumen
dalam Beramal
Sudah
lumrah, jika seorang bertekad melakukan kebaikan, akan muncul bisikan atau
anggapan yang membuat orang tersebut tidak jadi melakukan kebaikan tersebut.
Umumnya juga, bisikan dan anggapan itu logis. Dengan segala argumen logika bisikan
itu bisa saja dibenarkan. Tapi sebenarnya, itu datang dari gangguan syetan yang
ingin menunda atau menghambat seseorang melakukan amal shalih.
Buang semua
canda alasan yang membuat lalai. Kita memerlukan langkah awal yang tulus,
bersih, jauh dari semua bentuk tipu daya yang membuat kita menunda amal baik,
yang membuat kita terpedaya hanya oleh niat dan keinginan, hanya tertipu oleh
harapan-harapan tapi kosong dari usaha melakukan kebaikan. Jauh dari jerih
payah dan pengorbanan untuk menerapkan upaya
mencapai keinginan baik. Allah SWT menggambarkan dua bentuk golongan
manusia yang menipu dan memperdaya. Mereka memperdaya Allah, sesungguhnya
mereka memperdaya diri mereka sendiri (QS.
An Nisa’ [ ]: 142-143)
Contoh argumen
membius itu adalah, alasan dengan mengatakan akan meningkatan kebaikan secara
bertahap dan sedikit demi sedikit menambahkan kuantitas dan kualitas dalam
beribadah, dalam dzikir, dalam tilawah dan semacamnya. Mungkin saja alasan
seperti itu bisa digunakan di luar bulan-bulan yang berada jauh di dari bulan Ramadhan.
Sedangkan untuk bulan ini, menjelang bulan Ramadhan, tidak ada waktu untuk
melakukan kebertahapan dalam ibadah. Jangan gunakan alasan yang bisa
memunculkan ketenangan yang menjadikan sikap santai atau mengurangi keseriusan.
Jangan rela dengan bermacam ungkapan yang bisa membiuas, yang sangat mungkin
datang dari syaitan. Lakukanlah segera. Sekarang.
Muhammad
Husein Ya’qub dalam kitab Asrar Muhibbin
fi Ramadhan, mengatakan, tiga prinsip yang dilakukan para shalafusshalih
dalam mepersiapkan diri menyongsong Ramadhan. Yaitu, obsesi yang tinggi, jangan
beralasan dan lakukan segera.
Sirami dengan Kesungguhan Seperti Persiapan Perang
Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Hati-hati,
hati-hatilah dengan dua hal. Pertama, jika datang kewajiban waktu yang tidak
mungkin ditunda, sementara engkau tidak siap melakukan kewajiban itu atau tidak
bisa melakukannya. Berarti engkau akan mendapat hukuman karena tidak
melakukannya, dan juga tidak mendapat pahala yang harusnya bisa engkau peroleh
dengan melakukannya.
Dan kedua,
hati-hatilah terhadap situasi tidak melakukan perintah di awal perintah karena
itu berlawanan dengan keinginanmu. Lalu hatimu menjadi terbalik. Dari sinilah
berarti kita menyadari, perlunya mempersiapkan diri untuk memasuki bulan
Ramadhan. Agar kita tidak terlambat atau menunda-nunda beragam amal kebaikan di
bulan itu. Juga agar kita tidak terhalang untuk menambah ketaatan saat Ramadhan
telah tiba.
(Hal-23) Ibarat
menyongsong sebuah peperangan, suasana menjelang Ramadhan adalah fase melewati
persiapan yang sangat serius. Persiapan dengan menata seluruh perbekalan,
mempersiapkan kekuatan mental, hingga persiapan memakai pakaian perang untuk
menyongsong musuh. Tentu saja, Ramadhan bukanlah musuh. Analogi ini hanya hanya
diperlukan untuk menggambarkan bahwa kita akan memasuki fase peristiwa yang
sangat penting, lebih penting dari peristiwa apapun. Lebih penting dari
kehidupan kita sendiri, dan nilai “kekalahan” kita di dalamnya bisa jadi
merupakan “kematian.” Rasulullah SAW, saat menyongsong perang Uhud pernah
diminta sejumlah sahabat untuk tetap bertahan di Madinah. Tapi Rasul SAW
mengatakan,
“Tidaklah
seorang Nabi sudah mengenakan pakaian perangnya lalu ia lepas kembali, sampai
Allah SWT mempertemukannya dengan musuhnya. (HR. Ahmad)
Maka
persiapan menyambut Ramadhan itu harus dilakukan sekarang dan jangan pernah
mundur kembali. Lakukanlah dan jangan pernah menunda. Jangan pernah lagi
mengatakan,”saya akan berusaha”, “saya akan mencoba”, “saya akan melihat waktu
yang tepat”. Lakukan, sekarang. Lucuti semua penyakit-penyakit hati yang ada
dalam hati. Tinggalkan semua kemaksiatan yang telah dilakukan secara lahir
maupun bathin. Bangkit dari kelalaian. Selamatkan diri dari apapun yang bisa
mengghalangi kita dari Ridha Allah SWT. Jauhi semua yang bisa menambah jarak
semakin jauh dari surga.
Sirami dengan Jiwa yang Prioritaskan Alllah
Kapanpun Dimanapun
Menata hati
untuk menjadikan Allah SWT di atas segalanya. Mengutamakan taat dan tunduk
kepada Allah SWT meskipun dalam kondisi yang sulit sekalipun. Contoh
sederhananya, memprioritaskan shalat berjamaah dalam situasi apapun,
mengutamakan tidak marah saat , ingin marah karena Allah SWT, atau menjauhi
perilaku kurang (Hal-24) baik meskipun hal itu kita sukai atau sudah menjadi
kebiasaan karena Allah SWT.
Ada banyak
cara yang bisa memotifasi sikap seperti
ini. Antara lain berusaha berusaha mencari rahasia di balik ketaatan dan
ketundukan yang kita lakukan. Tidak sekedar melakukannya sebagai rutinitas.
Tapi meraba dan merasakan nila di balik amal-amal shalih itu. Baca Al Qur’an
dengan tidak melupakan tadabbur kandungannya. Mengucapkan lafazh atau bacaaan
shalat dengan menghayati artinya, melakukan puasa sunnah dengan menghadirkan
keteduhan hati karena Allah SWT, dan sebagainya.
Salah satu
kaidah para ulama terkait pahala adalah, “idzaa
qawiya ad daa’i, wa tamma at tarku azumal ajru, wa idzaa dha’ufad daa’i wa tammal
fi’lu azumal wizru.” (Bila dorongannya
kuat untuk melakukan kesalahan, tapi akhirnya kesalahan itu ditinggalkan, maka
pahalanya akan besar. Sebgaimana bila dorongan melakukan kesalahan itu kecil, tapi kemudian dilakukan, akan
besar juga dosanya).
Karenanya,
setiap kita penting mengekang diri dari kesalahan dari sekarang, agar tidak
terjerumus dalam kesalahan di bulan Ramadhan. Sebab, bila di bulan Ramadhan
seseorang dorongan dan pengaruh untuk melaksanakan kemaksiatan lebih kecil.
Tapi bila di tengah ketaatan masal itu, masih ada orang yang melakukan
kemaksiatan, tentu dosa dan bobot kesalahannya akan semakin berat.
Sirami dengan Menambah Bobot Ibadah
Abu Darda radhiallahu anhu mengatakan kepada
Subaih,”Ya Subaih, biasakanlah beribadah. Karena ibadah itu dilakukan dengan
kebiasaan. Dan sesungguhnya tak ada yang lebih berat melakukan ibadah diatas
muka bumi ini melebihi orang kafir.”
Memperbanyak
puasa sunnah, menambah beberapa rakaat shalat sunnah, seperti dijelaskan dalam
hadis-hadis Rasulullah, memanjangkan rakaat dengan membaca ayat yang lebih
panjang dalam shalat sunnah. Memperpanjang saat ruku’ memperpanjang saat sujud,
memperpanjang dzikir kepada Allah, memperbanyak tilawah Al Qur’an dan
sebagainya.
Termasuk
melatih menghadirkan pikiran dan rasa untuk beribadah sebelum waktunya. Apakah
anda bisa melihat diri anda ketika sedang sujud? Berusahalah membayangkan
pemandangan itu. Saat kening anda terletak di atas tanah. Hidung anda menyentuh
tanah. Khusu’ tunduk tak ada yang ada lihat melalui dua mata anda kecuali
tanah. Dua tangan menekan diatas tanah, dan dua siku. Penggambaran ini penting
untuk mengantarkan konsentrasi dan kehadiran hati dalam melakukan ibadah.
Menghadirkan
perasaan sebelum melakukan ibadah shalat seperti ini, subtansinya ada dalam
hadist Rasulullah SAW,
“Jika
kalian mendirikan shalat, jangan datangi shalat dengan berlari. Datangilah
dengan berjalan tenang. Dan pada posisi apa kalian bisa melakukan shalat
jamaah, shalatlah, dan apa yang tertinggal dari shalat jamaah, tunaikanlah.”
Dalam
riwayat lain Rasulullah (Hal-25) mengatakan,
“Jika
kalian mendatangi shalat datangilah dengan tenang dan diam.”
Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “salah satu
manfaat dari hadist ini adalah terkait upaya menghadirkan hati dan menghimpun
pikiran serta konsentrasi dalam ibadah yang dilakukan.”
Jika Usia kita Sampai di Bulan Ramadhan
Sampainya
Ramadhan itu adalah kenikmatan. Dahulu dua orang yang masuk Islam di hadapan
Rasulullah SAW. Tak lama kemudian, salah satu dari kedua orang itu gugur syahid
dalam satu peperangan. Sementara yang satu lagi baru meninggal satu tahun
kemudian. Thalhah bin Ubaidillah bermimpi dan mengatakan, “Dalam mimpi aku
melihat yang meninggal belakangan, yang lebih dahulu dimasukkan ke dalam surga
sebelum yang mati syahid pertama.” Lalu esok harinya Talhah menyampaikan
mimpinya itu kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda,
“Bukankah
yang meninggal belakangan telah berpuasa di bulan Ramadhan, dan shalat 6.000
rakaat ini dan itu, lalu juga melakukan shalat Sunnah? Dalam Riwayat lain
Rasulullah SAW mengatakan, “Bukankah ia telah memasuki bulan Ramadhan dan ia
puasa. Lalu puasa dan sujud dalam satu tahun itu? Lalu Rasulullah
mengatakan,”Sesungguhnya jarak diantara keduanya lebih jauh dari jarak antara
langit dan bumi.” (HR. Ahmad)
Apakah, jika
usia kita sampai ke bulan Ramadhan, kita siap menjadikan karunia Allah SWT
dengan amal-amal yang mengantarkan kita pada Ridha-nya? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar