Sabtu, 24 Februari 2024

Rasakan Hari Ini Seakan Sudah Ramadhan

 

Rasakan Hari Ini Seakan Sudah Ramadhan[1]

Oleh M Lili Nur Aulia  

(Hal-19) orang- orang Shalih selalu merindukan bulan Ramadhan. Mereka bahkan merindukan Ramadhan, dari jarak yang sangat jauh hingga berharap sepanjang tahun adalah Ramadhan. Mereka merindukan Ramadhan seperti penciuman Nabi Ya’qub alaihissalam terhadap bau Yusuf alaihissalam.

Kita tentu ingin sekali memiliki gemuruh rindu menerima sesuatu yang dicinta, yang sudah lama dinanti. Merasakan bau Ramadhan dari jarak yang masih jauh, lalu termasuk orang-orang yang melakukan persiapan optimal untuk memasuki bulan yang dirindukan.



(Hal-20) kerinduan yang dituangkan dalam sikap yang mendorong mereka mempersiapkan secara baik, bulan yang dirindu itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, “Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban bulan menyiram. Ramadhan adalah saat pohon berbuah. Bila engkau ingin memetik buah di bulan Ramadhan, anda harus menanamnya di bulan Rajab dan menyiraminya di bulan Sya’ban.”

Ungkapan indah ini sebenarnya mengacu pada Hadist Rasulullah SAW yang mengutamakan banyak amal ibadah di bulan Sya’ban melebihi bulan lainnya, kecuali bulan Ramadhan.

Semoga kita sudah mulai menanam di bulan Rajab. Lalu, kita sekarang  berada pada fase menyiram pohon, agar bisa berbuah dan dipetik pada bulan berikutnya, bulan Ramadhan. Fase menyiram yang membutuhkan keseriusan, ketelatenan, kesungguhan dan kehati-hatian. Artinya juga merasakan kehadiran Ramadhan sejak sekarang. Menghayati bagaimana kita menjalani puasa dengan baik, melakukan ragam kebaikan setiap hari, memperbanyak amalan shalat dan puasa, melatih hati untuk benar-benar terjaga dari semua aktifitas yang menjauhkannya dari Allah SWT.

Sirami dengan Sungguh-Sungguh Bertaubat

“Seorang hamba yang melakukan perjalanan menuju Allah, ada diantara sikap untuk selalu menyaksikan apa saja karunia yang Allah berikan kepadanya. Sementara di sisi lain ia juga membandingkan antara karunia itu dengan kekeliruan yang dilakukan oleh jiwa dan dalam amalnya.”

Itu perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah, memulai pertobatan menyeluruh, sangat baik bila diawali dengan perenungan tentang kesyukuran atas karunia dan nikmat Allah SWT. Perenungan seperti ini akan mengantarkan gambaran prilaku yang sangat jauh daripada yang seharusnya. Hingga mengantarkan kita untuk untuk bertaubat kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya.

Tentu saja, bukan sekedar taubat seperti biasa kita lakukan dengan mengatakan, “saya bertaubat.” Renungkanlah sudah berapa Ramadhan kita lewati dalam penggalan usia kita ini? Mengapa selalu saja kita gagal memanfaatkan kesempatan dan kenikmatan Allah SWT berikan itu? Berapa banyak Ramadhan berlalu dan dosa-dosa kita juga tidak terampuni oleh Allah SWT karena kurang optimalnya kita memanfaatkan bulan Ramadhan? Berapa kali Ramadhan kita lewati, dan kita belum pernah merasakan mendapat Lailatul Qadar?

Sekali lagi, taubat tidak hanya dengan mengucapkan, “saya bertaubat.” Atau ucapan istigfar tanpa menyadari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah SWT dengan tekad kuat meninggalkan kesalahan. Taubat juga tidak hanya pada lingkup kesalahan kita melihat sesuatu yang tidak diridhai Allah, membicarakan sesuatu yang dilarang Allah dan semacamnya. Tapi taubat yang dimaksud menjelang Ramadhan, harus lebih luas dari itu. Taubat dari kehidupan yang kita jalani seluruhnya. Taubat dari cara berpikir kita yang tidak sesuai perintah Allah SWT. Taubat dari keinginan dan mimpi-mimpi yang bukan mendekatkan pada Allah SWT. Taubat dari menyia-nyiakan waktu sepanjang hidup. Taubat (Hal-21) dari interaksi ekonomi atau hubungan sosial kita yang tidak diridhai Allah SWT. Taubat hati dari beragam keinginan, lintasan, yang bernilai maksiat kepada Allah SWT. Taubat karena sering menunda amal kebaikan. Taubat dari sikap ujub sombong, dengki, riya dan sebagainya. Taubat dari rasa malas menjalani ibadah. Taubat dari seluruh kehidupan kita, ya semuanya.

Sirami dengan Konsistensi Lisan dan Amal

Bicara itu mudah. Mengkhayal lebih mudah lagi. Tapi bekerja, beramal, melaksanakan yang dikatakan itu harus, meskipun berat. Barangkali banyak diantara kita yang belum banyak beramal, belum banyak berusaha serius, tapi kemudian mengadu karena tidak bisa khusyu’. Mengadu karena kekasatan hati. Mengeluh karena dirinya dilanda kelemahan (futur). Jawabannya, adalah kurang beramal, kurang berkorban untuk mencapai sesuatu, dan ini artinya, bekerjalah, beramallah terus. Jangan berhenti.

Perhatikanlah bagaimana keseriusan bicara Abu Muslim Al Khaulani, seorang yang hidup di zaman Rasulullah SAW tapi tak sempat bertemu Rasulullah SAW, karena kedatangannya ke Madinah, didahului wafatnya Rasulullah SAW. Ia merasakan kedukaan yang sangat mendalam, lalu bertekad pada dirinya untuk bisa menyaingi prestasi para Sahabat Rasulullah SAW dalam hal ibadah. Tak hanya menyesal dan bertekad. Ia lalu menggantungkan seutas cambuk di tempat shalat di rumahnya. Cambuk itu digunakan bila ia mulai letih melakukan shalat. Ia mengatakan, “Ayo bangun kakiku.” Ketika berdiri ia bergumam, “Apakah para sahabat Nabi Muhammad bisa memperoleh keutamaan tanpa kesertaan aku di antara mereka? Sekalipun tidak. Demi Allah, saya akan berdesakan dengan mereka dalam keutamaan itu. Sehingga mereka sadar bahwa mereka meninggalkan orang yang bermental pejuang di generasi setelah mereka.

Sudah tidak terhitung kita memiliki keinginan, tekad, dan niat baik. Tapi kebanyakan keinginan, tekad, dan niat baik itu hilang begitu saja. Tidak ada yang mengingatkannya, tidak ada juga usaha kita untuk mewujudkannya. Karenanya, rencana kebaikan itu harus diucapkan atau ditulis, untuk mengingatkan dan sekaligus memperkuat dorongan kita melakukannya.

Ambillah pelajaran dari apa yang diucapkan Anas bin Nadhr radhiallahu anhu. Ia tidak terlibat dalam perang Badar dan mendengar bahwa Allah SWT menurunkan firman-Nya,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, yang berhijrah, yang berjihad di jalan Allah, mereka adalah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah [2]: 218)

Setelah mendengar firman Allah tersebut, Anas bin Nadhr mengatakan, “Demi Allah seandainya Allah SWT menjadikanku hadir dalam satu peperangan, pasti Dia akan melihat apa yang aku lakukan.” Anas bin Nadhr akhirnya disempatkan Allah SWT untuk terlibat dalam perang Uhud. Dan di sana ia benar-benar menunjukkan tekadnya yang begitu kuat hingga akhirnya Allah memilihnya sebagai alah satu syuhada yang gugur di perang Uhud.

Kaitkan analog ini dengan tekad (Hal-22) yang harus kita miliki menjelang bulan Ramadhan. Katakan atau tulis, “Demi Allah, Bila Allah SWT menyanpaikan usiaku hingga bulan Ramadhan..... kalian akan saksikan sendiri apa yang aku perbuat.

Sirami dengan Sama Sekali Tak Berargumen dalam Beramal

Sudah lumrah, jika seorang bertekad melakukan kebaikan, akan muncul bisikan atau anggapan yang membuat orang tersebut tidak jadi melakukan kebaikan tersebut. Umumnya juga, bisikan dan anggapan itu logis. Dengan segala argumen logika bisikan itu bisa saja dibenarkan. Tapi sebenarnya, itu datang dari gangguan syetan yang ingin menunda atau menghambat seseorang melakukan amal shalih.

Buang semua canda alasan yang membuat lalai. Kita memerlukan langkah awal yang tulus, bersih, jauh dari semua bentuk tipu daya yang membuat kita menunda amal baik, yang membuat kita terpedaya hanya oleh niat dan keinginan, hanya tertipu oleh harapan-harapan tapi kosong dari usaha melakukan kebaikan. Jauh dari jerih payah dan pengorbanan untuk menerapkan upaya  mencapai keinginan baik. Allah SWT menggambarkan dua bentuk golongan manusia yang menipu dan memperdaya. Mereka memperdaya Allah, sesungguhnya mereka memperdaya diri mereka sendiri (QS. An Nisa’ [ ]: 142-143)

Contoh argumen membius itu adalah, alasan dengan mengatakan akan meningkatan kebaikan secara bertahap dan sedikit demi sedikit menambahkan kuantitas dan kualitas dalam beribadah, dalam dzikir, dalam tilawah dan semacamnya. Mungkin saja alasan seperti itu bisa digunakan di luar bulan-bulan yang berada jauh di dari bulan Ramadhan. Sedangkan untuk bulan ini, menjelang bulan Ramadhan, tidak ada waktu untuk melakukan kebertahapan dalam ibadah. Jangan gunakan alasan yang bisa memunculkan ketenangan yang menjadikan sikap santai atau mengurangi keseriusan. Jangan rela dengan bermacam ungkapan yang bisa membiuas, yang sangat mungkin datang dari syaitan. Lakukanlah segera. Sekarang.

Muhammad Husein Ya’qub dalam kitab Asrar Muhibbin fi Ramadhan, mengatakan, tiga prinsip yang dilakukan para shalafusshalih dalam mepersiapkan diri menyongsong Ramadhan. Yaitu, obsesi yang tinggi, jangan beralasan dan lakukan segera.

Sirami  dengan Kesungguhan Seperti Persiapan Perang

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hati-hati, hati-hatilah dengan dua hal. Pertama, jika datang kewajiban waktu yang tidak mungkin ditunda, sementara engkau tidak siap melakukan kewajiban itu atau tidak bisa melakukannya. Berarti engkau akan mendapat hukuman karena tidak melakukannya, dan juga tidak mendapat pahala yang harusnya bisa engkau peroleh dengan melakukannya.

Dan kedua, hati-hatilah terhadap situasi tidak melakukan perintah di awal perintah karena itu berlawanan dengan keinginanmu. Lalu hatimu menjadi terbalik. Dari sinilah berarti kita menyadari, perlunya mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan. Agar kita tidak terlambat atau menunda-nunda beragam amal kebaikan di bulan itu. Juga agar kita tidak terhalang untuk menambah ketaatan saat Ramadhan telah tiba.

(Hal-23) Ibarat menyongsong sebuah peperangan, suasana menjelang Ramadhan adalah fase melewati persiapan yang sangat serius. Persiapan dengan menata seluruh perbekalan, mempersiapkan kekuatan mental, hingga persiapan memakai pakaian perang untuk menyongsong musuh. Tentu saja, Ramadhan bukanlah musuh. Analogi ini hanya hanya diperlukan untuk menggambarkan bahwa kita akan memasuki fase peristiwa yang sangat penting, lebih penting dari peristiwa apapun. Lebih penting dari kehidupan kita sendiri, dan nilai “kekalahan” kita di dalamnya bisa jadi merupakan “kematian.” Rasulullah SAW, saat menyongsong perang Uhud pernah diminta sejumlah sahabat untuk tetap bertahan di Madinah. Tapi Rasul SAW mengatakan,

“Tidaklah seorang Nabi sudah mengenakan pakaian perangnya lalu ia lepas kembali, sampai Allah SWT mempertemukannya dengan musuhnya. (HR. Ahmad)

Maka persiapan menyambut Ramadhan itu harus dilakukan sekarang dan jangan pernah mundur kembali. Lakukanlah dan jangan pernah menunda. Jangan pernah lagi mengatakan,”saya akan berusaha”, “saya akan mencoba”, “saya akan melihat waktu yang tepat”. Lakukan, sekarang. Lucuti semua penyakit-penyakit hati yang ada dalam hati. Tinggalkan semua kemaksiatan yang telah dilakukan secara lahir maupun bathin. Bangkit dari kelalaian. Selamatkan diri dari apapun yang bisa mengghalangi kita dari Ridha Allah SWT. Jauhi semua yang bisa menambah jarak semakin jauh dari surga.

Sirami dengan Jiwa yang Prioritaskan Alllah Kapanpun Dimanapun

Menata hati untuk menjadikan Allah SWT di atas segalanya. Mengutamakan taat dan tunduk kepada Allah SWT meskipun dalam kondisi yang sulit sekalipun. Contoh sederhananya, memprioritaskan shalat berjamaah dalam situasi apapun, mengutamakan tidak marah saat , ingin marah karena Allah SWT, atau menjauhi perilaku kurang (Hal-24) baik meskipun hal itu kita sukai atau sudah menjadi kebiasaan karena Allah SWT.

Ada banyak cara yang bisa memotifasi sikap seperti  ini. Antara lain berusaha berusaha mencari rahasia di balik ketaatan dan ketundukan yang kita lakukan. Tidak sekedar melakukannya sebagai rutinitas. Tapi meraba dan merasakan nila di balik amal-amal shalih itu. Baca Al Qur’an dengan tidak melupakan tadabbur kandungannya. Mengucapkan lafazh atau bacaaan shalat dengan menghayati artinya, melakukan puasa sunnah dengan menghadirkan keteduhan hati karena Allah SWT, dan sebagainya.

Salah satu kaidah para ulama terkait pahala adalah, “idzaa qawiya ad daa’i, wa tamma at tarku azumal ajru, wa idzaa dha’ufad daa’i wa tammal fi’lu azumal wizru.”  (Bila dorongannya kuat untuk melakukan kesalahan, tapi akhirnya kesalahan itu ditinggalkan, maka pahalanya akan besar. Sebgaimana bila dorongan melakukan kesalahan  itu kecil, tapi kemudian dilakukan, akan besar juga dosanya).

Karenanya, setiap kita penting mengekang diri dari kesalahan dari sekarang, agar tidak terjerumus dalam kesalahan di bulan Ramadhan. Sebab, bila di bulan Ramadhan seseorang dorongan dan pengaruh untuk melaksanakan kemaksiatan lebih kecil. Tapi bila di tengah ketaatan masal itu, masih ada orang yang melakukan kemaksiatan, tentu dosa dan bobot kesalahannya akan semakin berat.

Sirami dengan Menambah Bobot Ibadah

Abu Darda radhiallahu anhu mengatakan kepada Subaih,”Ya Subaih, biasakanlah beribadah. Karena ibadah itu dilakukan dengan kebiasaan. Dan sesungguhnya tak ada yang lebih berat melakukan ibadah diatas muka bumi ini melebihi orang kafir.”

Memperbanyak puasa sunnah, menambah beberapa rakaat shalat sunnah, seperti dijelaskan dalam hadis-hadis Rasulullah, memanjangkan rakaat dengan membaca ayat yang lebih panjang dalam shalat sunnah. Memperpanjang saat ruku’ memperpanjang saat sujud, memperpanjang dzikir kepada Allah, memperbanyak tilawah Al Qur’an dan sebagainya.

Termasuk melatih menghadirkan pikiran dan rasa untuk beribadah sebelum waktunya. Apakah anda bisa melihat diri anda ketika sedang sujud? Berusahalah membayangkan pemandangan itu. Saat kening anda terletak di atas tanah. Hidung anda menyentuh tanah. Khusu’ tunduk tak ada yang ada lihat melalui dua mata anda kecuali tanah. Dua tangan menekan diatas tanah, dan dua siku. Penggambaran ini penting untuk mengantarkan konsentrasi dan kehadiran hati dalam melakukan ibadah.

Menghadirkan perasaan sebelum melakukan ibadah shalat seperti ini, subtansinya ada dalam hadist Rasulullah SAW,

“Jika kalian mendirikan shalat, jangan datangi shalat dengan berlari. Datangilah dengan berjalan tenang. Dan pada posisi apa kalian bisa melakukan shalat jamaah, shalatlah, dan apa yang tertinggal dari shalat jamaah, tunaikanlah.”

Dalam riwayat lain Rasulullah (Hal-25) mengatakan,

“Jika kalian mendatangi shalat datangilah dengan tenang dan diam.”

Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “salah satu manfaat dari hadist ini adalah terkait upaya menghadirkan hati dan menghimpun pikiran serta konsentrasi dalam ibadah yang dilakukan.”

Jika Usia kita Sampai di Bulan Ramadhan

Sampainya Ramadhan itu adalah kenikmatan. Dahulu dua orang yang masuk Islam di hadapan Rasulullah SAW. Tak lama kemudian, salah satu dari kedua orang itu gugur syahid dalam satu peperangan. Sementara yang satu lagi baru meninggal satu tahun kemudian. Thalhah bin Ubaidillah bermimpi dan mengatakan, “Dalam mimpi aku melihat yang meninggal belakangan, yang lebih dahulu dimasukkan ke dalam surga sebelum yang mati syahid pertama.” Lalu esok harinya Talhah menyampaikan mimpinya itu kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda,

“Bukankah yang meninggal belakangan telah berpuasa di bulan Ramadhan, dan shalat 6.000 rakaat ini dan itu, lalu juga melakukan shalat Sunnah? Dalam Riwayat lain Rasulullah SAW mengatakan, “Bukankah ia telah memasuki bulan Ramadhan dan ia puasa. Lalu puasa dan sujud dalam satu tahun itu? Lalu Rasulullah mengatakan,”Sesungguhnya jarak diantara keduanya lebih jauh dari jarak antara langit dan bumi.” (HR. Ahmad)

Apakah, jika usia kita sampai ke bulan Ramadhan, kita siap menjadikan karunia Allah SWT dengan amal-amal yang mengantarkan kita pada Ridha-nya? ***

 



[1] Majalah Tarbawi Edisi 233 Th. 12, Sya’ban 1431  H, 29 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar